Rabu, 04 Desember 2013

AWAL dan AKHIR (Telaah Filsafat dan Semiotika Naskah Teater berjudul “Hanga” karya Mophed SK)

AWAL dan AKHIR
(Telaah Filsafat dan Semiotika Naskah Teater berjudul “Hanga” karya Mophet SK)

Komunitas Seni SAMAR 

Pembuka

Beberapa karya besar di bidang sastra yang telah mengakar di masyarakat bahkan menjadi legenda, kebanyakan memiliki tema universal tentang : eksistensi manusia, serta cinta dan kesetiaan sebagai ornamen penting perjalanan hidup manusia dalam menjalani siklus kehidupan. Tatkala suatu makhluk yang kemudian diberi label manusia telah hadir, maka pertanyaan terbesar sepanjang sejarah kehidupan semesta adalah apa yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain. Demikian pula yang terjadi pada diri manusia secara internal, pertanyaan yang selalu berkecamuk dan tiada henti sepanjang nafas masih berhembus adalah : siapakah aku, darimana asalku, dan kemana kembali.

Hanga ( Ha Nga ) adalah suatu istilah yang diadopsi dari huruf Jawa Ha dan Nga. Dalam lingkup kebudayaan Jawa dikenal susunan alphabet berjumlah 20 huruf yang dimulai dari aksara Ha sebagai huruf awal dan Nga sebagai huruf akhir. Dari gambaran ini, istilah “Hanga” mengacu pada pengertian awal dan akhir yang cukup relevan jika dikaitkan dengan pemahaman mengenai asal dan tujuan (pada tataran ini merujuk pada pemahaman asal dan tujuan manusia atau dalam istilah Jawa adalah sangkan paraning dumadi ).

Pada literatur kebudayaan Yunani (bangsa yang dianggap memiliki peradaban cukup purba), terdapat juga istilah sebagaimana dimaksud dengan cara yang sama pula yakni mengacu pada struktur huruf Alpha (Α / α ) sebagai hal awal dan juga huruf Omega ( Ω ) sebagai hal akhir. Demikian pula yang terjadi pada konsep struktur angka dari Nol (0) dan Sembilan (9). Nol (kosong) seakan tidak memiliki arti apa-apa karena bersifat hampa. Tetapi Nol ( 0 ) adalah pemicu dari kelahiran angka 1 (satu / pertama) untuk menuju ke angka 9 (sembilan) yang akan lebur kembali ke angka 0 (nol). Angka 0 yang diletakkan sebelum angka yang menyertai serasa tidak memiliki makna (01, 02, 03 dan seterusnya), tetapi jika diletakkan pada posisi setelah angka yang menyertai maka akan memiliki nilai yang besar melampaui nilai angka yang menyertainya (10, 20, 30 dan seterusnya).

Ha adalah awal. Sumber dan permulaan segala sesuatu. Nga adalah akhir atau titik tujuan. Semua mengarah pada Nga. Kelangsungan perjalanan hidup baru dapat dipahami jika ditinjau dari tujuan terakhirnya. Maka dari itu, Nga bukan merupakan titik terakhir tetapi sudah selalu ada di tengah perjalanan kehidupan. Kehidupan akan selalu bergerak dan berkembang dari titik Ha menuju titik Nga karena semesta (dimana manusia sebagai puncaknya ) tertarik dari inti pusatnya sendiri (Ha) kepada inti tujuan (Nga). Apabila ‘titik Nga’ tidak ada, maka perjalanan kehidupan niscaya tidak terjadi, macet ditengah jalan, dan merapuh.

Ketertarikan pada inti pusatnya sendiri adalah Cinta. Pengharapan atas pemenuhan cita-cita atau tujuan akhir kebahagiaan adalah Cinta. Dan kesetiaan untuk terus menerus melawan segala kegagalan dan penderitaan adalah esensi Cinta.

Hanga merupakan keutuhan yang tak terpisahkan sebagai sang asal dan sang tujuan. “Hanga” ada sebelum sesuatu, ada dalam segala sesuatu dan ada diatas segala sesuatu.

Titik Satu - Masyarakat dan Seni

Perjalanan kehidupan manusia menuju titik yang menyebabkan dirinya disebut sebagai ‘makhluk berbudaya’ melewati beberapa fase yang kemudian terus bergerak dan berkembang seiring dengan perjalanan semesta itu sendiri. Ada beberapa tahap yang kemudian ditandai sebagai fase titik kebudayaan, yaitu : bahasa, teknologi, politik, seni dan ekonomi.

