Rabu, 04 Desember 2013

AWAL dan AKHIR (Telaah Filsafat dan Semiotika Naskah Teater berjudul “Hanga” karya Mophed SK)

AWAL dan AKHIR
(Telaah Filsafat dan Semiotika Naskah Teater berjudul “Hanga” karya Mophet SK)

Komunitas Seni SAMAR 

Pembuka

Beberapa karya besar di bidang sastra yang telah mengakar di masyarakat bahkan menjadi legenda, kebanyakan memiliki tema universal tentang : eksistensi manusia, serta cinta dan kesetiaan sebagai ornamen penting perjalanan hidup manusia dalam menjalani siklus kehidupan. Tatkala suatu makhluk yang kemudian diberi label manusia telah hadir, maka pertanyaan terbesar sepanjang sejarah kehidupan semesta adalah apa yang membedakan antara manusia dengan makhluk yang lain. Demikian pula yang terjadi pada diri manusia secara internal, pertanyaan yang selalu berkecamuk dan tiada henti sepanjang nafas masih berhembus adalah : siapakah aku, darimana asalku, dan kemana kembali.

Hanga ( Ha Nga ) adalah suatu istilah yang diadopsi dari huruf Jawa Ha dan Nga. Dalam lingkup kebudayaan Jawa dikenal susunan alphabet berjumlah 20 huruf yang dimulai dari aksara Ha sebagai huruf awal dan Nga sebagai huruf akhir. Dari gambaran ini, istilah “Hanga” mengacu pada pengertian awal dan akhir yang cukup relevan jika dikaitkan dengan pemahaman mengenai asal dan tujuan (pada tataran ini merujuk pada pemahaman asal dan tujuan manusia atau dalam istilah Jawa adalah sangkan paraning dumadi ).

Pada literatur kebudayaan Yunani (bangsa yang dianggap memiliki peradaban cukup purba), terdapat juga istilah sebagaimana dimaksud dengan cara yang sama pula yakni mengacu pada struktur huruf Alpha (Α / α ) sebagai hal awal dan juga huruf Omega ( Ω ) sebagai hal akhir. Demikian pula yang terjadi pada konsep struktur angka dari Nol (0) dan Sembilan (9). Nol (kosong) seakan tidak memiliki arti apa-apa karena bersifat hampa. Tetapi Nol ( 0 ) adalah pemicu dari kelahiran angka 1 (satu / pertama) untuk menuju ke angka 9 (sembilan) yang akan lebur kembali ke angka 0 (nol). Angka 0 yang diletakkan sebelum angka yang menyertai serasa tidak memiliki makna (01, 02, 03 dan seterusnya), tetapi jika diletakkan pada posisi setelah angka yang menyertai maka akan memiliki nilai yang besar melampaui nilai angka yang menyertainya (10, 20, 30 dan seterusnya).

Ha adalah awal. Sumber dan permulaan segala sesuatu. Nga adalah akhir atau titik tujuan. Semua mengarah pada Nga. Kelangsungan perjalanan hidup baru dapat dipahami jika ditinjau dari tujuan terakhirnya. Maka dari itu, Nga bukan merupakan titik terakhir tetapi sudah selalu ada di tengah perjalanan kehidupan. Kehidupan akan selalu bergerak dan berkembang dari titik Ha menuju titik Nga karena semesta (dimana manusia sebagai puncaknya ) tertarik dari inti pusatnya sendiri (Ha) kepada inti tujuan (Nga). Apabila ‘titik Nga’ tidak ada, maka perjalanan kehidupan niscaya tidak terjadi, macet ditengah jalan, dan merapuh.

Ketertarikan pada inti pusatnya sendiri adalah Cinta. Pengharapan atas pemenuhan cita-cita atau tujuan akhir kebahagiaan adalah Cinta. Dan kesetiaan untuk terus menerus melawan segala kegagalan dan penderitaan adalah esensi Cinta.

