Rabu, 27 November 2013

Mahasiswa dan Seni : Mahasiswa "Nyeni" Atau Seni " Mahasiswa"

MAHASISWA DAN SENI ;
MAHASISWA “NYENI” ATAU SENI “MAHASISWA” ?


Atas nama tak ingin ketinggalan di peta percaturan dunia, bangsa ini sedang “mabuk” terhadap apa yang dinamakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Satu-satunya cara yang dianggap paling ideal adalah memfokuskan program pada sektor pendidikan formal. Untuk itu, lembaga sekolah dan universitas yang diselenggarakan negara maupun swasta berdiri bertebaran dan menjadi “harapan akhir” yang sangat menjanjikan bagi seluruh lapisan masyarakat agar setelah lulus nanti dapat jadi “orang”. Dan entah darimana datangnya, hipnotis positivisme yang mengedepankan segala sesuatu harus terukur atau kuantitatif yang dibuktikan dengan nilai berupa angka-angka, begitu merasuk sehingga seluruh manusia penghuni bangsa ini saling berlomba dan memprioritaskan dirinya apapun caranya hanya untuk mengejar atau meraih coretan angka-angka yang tertera dalam selembar kertas bernama ijasah.

Tak bisa dipungkiri, bahwa lembaga kampus beserta warganya yang disebut mahasiswa menjadi ‘andalan’ yang diharapkan seluruh masyarakat sebagai ujung tombak yang menentukan “merah hijau”nya bangsa ini. Kelompok masyarakat inilah yang ‘layak’ mendapat predikat sebagai “kaum intelektual”, “terpelajar”, “cendekiawan”, atau sebutan lainnya, sehingga di tangan dan di otaknyalah nasib bangsa bergantung.

Banyak realitas ditemui, dalam perjalanan waktunya yang cukup lama, pola pendidikan yang diterapkan dan materi yang diajarkan sering mendapatkan kritik dari banyak pihak. Berbagai kalangan menilai sistem pendidikan yang ada dianggap belum sesuai dengan kultur yang dimiliki bangsa ini. Akibatnya, sistem pendidikan atau kurikulum yang dijalankan hanya menghasilkan produk-produk manusia yang hanya bisa menghafal, berpikir seragam, dan parsial. Dengan kata lain, hanya menghasilkan robot-robot bernyawa yang krisis apresiasi, tidak qualified, dan miskin kreatifitas. Atau jika boleh melakukan pembelaan diri, kecerdasan yang dimiliki hanyalah bersifat intelektualitas saja tanpa diiringi dengan kecerdasan emosional  sebagai penyeimbang. Sekedar catatan pembanding, bangsa Amerika Serikat (USA) sebagai ‘biang’nya intelektual dan pemuja positivisme, telah tersadar dan mulai membenahi diri dalam mencetak tingkat kecerdasan anak bangsanya. Sejak tahun 1980-an, pemerintah AS mendapati sebagian besar warganya yang memiliki tingkat intelektual (IQ) relatif tinggi (dibuktikan dengan nilai IPK) ternyata tidak mampu atau sulit beradaptasi dengan baik di lingkungan pekerjaannya, apalagi yang berposisi sebagai pembuat kebijakan. Hal ini menjadi kebalikan dari mereka yang memiliki nilai tinggi di kecerdasan emosionalnya (EQ), walaupun nilai IPKnya relatif rendah. Hal ini setidaknya harus menyadarkan kita bahwa betapa sangat pentingnya kecerdasan emosi memiliki peranan dalam realitas kehidupan sosial.
Sejarah kesadaran manusia yang harus berhadapan dengan kecerdasan intelektual (rasio) atau kecerdasan emosi (intuisi) sebagai unsur prioritas untuk dijalani, menjadi persoalan yang berkepanjangan untuk dibahas. Hal ini berarti, ‘keduanya’ (rasio dan intuisi) harus berjalan beriringan tanpa harus mengesampingkan yang satu dengan yang lainnya. Ibaratnya, ‘mereka’ adalah “pasangan serasi” yang jangan dipisahkan begitu saja. ‘Kedua’nya harus bertemu untuk saling melengkapi. Namun, seringkali manusia yang telah terjebak dengan urusan ‘ukuran normatif’ angka-angka dalam nilai (kebanyakan mereka yang berpredikat mahasiswa), kesulitan bagaimana upayanya untuk meningkatkan kecerdasan intuitifnya.