Pemahaman manusia terhadap kenyataan alam semesta yang indah, memunculkan rasa untuk mewujudkan atau mencipta bentuk keindahan dalam ruang yang lain. Proses perwujudan keindahan ini, dilakukan dengan jalan kontemplasi dan cara-cara penghayatan yang dimiliki. ‘Kontemplasi’ adalah suatu proses perenungan mendalam atau berfikir penuh untuk mencari nilai-nilai, makna, manfaat dan tujuan suatu hasil penciptaan. Pengertian tersebut bersumber pada berbagai kenyataan dalam kehidupan sehari-hari yang hakikatnya selalu menghendaki perubahan. Manusia memahami kebutuhan keindahan ini tidak hanya semata – mata bagi dirinya sendiri, namun juga diperuntukkan bagi ‘kekuatan lain’ diluar dirinya. Agar terdapat keselarasan antara ‘alam’ sebagai penyedia bahan kebutuhan dengan manusia yang memanfaatkannya, maka ‘alam’ juga dipandang layak untuk diberikan persembahan akan hal-hal yang bersifat keindahan sebagai rasa timbal balik. Dalam tindakannya, berwujud pada hasil karya atau cipta seni yang diperolehnya melalui persepsi terhadap fenomena kebudayaan. Hasil karya atau cipta seni tersebut berkembang menjadi cabang – cabang kesenian sesuai dengan bentuk yang diciptakan dan media yang dipergunakan.

Kesenian rakyat (tradisi) tumbuh pada tingkatan bawah (grass-root) sebagai perwujudan eksistensi dengan akses yang terbatas dan dicirikan dengan kesederhanaan. Fenomena yang dapat ditangkap dari perkembangan kesenian rakyat (tradisional) dapat dikatakan sangat memprihatinkan ketika harus berhadapan dengan semakin merasuknya kebudayaan populer yang bersifat instan, pragmatis dan hedonis. Hal ini menjadi sebuah persoalan tersendiri jika dikaitkan dengan nilai-nilai moral masyarakat setempat dan membuat situasi semakin runyam tatkala masyarakatnya sendiri justru tidak memiliki sikap untuk turut menjaga dan melestarikan (nguri-uri) kesenian yang memang kelahirannya berasal dari tanah sendiri. Kekuatan “budaya asing” yang memberikan iming-iming berupa kenikmatan, glamouritas dan bertendensi pada propaganda modernitas sangat kuat mencengkeram masyarakat untuk merelakan dirinya terseret arus.

Dengan demikian, kebudayaan tradisional yang merupakan identitas yang kita miliki dan warisan para leluhur makin memudar, bahkan menghilang. Akibatnya generasi yang terlahir adalah generasi rapuh moralitas, minim nalar dan selalu tergiur dengan keglamouran hidup serta sikap instan. Sebuah krisis jatidiri bangsa ini akan selalu tumbuh dan berkembang seiring dengan pesatnya arus modernisasi dan globalisasi yang menerjang negeri ini, sehingga faham-faham konsumerisme, pragmatisisme, liberalisme, materialisme, kapitalisme dan hedonisme yang berasal dari dunia barat akan selalu meracuni masyarakat negeri ini. Keadaan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak dimaknainya secara benar tentang sistem nilai, wawasan hidup dan sikap yang berlaku di masyarakat selama ini dan tidak ditumbuhkembangkan di dalam batin, pilar-pilar kebudayaan itu dalam diri setiap anggota masyarakat negeri ini.

Menyikapi hal tersebut, sebagai upaya perenungan, sikap dan kelanjutan atas tindakan adalah : sebagai anak zaman yang selalu tumbuh dan berkembang memang tak dapat serta merta menolak arus kebudayaan yang masuk sebagai konsekuensi global, tetapi sebagai anak bangsa sudah semestinya melakukan filter agar tak tercerabut dari akar kebudayaan sendiri sebagai identitas diri.

Titik Dua dan Titik Tiga - Konsep Waktu ( Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Depan )

Pertanyaan besar yang hinggap dalam kesadaran manusia berupa dari mana asal dan kemana tujuan, akan menggiring pada perenungan tentang siapa diri di masa lalu, untuk apa diri di masa kini dan bagaimana diri di masa depan.