Hanga merupakan keutuhan yang tak terpisahkan sebagai sang asal dan sang tujuan. “Hanga” ada sebelum sesuatu, ada dalam segala sesuatu dan ada diatas segala sesuatu.

Titik Satu - Masyarakat dan Seni

Perjalanan kehidupan manusia menuju titik yang menyebabkan dirinya disebut sebagai ‘makhluk berbudaya’ melewati beberapa fase yang kemudian terus bergerak dan berkembang seiring dengan perjalanan semesta itu sendiri. Ada beberapa tahap yang kemudian ditandai sebagai fase titik kebudayaan, yaitu : bahasa, teknologi, politik, seni dan ekonomi.

Pemahaman manusia terhadap kenyataan alam semesta yang indah, memunculkan rasa untuk mewujudkan atau mencipta bentuk keindahan dalam ruang yang lain. Proses perwujudan keindahan ini, dilakukan dengan jalan kontemplasi dan cara-cara penghayatan yang dimiliki. ‘Kontemplasi’ adalah suatu proses perenungan mendalam atau berfikir penuh untuk mencari nilai-nilai, makna, manfaat dan tujuan suatu hasil penciptaan. Pengertian tersebut bersumber pada berbagai kenyataan dalam kehidupan sehari-hari yang hakikatnya selalu menghendaki perubahan. Manusia memahami kebutuhan keindahan ini tidak hanya semata – mata bagi dirinya sendiri, namun juga diperuntukkan bagi ‘kekuatan lain’ diluar dirinya. Agar terdapat keselarasan antara ‘alam’ sebagai penyedia bahan kebutuhan dengan manusia yang memanfaatkannya, maka ‘alam’ juga dipandang layak untuk diberikan persembahan akan hal-hal yang bersifat keindahan sebagai rasa timbal balik. Dalam tindakannya, berwujud pada hasil karya atau cipta seni yang diperolehnya melalui persepsi terhadap fenomena kebudayaan. Hasil karya atau cipta seni tersebut berkembang menjadi cabang – cabang kesenian sesuai dengan bentuk yang diciptakan dan media yang dipergunakan.

Kesenian rakyat (tradisi) tumbuh pada tingkatan bawah (grass-root) sebagai perwujudan eksistensi dengan akses yang terbatas dan dicirikan dengan kesederhanaan. Fenomena yang dapat ditangkap dari perkembangan kesenian rakyat (tradisional) dapat dikatakan sangat memprihatinkan ketika harus berhadapan dengan semakin merasuknya kebudayaan populer yang bersifat instan, pragmatis dan hedonis. Hal ini menjadi sebuah persoalan tersendiri jika dikaitkan dengan nilai-nilai moral masyarakat setempat dan membuat situasi semakin runyam tatkala masyarakatnya sendiri justru tidak memiliki sikap untuk turut menjaga dan melestarikan (nguri-uri) kesenian yang memang kelahirannya berasal dari tanah sendiri. Kekuatan “budaya asing” yang memberikan iming-iming berupa kenikmatan, glamouritas dan bertendensi pada propaganda modernitas sangat kuat mencengkeram masyarakat untuk merelakan dirinya terseret arus.

Dengan demikian, kebudayaan tradisional yang merupakan identitas yang kita miliki dan warisan para leluhur makin memudar, bahkan menghilang. Akibatnya generasi yang terlahir adalah generasi rapuh moralitas, minim nalar dan selalu tergiur dengan keglamouran hidup serta sikap instan. Sebuah krisis jatidiri bangsa ini akan selalu tumbuh dan berkembang seiring dengan pesatnya arus modernisasi dan globalisasi yang menerjang negeri ini, sehingga faham-faham konsumerisme, pragmatisisme, liberalisme, materialisme, kapitalisme dan hedonisme yang berasal dari dunia barat akan selalu meracuni masyarakat negeri ini. Keadaan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa tidak dimaknainya secara benar tentang sistem nilai, wawasan hidup dan sikap yang berlaku di masyarakat selama ini dan tidak ditumbuhkembangkan di dalam batin, pilar-pilar kebudayaan itu dalam diri setiap anggota masyarakat negeri ini.

