Selasa, 03 Desember 2013

BAHASA INTUISI (Memahami Bahasa SAMAR)

BAHASA INTUISI  (Memahami Bahasa SAMAR)

A.    Pada mulanya adalah “Kata”.






Tetapi….Sudah Kau Pahamikah Bahasaku?

kau katakan aku susah dimengerti
kau bilang aku banyak mimpi
kau umumkan warasku harus diuji
untuk itu aku diam
untuk itu aku bungkam
untuk itu aku biarkan

tetapi….
satu tanya dariku
sudah kau pahamikah bahasaku?
(puisi, gus miko, 2013)

Bait puisi tersebut adalah rangkaian kata-kata sebagai perwujudan bentuk alat komunikasi antar manusia. Dapat dikatakan, “kata” merupakan kunci pokok kebudayaan manusia. Dari kata-kata yang hadir memunculkan bahasa yang kemudian melahirkan berjuta-juta kebudayaan. Hanya saja, bahasa yang ditampilkan  acapkali tak tertangkap oleh yang lain karena beberapa faktor dan alasan.

Persoalan sementara yang dihadapi manusia adalah terdapatnya kesenjangan kualitas dalam ranah persepsi yang disebabkan oleh perbedaan pola pikir maupun upaya individu dalam rangka pencarian pengetahuan. Hal ini bisa saja dikarenakan latar belakang motivasi dan kebutuhan per orang yang berbeda.  Sedangkan, pada sisi realitas kesemestaan, apa yang ditampilkan dan disajikan oleh “semesta raya”, tak dapat dikonsumsi begitu saja secara sempurna oleh manusia dengan segala keterbatasan kemampuannya yang meliputi kemampuan menangkap secara jasmani (inderawi), kemampuan mengetahui secara akal (pikiran) dan kemampuan memahami dengan rasa (intuisi). Cabang-cabang tertentu mengenai fenomena semesta yang maha luas ini, mengharuskan manusia yang berupaya melakukan pendekatan untuk menterjemahkannya pun melalui cara tertentu pula. Ada yang cukup diukur dengan indera, ada yang harus dilalui dengan pengetahuan pikiran, serta ada segala sesuatunya yang mesti ditempuh dengan jalan penghayatan kalbu (intuisi).

Usaha manusia dengan segala keterbatasannya dalam menangkap makna yang ditampilkan alam semesta dengan segala keluasannya seringkali menemui kendala tatkala harus menterjemahkan secara verbal harfiah. Apalagi jika penyampaiannya ada sangkut pautnya dengan manusia lain yang beragam kadar pemikiran  dan tingkat kualitas pemahamannya. Pada persoalan ini, sebagai keterwakilan atas segala inti kenyataan yang akan disampaikan, maka bentuk penyampaiannya berupa simbol, kiasan, metafora atau istilah lain yang berkaitan. Bentuk-bentuk bahasa alegori semacam ini sudah jamak terjumpai pada syair-syair pujangga, puisi, naskah drama (teater), epos, maupun sebagian besar ayat-ayat dalam kitab suci agama. Simbol (symbol), secara etimologis berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang berarti melemparkan secara bersama antara benda atau perbuatan dikaitkan dengan suatu ide. Atau juga ada yang menyebutkan “symbolos” yang berarti tanda atau cirri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Sedangkan metafora (metaphor) memiliki arti pemakaian suatu objek atau konsep, berdasarkan kias atau persamaan. Itu berarti suatu susunan kata yang pada mulanya digunakan untuk makna tertentu (secara literal atau harfiah) dialihkan kepada makna yang lain.

Dari hal inilah, maka pemaknaan tentang kata-kata atau bahasa -- setidaknya bahasa intuisi – menumbuhkan faktor kesulitan tersendiri, jika tanpa didasari pengetahuan-pengetahuan lain yang memiliki kaitan atas apa yang ditampilkan dalam kata-kata tersebut. Sebagai peringatan sekaligus dorongan agar dapat memahami bahasa intuisi, cukuplah jika meminjam sebuah pernyataan sebagai refleksi diri, yaitu : “ada banyak hal yang tidak mampu diterjemahkan dengan sekedar kata-kata”.

B.    Meneropong (bahasa) Intuisi

Upaya meneliti lebih dalam tentang bahasa Intuisi, mau tidak mau tergiring ke persoalan manusia karena memang hanya manusia yang memiliki Intuisi termasuk bahasanya dibanding dengan makhluk-makhluk lain non manusia. Hanya pada diri manusia saja tumbuh rasa atau hati nurani (conscience), seperti benar dan salah atau arti sebuah nilai. Dengan berlandaskan ‘apa yang ada’, manusia dapat mengatakan ‘apa yang harus ada’.