Sejak bergelar “manusia” (awal makhluk berkesadaran) hingga masa kini, manusia senantiasa menciptakan gambaran mengenai asal-usulnya. Berbagai ajaran-ajaran hidup, baik itu yang berasal dari perenungan maupun pemikiran senantiasa menguraikan tentang hal-hal tersebut. Dengan segala kemampuannya, meskipun ‘meraba-raba dalam kegelapan’ manusia berusaha sekuat tenaga, pikiran dan hati untuk menguak misteri pertanyaan besar tersebut. Dalam filsafat Timur (Hindu, Budha, Tao) disebutkan bahwa alam semesta termasuk didalamnya manusia merupakan suatu kenyataan Ilahiah, dan selalu berputar tanpa henti dalam lingkaran tertutup dari kekal sampai kekal. Semuanya merupakan kejadian perulangan kembali seperti halnya kelahiran dan kematian.

Dalam hubungannya dengan eksistensi, manusia selalu mengalami adanya ‘dua sifat’ yang selalu bertentangan di semesta ini, lebih-lebih dalam dirinya sendiri. Perjalanan kehidupan inilah yang kemudian menumbuhkan pemikiran mengenai dua sifat yang bertentangan, yang selalu hadir untuk menyatukan kembali sebagai kesimpulan yang kemudian kembali berhadapan dengan pertentangan sifat yang lain. Pemikiran seperti ini diistilahkan sebagai dialektika. Penjabaran secara umum adalah bahwa kehidupan di semesta ini akan mengalami kondisi awal (thesis) lalu berhadapan dengan hal yang berlawanan (anti thesis) yang dari pertemuan keduanya menghasilkan kondisi kesimpulan (sinthesis). ‘Sinthesis’ yang  telah menjadi titik simpul masihlah bersifat sementara sehingga menjadi thesis baru yang siap berhadapan dengan anti thesis baru menuju kesimpulan baru juga. Demikian terjadi terus menerus tiada henti sepanjang semesta masih berputar.

Siklus kehidupan ini sudah selayaknya menjadi pembelajaran bagi manusia untuk menyadari dirinya sendiri, menyadari keberadaan alam dan memahami dunianya. Dari hal ini, mestinya menumbuhkan kesadaran diri bahwa manusia haruslah mulai belajar memahami bahwa dirinya adalah bagian dari alam yang terus berkembang menuju tempat paling tinggi dan dapat merencanakan perkembangan itu.

Konsep waktu lahir dari keinginan dasar manusia untuk punya kendali atas hidup, termasuk mengendalikan dirinya sendiri. Masa lalu, masa kini dan masa depan hanyalah satu gerakan tunggal. Kekekalan.

Titik Empat - Paradoks Semesta

Kenyataan yang dapat diamati maupun dihayati dalam kehidupan adalah kehadiran dua sifat yang bertentangan yang selalu muncul pada setiap ruang maupun waktu. Adanya siang dan malam, gelap dan terang serta sifat-sifat pertentangan yang lain menunjukkan bahwa masing-masing unsur memiliki kekuatan baku yang tak dapat dihindari.
Secara garis besar paradoks memiliki makna sebagai “dualisme yang mewujud dalam satu ruang dan waktu”. Kehadirannya menjadi hal yang tak terpisahkan dalam seluruh rangkaian perjalanan semesta. Namun acapkali tidak disadari oleh manusia.

Aksi peperangan misalnya, walaupun keberadaannya dianggap sebagai sesuatu yang dibenci, dicaci maki bahkan dikutuk disana sini namun dalam kenyataannya menjadi bagian dari sejarah manusia yang masih saja terjadi atau dilakukan oleh manusia hingga saat ini dimana manusia telah mengukuhkan dirinya sebagai makhluk yang beradab dan selalu dinyatakan setiap detik. Pertanyaan mendasar dalam sejarah peradaban manusia mengenai peperangan adalah : membangun atau merusak, tak dapat ditemukan jawabannya secara pasti.

Inilah kenyataan yang relatif atau relativitas yang nyata. Paradoks adalah relativitas. Paradoks adalah area abu-abu. Paradoks adalah kejelasan yang samar atau samar yang jelas. Sesempurna apapun sebuah tatanan, chaos selalu ada, membayangi seperti siluman abadi. Kejelasan mau tidak mau harus berkaca, menemukan dirinya ternyata berasal dari kesamaran. Bahwa kebenaran yang utuh hanya didapatkan setelah melihat kedua sisi cermin kehidupan. Dengan demikian, persoalan pokok yang mesti disikapi adalah lebih pada penghayatan makna keseimbangan.