Menyikapi hal tersebut, sebagai upaya perenungan, sikap dan kelanjutan atas tindakan adalah : sebagai anak zaman yang selalu tumbuh dan berkembang memang tak dapat serta merta menolak arus kebudayaan yang masuk sebagai konsekuensi global, tetapi sebagai anak bangsa sudah semestinya melakukan filter agar tak tercerabut dari akar kebudayaan sendiri sebagai identitas diri.

Titik Dua dan Titik Tiga - Konsep Waktu ( Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Depan )

Pertanyaan besar yang hinggap dalam kesadaran manusia berupa dari mana asal dan kemana tujuan, akan menggiring pada perenungan tentang siapa diri di masa lalu, untuk apa diri di masa kini dan bagaimana diri di masa depan.

Sejak bergelar “manusia” (awal makhluk berkesadaran) hingga masa kini, manusia senantiasa menciptakan gambaran mengenai asal-usulnya. Berbagai ajaran-ajaran hidup, baik itu yang berasal dari perenungan maupun pemikiran senantiasa menguraikan tentang hal-hal tersebut. Dengan segala kemampuannya, meskipun ‘meraba-raba dalam kegelapan’ manusia berusaha sekuat tenaga, pikiran dan hati untuk menguak misteri pertanyaan besar tersebut. Dalam filsafat Timur (Hindu, Budha, Tao) disebutkan bahwa alam semesta termasuk didalamnya manusia merupakan suatu kenyataan Ilahiah, dan selalu berputar tanpa henti dalam lingkaran tertutup dari kekal sampai kekal. Semuanya merupakan kejadian perulangan kembali seperti halnya kelahiran dan kematian.

Dalam hubungannya dengan eksistensi, manusia selalu mengalami adanya ‘dua sifat’ yang selalu bertentangan di semesta ini, lebih-lebih dalam dirinya sendiri. Perjalanan kehidupan inilah yang kemudian menumbuhkan pemikiran mengenai dua sifat yang bertentangan, yang selalu hadir untuk menyatukan kembali sebagai kesimpulan yang kemudian kembali berhadapan dengan pertentangan sifat yang lain. Pemikiran seperti ini diistilahkan sebagai dialektika. Penjabaran secara umum adalah bahwa kehidupan di semesta ini akan mengalami kondisi awal (thesis) lalu berhadapan dengan hal yang berlawanan (anti thesis) yang dari pertemuan keduanya menghasilkan kondisi kesimpulan (sinthesis). ‘Sinthesis’ yang  telah menjadi titik simpul masihlah bersifat sementara sehingga menjadi thesis baru yang siap berhadapan dengan anti thesis baru menuju kesimpulan baru juga. Demikian terjadi terus menerus tiada henti sepanjang semesta masih berputar.

Siklus kehidupan ini sudah selayaknya menjadi pembelajaran bagi manusia untuk menyadari dirinya sendiri, menyadari keberadaan alam dan memahami dunianya. Dari hal ini, mestinya menumbuhkan kesadaran diri bahwa manusia haruslah mulai belajar memahami bahwa dirinya adalah bagian dari alam yang terus berkembang menuju tempat paling tinggi dan dapat merencanakan perkembangan itu.

Konsep waktu lahir dari keinginan dasar manusia untuk punya kendali atas hidup, termasuk mengendalikan dirinya sendiri. Masa lalu, masa kini dan masa depan hanyalah satu gerakan tunggal. Kekekalan.