Para ahli dari berbagai macam cabang ilmu sepakat bahwa ada beberapa sumber pengetahuan yang secara garis besar terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : pengetahuan yang bersumber pada persepsi badan (indera), pengetahuan yang bersumber pada pemikiran (akal), dan sumber pengetahuan yang bersumber pada “dalam diri” manusia yang banyak memiliki istilah seperti, hati, rasa, nurani, kalbu atau yang kemudian merujuk ke istilah intuisi.

Suatu sumber pengetahuan yang bersandar pada intuisi adalah pemahaman langsung atas suatu pengetahuan yang tidak merupakan hasil pemikiran yang sadar atau persepsi rasa secara langsung. Beberapa pengertian mengenai pengetahuan intuisi terangkum diantaranya : rasa yang langsung tentang keyakinan, imajinasi yang tercampur dengan keyakinan, respons total terhadap situasi, serta panfangan langsung kepada kebenaran.

Pada titik perkembangannya, pengetahuan yang didasarkan atas (bahasa) Intuisi, lazim dikelompokkan dalam cabang pengetahuan yang diberi label “mistisisme”.

1.    Tinjauan Nusantara

Pengetahuan intuisi atau mistisisme di Indonesia yang sebagian besar berkiblat di Jawa mengarah pada istilah “kebatinan”, atau “kepercayaan”, karena instrumen yang dipakai adalah olah batin.
Memang pada dasarnya definisi mengenai bahasa batin atau intuisi cukup rumit bagi sebagian pihak karena seringkali dipahami sebagai hal-hal yang bersifat abstrak. Sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Harun Hadiwijoyo (1973) : “bahwa mereka yang mencari definisi intuitif atau kebatinan yang berpangkal dari kata ‘batin’ akan menemui kegagalan. Adalah sukar sekali mendefinisikannya, karena : 1) sangat tergantung dari sikap yang member definisi, 2) karena sifatnya (intuisi) yang samar-samar dan penuh rahasia”.

Wongsonegoro (1962) memberikan penjelasan tentang hal ini sebagai berikut : “kebatinan (intuisi) mengandaikan adanya ruang hidup di dalam diri manusia yang bersifat kekal. Disitulah terdapat kenyataan mutlak, latar belakng terakhir dan definitif dari segala apa yang bersifat sementara, tidak tetap atau semu saja. Seluruh alam kodrat dengan segala daya tenaganya hadir secara immanent di dalam batin itu dalam wujud kesatuan tanpa batas antara masing-masing bentuk. Bila manusia mengaktifkan daya batinnya dengan olah rasa, dia membebaskan diri dari prasangka tentang keragaman bentuk-bentuk”.

Sedangkan Dr. Soerono (1977) menyampaikan bahwa : “olah batin (intuisi) atau kebatinan adalah suatu ilmu atas dasar Ketuhanan absolut, yang mempelajari kenyataan dan mengenal hubungan langsung dengan Tuhan tanpa perantara”.
Rachmat Subagya (1977) menafsirkan kegiatan intuitif ini dengan simpulan : “semua pikiran atau tindakan yang berdasarkan kekuatan tak terlihat (super natural) yang mencari dan ingin mengetahui kenyataan di belakang fenomena lain”.

2.    Tinjauan Filsafat

Seorang ahli filsafat dari Norwegia, Henrik Steffens menyatakan, “ karena telah kelelahan dalam perjuangan abadi untuk menemukan jalan menembus materi kasar, kami memilih jalan lain dan berusaha untuk merengkuh yang tak terbatas. Kami masuk dalam diri sendiri dan menciptakan dunia baru”.

Pernyataan tersebut merupakan bentuk awal keputus-asaan terhadap pencarian kebenaran melalui indera dan pikiran yang tak pernah memuaskan, sehingga yang bersangkutan mengambil jalan melalui intuisi.

Di kancah filsafat, terjadi pertentangan atas pengetahuan yang berdasarkan intuisi. Kaum ‘logis-positivis’ menolak atau menentang hasil pengetahuan intuisi karena dianggap tidak mengena untuk diterapkan bagi dunia fisik. Penekanan terhadap rasional obyektif yang tercermin dalam pengukuhannya terhadap ungkapan sistesis, analitis, dan alasan terjaminnya obyektivitas ilmiah memberikan syarat suatu verifikasi bagi pengetahuan intuisi.