Bagi manusia yang melihat dunia hanya dari aspek ‘hitam’ dan ‘putih’ saja, siap-siaplah shock, terguncang dan tergagap-gagap ketika melihat atau memasuki area abu-abu yakni dimensi samar.

Titik Lima - Cinta

Satu kata yang abadi dalam kehidupan manusia adalah ‘Cinta. Dapat dipastikan setiap manusia yang hadir di muka bumi sangat mengenal, membahas dan mencarinya di setiap sudut dunia. Seringkali manusia membicarakannya namun selalu saja tak mampu menterjemahkannya. Seluruh manusia selalu mencarinya namun seringkali juga gagal menemukannya. Hal ini karena Cinta selalu dipublikasikan dengan cara yang tidak tepat. Satu produk tetapi dipromosikan dengan setumpuk katalog maupun pamflet yang berbeda-beda.  Akibatnya adalah terjadi miskonsepsi terhadap apa yang dinamakan Cinta. Ada yang saling membenci atas nama Cinta, ada yang saling membunuh atas nama Cinta, ada peperangan atas nama Cinta.

Lantas, apakah substansi Cinta? Cinta adalah energí dasar. Tunggal. Manusia yang gagal menangkap makna esensi Cinta dikarenakan tidak pernah mau atau tidak berusaha memahami Cinta secara utuh. Terjadinya ragam penilaian dan pemilahan atas diri Cinta karena manusia kurang memahami bahwa Cinta adalah zat yang utuh tetapi dalam implementasinya mengalami kadar polusi yang berbeda. Polusi tersebut terjadi dalam pikiran manusia.

Terciptalah kategori atau pemilahan atas diri Cinta berdasar polusi yang berada didalam pikiran manusia. Ada Cinta Asmara dengan kadar polusi nafsu saling menguasai seperti sekumpulan gelandangan berebut  sepetak tanah atau sepotong kardus. Ada pula Cinta Sesama dengan kadar titik tertentu harus mengaburkan ego. Kebahagiaan orang lain adalah kebahagiaannya juga. Begitu pula dengan penderitaan orang lain pun deritanya juga. Lalu ada pula Cinta Sejati dimana dalam dalam penyatuannya tidak dibutuhkan tali sebagai pengikat. Cinta yang membebaskan. Cinta dengan hasrat mengalami atau menghayati. Cinta yang mengerti dan memahami bahwa sesuatu yang agung dan substansial ingin mengalami.

Tanpa menyadari peranan dari Cinta sebagai faktor dinamika yang mutlak atas kehidupan, maka pengertian akan perjalanan hidup tidaklah lengkap. Cinta adalah criteria terpenting untuk mengukur kemajuan yang sungguh dari perjalanan hidup manusia. Di kedalaman sanubarinya, manusia yang mengalami Cinta merasa dirinya bersatu tanpa syarat dengan obyek  yang dicintanya. Persatuan Cinta itu bersifat kebersamaan yang mendasar dan melibatkan seluruh eksistensi dirinya.

Titik Enam - Stasiun Akhir adalah Stasiun Keberangkatan

Angka 0 (nol) adalah kehampaan yang melahirkan angka demi angka dari 1 sampai 9 dan memasuki gerbang 0 untuk memulai perjalanan baru. Angka 0 adalah yang awal sekaligus yang akhir atau juga tak berawal atau berakhir. Siklus kehidupan. Metamorphosa semesta. Kelahiran dan kematian adalah rangkaian perjalanan keabadian semesta.

Semua berawal dari satu titik gerakan. Semua berawal dari satu ide. Semua berawal dari satu getaran sel samar. Bergerak, berekspansi, berevolusi, kembali menuju satu titik awal mula. Jika semuanya adalah siklus, bila segalanya adalah metamorphosa, maka….. Tak ada awal, tak ada akhir, tak ada sebab, tak ada akibat, tak ada ruang, tak ada waktu. Yang ada hanyalah peristiwa itu sendiri. Yang ada hanyalah ADA.

Oleh :
Gus MIKO


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Begitulah Dongeng tercipta, dengan akhir bahagia tentunya. Namun perjalanan hidup tak cukup seperti dalam Dongeng semata, ada ruang antara laju, hati dan logika yang senantiasa mengembara, dengan apa yang disebut… Setia!!!

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | ewa network review