Titik Empat - Paradoks Semesta

Kenyataan yang dapat diamati maupun dihayati dalam kehidupan adalah kehadiran dua sifat yang bertentangan yang selalu muncul pada setiap ruang maupun waktu. Adanya siang dan malam, gelap dan terang serta sifat-sifat pertentangan yang lain menunjukkan bahwa masing-masing unsur memiliki kekuatan baku yang tak dapat dihindari.
Secara garis besar paradoks memiliki makna sebagai “dualisme yang mewujud dalam satu ruang dan waktu”. Kehadirannya menjadi hal yang tak terpisahkan dalam seluruh rangkaian perjalanan semesta. Namun acapkali tidak disadari oleh manusia.

Aksi peperangan misalnya, walaupun keberadaannya dianggap sebagai sesuatu yang dibenci, dicaci maki bahkan dikutuk disana sini namun dalam kenyataannya menjadi bagian dari sejarah manusia yang masih saja terjadi atau dilakukan oleh manusia hingga saat ini dimana manusia telah mengukuhkan dirinya sebagai makhluk yang beradab dan selalu dinyatakan setiap detik. Pertanyaan mendasar dalam sejarah peradaban manusia mengenai peperangan adalah : membangun atau merusak, tak dapat ditemukan jawabannya secara pasti.

Inilah kenyataan yang relatif atau relativitas yang nyata. Paradoks adalah relativitas. Paradoks adalah area abu-abu. Paradoks adalah kejelasan yang samar atau samar yang jelas. Sesempurna apapun sebuah tatanan, chaos selalu ada, membayangi seperti siluman abadi. Kejelasan mau tidak mau harus berkaca, menemukan dirinya ternyata berasal dari kesamaran. Bahwa kebenaran yang utuh hanya didapatkan setelah melihat kedua sisi cermin kehidupan. Dengan demikian, persoalan pokok yang mesti disikapi adalah lebih pada penghayatan makna keseimbangan.

Bagi manusia yang melihat dunia hanya dari aspek ‘hitam’ dan ‘putih’ saja, siap-siaplah shock, terguncang dan tergagap-gagap ketika melihat atau memasuki area abu-abu yakni dimensi samar.

Titik Lima - Cinta

Satu kata yang abadi dalam kehidupan manusia adalah ‘Cinta. Dapat dipastikan setiap manusia yang hadir di muka bumi sangat mengenal, membahas dan mencarinya di setiap sudut dunia. Seringkali manusia membicarakannya namun selalu saja tak mampu menterjemahkannya. Seluruh manusia selalu mencarinya namun seringkali juga gagal menemukannya. Hal ini karena Cinta selalu dipublikasikan dengan cara yang tidak tepat. Satu produk tetapi dipromosikan dengan setumpuk katalog maupun pamflet yang berbeda-beda.  Akibatnya adalah terjadi miskonsepsi terhadap apa yang dinamakan Cinta. Ada yang saling membenci atas nama Cinta, ada yang saling membunuh atas nama Cinta, ada peperangan atas nama Cinta.

Lantas, apakah substansi Cinta? Cinta adalah energí dasar. Tunggal. Manusia yang gagal menangkap makna esensi Cinta dikarenakan tidak pernah mau atau tidak berusaha memahami Cinta secara utuh. Terjadinya ragam penilaian dan pemilahan atas diri Cinta karena manusia kurang memahami bahwa Cinta adalah zat yang utuh tetapi dalam implementasinya mengalami kadar polusi yang berbeda. Polusi tersebut terjadi dalam pikiran manusia.

Terciptalah kategori atau pemilahan atas diri Cinta berdasar polusi yang berada didalam pikiran manusia. Ada Cinta Asmara dengan kadar polusi nafsu saling menguasai seperti sekumpulan gelandangan berebut  sepetak tanah atau sepotong kardus. Ada pula Cinta Sesama dengan kadar titik tertentu harus mengaburkan ego. Kebahagiaan orang lain adalah kebahagiaannya juga. Begitu pula dengan penderitaan orang lain pun deritanya juga. Lalu ada pula Cinta Sejati dimana dalam dalam penyatuannya tidak dibutuhkan tali sebagai pengikat. Cinta yang membebaskan. Cinta dengan hasrat mengalami atau menghayati. Cinta yang mengerti dan memahami bahwa sesuatu yang agung dan substansial ingin mengalami.