Tak ada yang meragukan bahwa kesenian adalah yang paling lekat dalam urusan meningkatkan kecerdasan emosional karena di dalam kesenian, ‘energi’ yang digunakan adalah intuisi. Dalam kesenian, disamping mengajarkan tentang nilai-nilai apresiasi estetik (keindahan), kesenian juga kerap mengajarkan tentang nilai-nilai moral (etika). Saat ini, memang telah ada lembaga pendidikan formal yang secara spesifik mengambil bidang kesenian seperti ISI atau STSI. Demikian pula, di universitas umum (non spesifik seni), juga telah memfasilitasi dengan diadakannya ruang semacam Unit Kegiatan Mahasiswa, salah satu diantaranya mengakomodasi kegiatan kesenian. Yang jadi pertanyaan berikutnya (bagi mahasiswa Universitas umum) adalah seberapa perlukah kegiatan kesenian bagi kepentingan dirinya mengingat secara realitas capaian nilai yang dituntut pihak kampus adalah nilai mata kuliah secara akademis bukan capaian prestasinya di bidang kesenian. Di lain sisi, bergesernya makna kesenian dari sifatnya yang mengajarkan nilai-nilai moral dan keindahan menjadi bersifat hiburan semata akibat pengaruh kemajuan teknologi (terutama di bidang media massa) tak bisa dihindari lagi juga mempengaruhi kejiwaan mahasiswa dalam memandang fungsi kesenian. Sudah bukan hal yang mengherankan lagi, jika di dalam benak mahasiswa, yang disebut kesenian adalah : musik sama dengan band, tari identik dengan hip-hop,  drama adalah sinetron, sehingga dengan sendirinya mempengaruhi motivasi tindakan mereka dalam berusaha melakukan aktifitas keseniannya menuju kesana.

Sebagai ‘makhluk terpelajar’ sudah sewajarnya jika mahasiswa membuka cakrawala kesadarannya untuk merefleksikan dan mengevaluasi dorongan-dorongan kebutuhan fisik maupun jiwanya. Memang benar adanya, bahwa tujuan awal mahasiswa memasuki gerbang universitas adalah kuliah, dalam arti menimba ilmu-ilmu akademik yang menimbulkan konsekuensi harus berkutat dengan materi-materi perkuliahan yang diajarkan sebagai prosentase utama. Kalau toh memiliki hasrat untuk mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa di bidang kesenian, tentulah sebagai unsur kedua.  Pada tataran persoalan seperti ini, diharapkan kecerdasan dari mahasiswa bersangkutan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya. Sebagai ilustrasi, jika pendidikan akademik sebagai kebutuhan pokok yang diibaratkan sebagai nasi, maka kegiatan berkesenian adalah ‘pelengkap kelezatan’ yang diibaratkan sebagai lauk pauk, sayur mayur atau buah-buahan. Secara garis besar, antara pencapaian ilmu akademik dengan tindakan berkesenian bukanlah sebagai pilihan yang harus dipilih salah satu, melainkan ‘keduanya’ merupakan kebutuhan yang harus diraih demi ‘asupan gizi’ kebutuhan diri. Pada ruang kesenian, seorang mahasiswa mestinya mencari atau saling memberikan dengan rekan yang lain hal-hal pengetahuan yang tidak diperolehnya dari materi kuliah akademik. Jika mau dan mampu mengeksplorasinya, dalam ruang kesenian tersedia ilmu-ilmu yang bersifat memberikan kematangan terutama di ranah kecerdasan emosi. Dan tentunya, keseimbangan (jika tidak pantas disebut kesempurnaan) antara intelektual (rasio) dengan emosional (intuisi), bakal diperoleh. Jika antara rasio dan intuisi dapat dikolaborasikan, maka cita-cita dari semua orang untuk ‘memanusiakan manusia’ niscaya sedikit banyak dapat diwujudkan.



0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | ewa network review