Sebaliknya, para filsuf yang tergabung dalam fenomenalis dan eksistensialis mengutamakan pengenalan langsung yang intuitif untuk mendapatkan penghayatan atau pengalaman asli yang melibatkan seluruh subyek. Dengan demikian realitas yang tertangkap adalah asli. Menurut mereka, apa yang dirumuskan secara rasional, meskipun jelas dan sistematis namun lebih banyak merupakan konstruksi logis sang pengamat saja, dianggap sebagai sesuatu yang tidak asli atau orisinal sehingga dinilai “jauh” dari realitas. Menurut para filsuf intuisionisme, ‘pengetahuan yang lengkap hanya diperoleh melalui intuisi atau perasaan saja.

Bermula dari temuan Imannuel Kant (1724 -1804) seorang filsuf yang ilmunya dikategorikan sebagai kriticisme atau ada pula yang menyebutnya sebagai fenomenalis yang menguraikan pendapatnya : “manusia tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang sesuatu benda seperti keadaannya sendiri, melainkan sesuatu yang menampak atau gejala saja”. Berangkat dari simpulan ini, maka muncullah kemudian para filsuf intuisionisme yang mendaur ulang ajaran-ajaran Plato pada sisi pokok idealisme yang dipadukan dengan fenomena Kant.

Schelling (1775 – 1854) menyatakan bahwa : “manusia menyimpan seluruh alam raya di dalam dirinya sendiri dan dapat paling dekat menyentuh misteri itu dengan melangkah masuk ke dalam dirinya sendiri”.

Filsuf-filsuf lain yang terkenal pada kategori intuisionisme adalah George Santayana, W.E. Hocking dan Henry Bergson. Santayana memakai istilah intuisi dalam arti kesadaran tentang data-data yang langsung dapat dirasakan. Hocking berkata bahwa, “mengetahui diri sendiri (self-knowledge) adalah kasus intuisi yang terbaik. Mengetahui diri sendiri selalu ada dalam pengetahuan tentang benda-benda lain. Sedangkan Henry Bergson (1895 – 1941) memberi penekanan bahwa intuisi adalah satu macam pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indera atau akal. Bergson memberi penjelasan, bahwa intuisi dan akal mempunyai arah yang bertentangan. Intelektual adalah alat yang dipakai oleh sains untuk menghadapi materi atau benda-benda dan hubungan kuantitatif. Membekukan apa yang disentuh dan tidak dapat menghadapi watak kehidupan atau zaman. Intuisi yang menjadi kesadaran diri sendiri, dapat menuntun kepada kehidupan yang paling dalam. Jika intuisi dapat meluas, intuisi dapat memberi petunjuk dalam hal-hal yang paling vital.

Pada tataran ini, dapat disimpulkan bahwa : “Intuisi adalah usaha yang tidak terbatas di dalam keterbatasan”

3.    Tinjauan Agama

Dari semua agama besar yang ada di dunia, baik itu agama-agama Timur (Hindu, Budha, Tao) maupun agama Barat-Semitik (Yahudi, Nasrani, Islam) sangat mengenal bahkan akrab dengan bahasa Intuisi yang penuh perlambang, kiasan, atau metafora. Hal ini banyak dijumpai pada ayat-ayat dalam kitab sucinya masing-masing yang banyak sekali bersifat alegoris. Bahkan ada pengajaran tertentu mengenai metodologi untuk upaya penafsiran ayat demi ayat.

Dalam Hinduisme dikatakan bahwa ‘jalan’ atau ‘cara’ tidaklah cuma satu ‘jalan’ saja yaitu hanya lewat gejala tahu saja. Ada berbagai macam marga (jalan/cara) dalam mengupayakan kebenaran sejati (the ultimate Truth) yaitu ‘jalan lewat pengetahuan (Jnana-marga), ‘jalan lewat pengabdian’ (Bhakti-marga), dan ‘jalan lewat perbuatan’ (Karma-marga). Budhisme sangat kental dengan bahasa-bahasa intuisi yang termaktub dalam ajaran-ajarannya seperti Sunyata, Nirvana, Sukha-Dukha, Dhamma-Kamma, dan masih banyak lagi istilah – istilah lain yang upaya penafsirannya melalui cara-cara tertentu. Demikian pula Tao yang popular dengan pembagian unsur semesta dengan istilah Yin dan Yang.