Tanpa menyadari peranan dari Cinta sebagai faktor dinamika yang mutlak atas kehidupan, maka pengertian akan perjalanan hidup tidaklah lengkap. Cinta adalah criteria terpenting untuk mengukur kemajuan yang sungguh dari perjalanan hidup manusia. Di kedalaman sanubarinya, manusia yang mengalami Cinta merasa dirinya bersatu tanpa syarat dengan obyek  yang dicintanya. Persatuan Cinta itu bersifat kebersamaan yang mendasar dan melibatkan seluruh eksistensi dirinya.

Titik Enam - Stasiun Akhir adalah Stasiun Keberangkatan

Angka 0 (nol) adalah kehampaan yang melahirkan angka demi angka dari 1 sampai 9 dan memasuki gerbang 0 untuk memulai perjalanan baru. Angka 0 adalah yang awal sekaligus yang akhir atau juga tak berawal atau berakhir. Siklus kehidupan. Metamorphosa semesta. Kelahiran dan kematian adalah rangkaian perjalanan keabadian semesta.

Semua berawal dari satu titik gerakan. Semua berawal dari satu ide. Semua berawal dari satu getaran sel samar. Bergerak, berekspansi, berevolusi, kembali menuju satu titik awal mula. Jika semuanya adalah siklus, bila segalanya adalah metamorphosa, maka….. Tak ada awal, tak ada akhir, tak ada sebab, tak ada akibat, tak ada ruang, tak ada waktu. Yang ada hanyalah peristiwa itu sendiri. Yang ada hanyalah ADA.

Oleh :
Gus MIKO


Selasa, 03 Desember 2013

BAHASA INTUISI (Memahami Bahasa SAMAR)

BAHASA INTUISI  (Memahami Bahasa SAMAR)

A.    Pada mulanya adalah “Kata”.






Tetapi….Sudah Kau Pahamikah Bahasaku?

kau katakan aku susah dimengerti
kau bilang aku banyak mimpi
kau umumkan warasku harus diuji
untuk itu aku diam
untuk itu aku bungkam
untuk itu aku biarkan

tetapi….
satu tanya dariku
sudah kau pahamikah bahasaku?
(puisi, gus miko, 2013)

Bait puisi tersebut adalah rangkaian kata-kata sebagai perwujudan bentuk alat komunikasi antar manusia. Dapat dikatakan, “kata” merupakan kunci pokok kebudayaan manusia. Dari kata-kata yang hadir memunculkan bahasa yang kemudian melahirkan berjuta-juta kebudayaan. Hanya saja, bahasa yang ditampilkan  acapkali tak tertangkap oleh yang lain karena beberapa faktor dan alasan.

Persoalan sementara yang dihadapi manusia adalah terdapatnya kesenjangan kualitas dalam ranah persepsi yang disebabkan oleh perbedaan pola pikir maupun upaya individu dalam rangka pencarian pengetahuan. Hal ini bisa saja dikarenakan latar belakang motivasi dan kebutuhan per orang yang berbeda.  Sedangkan, pada sisi realitas kesemestaan, apa yang ditampilkan dan disajikan oleh “semesta raya”, tak dapat dikonsumsi begitu saja secara sempurna oleh manusia dengan segala keterbatasan kemampuannya yang meliputi kemampuan menangkap secara jasmani (inderawi), kemampuan mengetahui secara akal (pikiran) dan kemampuan memahami dengan rasa (intuisi). Cabang-cabang tertentu mengenai fenomena semesta yang maha luas ini, mengharuskan manusia yang berupaya melakukan pendekatan untuk menterjemahkannya pun melalui cara tertentu pula. Ada yang cukup diukur dengan indera, ada yang harus dilalui dengan pengetahuan pikiran, serta ada segala sesuatunya yang mesti ditempuh dengan jalan penghayatan kalbu (intuisi).