Agama-agama Semit seperti Yahudi, Nasrani/Kristen dan Islam mengupayakan penafsiran ayat-ayat kitab suci yang diyakini sebagai Firman Tuhan dengan cabang ilmu tersendiri. Dalam agama Yahudi peranan Rabbi (pendeta, orang yang disucikan) mendapat posisi yang sangat menentukan dalam menerangkanmakna yang terkandung dalam kitab sucinya. Dalam konteks teologi Kristiani istilah mistis intuitif diterapkan pada gejala tingkat tertinggi penghayatan religious yang disebut : Gnosis. Level ini (Gnosis) menandai kesempurnaan insani yang telah menghayati kemanunggalan dengan Tuhan. Agama Semitik lainnya yaitu Islam sangat concern terhadap ilmu tafsir kitab suci. Satu cabang disiplin ilmu bahasa Arab, yang dinamakan ilmu Al Bayan, mengkhususkan diri pengupayaan tafsir kata atau bahasa yang bersifat metaforis atau dalam istilah Arabnya disebut Majaz. Hal ini menunjukkan bahwa tak bisa disangkal setiap bahasa mengenal kata atau ungkapan yang bersifat metaforis, termasuk bahasa yang digunakan Al Qur’an sebagai kitab suci umat Islam.
Dalam disiplin ilmu Al Qur’an, kata yang bersifat metafora, kiasan atau perumpamaan, disebut Ta’wil yaitu melalui kesepakatan ulama-ulama (setelah abad 3 H), didefinisikan sebagai : “mengalihkan arti suatu kata atau kalimat dari makna asalnya yang hakiki ke makna lain berdasarkan indicator-indikator atau argumentasi-argumentasi yang menyertainya”.

C.    Upaya Memahami Bahasa SAMAR

Bertolak dari realitas tingkat pemahaman setiap manusia yang berbeda-beda, maka terdapat hal-hal, yaitu :

1.    Mengenai Keadaan Intuisionis :

Dikarenakan pendekatan intuisi adalah pengupayaan mendapatkan pengetahuan dari suatu kebenaran yang bersifat rahasia, tersembunyi atau samar-samar, maka terdapat persoalan, yakni :
a.    Kelemahan atau bahaya intuisi adalah bukan merupakan metode yang aman jika dipakai sendirian. Persoalan ini akan mendorong kepada pengakuan-pengakuan yang tak masuk akal kecuali di cek dengan akal dan indra.
“Tak ada intuisi atau pengalaman yang aman sehingga dapat mengelakkan diri dari kritik rasional”.
b.    Intuisi harus meminta bantuan rasa inderawi dan konsep-konsep akal jika berusaha untuk berhubungan dengan pihak lain dan menjelaskannya atau jika mempertahabkan diri terhadap intepretasi yang salah atau serangan-serangan.
c.    Intuisi harus membuang jauh-jauh sikap yakin dan tak dapat salah.
d.    Intuisi, intelek dan rasa pengalaman harus dipergunakan bersama dalam mencari pengetahuan.

2.    Mengenai Keadaan Pihak Lain (Awam) :

Bahwa secara realitas pula kelompok masyarakat sebagian besar terdiri dari kelompok awam yang memiliki ciri pokok bertindak dan berpikir, beralih dari generasi ke generasi dengan sarana meniru dan pengajaran (doctrinal). Cara yang umum untuk memandang sesuatu tersebut lazim dinamakan paham orang awam (common sense). Adapun bentuk-bentuk pemahaman orang awam adalah :
a.    Tindakan orang awam condong bersifat kebiasaan dan meniru yang diwarisi masa sebelumnya.
b.    Pendapat awam seringkali bersifat dangkal. Pendapat ini terjadi akibat percampuran antara fakta dan prasangka serta kebijaksanaan dan kecenderungan emosional.
c.    Pemikiran orang awam cenderung kepercayaan yang tak perlu diuji. Pemikiran ini menimbulkan sikap menganggap pengetahuan telah cukup dan tak ada lagi pengetahuan diatasnya.
d.    Penghayatan orang awam jarang disertai penjelasan mengapa segala sesuatu itu seperti yang dikatakan.

Dari paparan tersebut, maka upaya pendekatan penafsiran mengenai bahasa samar yang seringkali bersifat perumpamaan mesti ditempuh dengan berbagai cara yang meliputi wawasan maupun pengetahuan berbagai ilmu yang relevan dengan hal yang dibicarakan.
Bahasa intuisi sebagaimana bahasa religius dalam konteks teologi, memang tidak akan dapat dipahami kalau diperlakukan sebagai pernyataan-pernyataan yang informatif-deskriptif sesuai criteria kaum logis-positivis. Pengetahuan intuitif tidak dapat diberitahukan karena intuisi berkata tidak dengan bahasa harfiah melainkan dengan menterjemahkan simbol-simbol atau tanda, baik itu secara benda atau bahasa.

Pertanyaan kritis yang paling mungkin terlontar adalah : “ mengingat pengalaman intuitif hanya dapat dialami manusia ‘tertentu’, apakah pengalaman tersebut bukan hanya suatu ilusi subyektif saja?”.
Upaya memahami atau menafsirkan ungkapan intuitif, secara garis besar dapat dilakukan dengan cara :
1)    Auto-interpretation.

Cara ini adalah penafsiran mengenainya diperoleh melalui penjelasan yang disampaikan oleh pelaku sendiri (intuisionis).

2)    Hetero-interpretation.

Yaitu dilakukan oleh peneliti, penterjemah atau penafsir. Pada taraf ini dibutuhkan orang lain yang sekiranya faham terhadap makna-makna simbolik atau teks-teks alegoris melalui sudut pandang disiplin ilmu lain yang berkaitan, melalui aspek :
a.    Penafsiran lewat teks-teks ungkapan intuionis
b.    Penghayatan Intuitif
contoh sederhana adalah ungkapan teks : “…bunuhlah dirimu,akan kau temukan cinta sejati…”.
Seorang intuisionis sangat mungkin tidak akan menyuruh seseorang untuk bunuh diri secara harfiah. Memahami teks tersebut dapat melalui cara pendekatan sifat-sifat yang menyertai kata. Kata bunuh atau membunuh berkaitan dengan sifat melenyapkan atau memusnahkan. Sedangkan kata diri memiliki sifat-sifat keakuan, ego, atau jenis sifat negatif lainnya yang senantiasa terbawa oleh kepribadian. Pemahaman makna menyangkut teks tersebut adalah : jika ingin mendapatkan cinta sejati, maka harus melenyapkan segala ego atau bentuk keakuan yang selalu menyelimuti diri.
contoh berikutnya adalah apa yang terdapat dalam naskah teater berjudul “Kayu Api” karya Leo Katarsis. Dalam pementasan teater tersebut terungkap dialog yang menggambarkan tentang kapal yang pecah dan situasi masyarakat yang mengaku modern dan beradab namun tindakannya tak jauh beda dengan tindakan kaum barbar dan primitif, yaitu keserakahan dan tindakan penjarahan milik orang lain. Istilah kapal pecah adalah sangat lazim terutama pada masyarakat Jawa yang menggambarkan situasi kebebasan, tanpa adanya hukum baik secara formal maupun moral  mengenai kebebasan dalam menjarah sebanyak-banyaknya harta milik orang lain, tanpa peduli.

Melakukan pemahaman terhadap bahasa intuisi adalah memandang dunia sebagai misteri yang hanya dapat didekati dengan : merasakan, menjadi bagian, dan masuk ke dalam pengertian arti dan makna. To feel it, to become part of it, to penetrate its meaning and significance.
Sumber pengetahuan yang ada (indera, akal, intuisi) sangat ideal untuk dipersatukan guna mendapatkan pengetahuan yang utuh untuh menjadi kebenaran.

Tingkat kesulitan dan kerumitan yang dihadapi manusia dalam menafsirkan pengetahuan intuisi, membuat hanya orang-orang tertentu dengan keinginan kuat untuk belajar dan mempelajarinyalah yang dimungkinkan dapat menangkap gejala-gejala yang ditimbulkan bahasa intuisi. Pada persoalan ini, meminjam pernyataan filsuf eksintensialis Karl Jaspers (1883 – 1969), yaitu : bukan “bagaimana dapat  mengenal”, tetapi “manusia yang bagaimana yang dapat mengenal”.

Oleh : Gus MIKO

SUMBER BACAAN
Louis O. Kattsoff, 2004, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogya
Prof. I.R. Poedjawijatna, 1973, Pembimbing Ke Arah Filsafat, PT. Pembangunan, Jakarta
Drs. Alex Sobur, M.Si, 2004, Semiotika Komunikasi, Rosda Karya, Bandung
Harold Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, 1984, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Dkk, 2007, Islam Universal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Y.A. Surahardjo, 1983, Mistisisme, Pradnya Paramita, Jakarta

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | ewa network review