Usaha manusia dengan segala keterbatasannya dalam menangkap makna yang ditampilkan alam semesta dengan segala keluasannya seringkali menemui kendala tatkala harus menterjemahkan secara verbal harfiah. Apalagi jika penyampaiannya ada sangkut pautnya dengan manusia lain yang beragam kadar pemikiran  dan tingkat kualitas pemahamannya. Pada persoalan ini, sebagai keterwakilan atas segala inti kenyataan yang akan disampaikan, maka bentuk penyampaiannya berupa simbol, kiasan, metafora atau istilah lain yang berkaitan. Bentuk-bentuk bahasa alegori semacam ini sudah jamak terjumpai pada syair-syair pujangga, puisi, naskah drama (teater), epos, maupun sebagian besar ayat-ayat dalam kitab suci agama. Simbol (symbol), secara etimologis berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang berarti melemparkan secara bersama antara benda atau perbuatan dikaitkan dengan suatu ide. Atau juga ada yang menyebutkan “symbolos” yang berarti tanda atau cirri yang memberitahukan sesuatu hal kepada seseorang. Sedangkan metafora (metaphor) memiliki arti pemakaian suatu objek atau konsep, berdasarkan kias atau persamaan. Itu berarti suatu susunan kata yang pada mulanya digunakan untuk makna tertentu (secara literal atau harfiah) dialihkan kepada makna yang lain.

Dari hal inilah, maka pemaknaan tentang kata-kata atau bahasa -- setidaknya bahasa intuisi – menumbuhkan faktor kesulitan tersendiri, jika tanpa didasari pengetahuan-pengetahuan lain yang memiliki kaitan atas apa yang ditampilkan dalam kata-kata tersebut. Sebagai peringatan sekaligus dorongan agar dapat memahami bahasa intuisi, cukuplah jika meminjam sebuah pernyataan sebagai refleksi diri, yaitu : “ada banyak hal yang tidak mampu diterjemahkan dengan sekedar kata-kata”.

B.    Meneropong (bahasa) Intuisi

Upaya meneliti lebih dalam tentang bahasa Intuisi, mau tidak mau tergiring ke persoalan manusia karena memang hanya manusia yang memiliki Intuisi termasuk bahasanya dibanding dengan makhluk-makhluk lain non manusia. Hanya pada diri manusia saja tumbuh rasa atau hati nurani (conscience), seperti benar dan salah atau arti sebuah nilai. Dengan berlandaskan ‘apa yang ada’, manusia dapat mengatakan ‘apa yang harus ada’.

Para ahli dari berbagai macam cabang ilmu sepakat bahwa ada beberapa sumber pengetahuan yang secara garis besar terbagi dalam tiga kelompok, yaitu : pengetahuan yang bersumber pada persepsi badan (indera), pengetahuan yang bersumber pada pemikiran (akal), dan sumber pengetahuan yang bersumber pada “dalam diri” manusia yang banyak memiliki istilah seperti, hati, rasa, nurani, kalbu atau yang kemudian merujuk ke istilah intuisi.

Suatu sumber pengetahuan yang bersandar pada intuisi adalah pemahaman langsung atas suatu pengetahuan yang tidak merupakan hasil pemikiran yang sadar atau persepsi rasa secara langsung. Beberapa pengertian mengenai pengetahuan intuisi terangkum diantaranya : rasa yang langsung tentang keyakinan, imajinasi yang tercampur dengan keyakinan, respons total terhadap situasi, serta panfangan langsung kepada kebenaran.

Pada titik perkembangannya, pengetahuan yang didasarkan atas (bahasa) Intuisi, lazim dikelompokkan dalam cabang pengetahuan yang diberi label “mistisisme”.

1.    Tinjauan Nusantara

Pengetahuan intuisi atau mistisisme di Indonesia yang sebagian besar berkiblat di Jawa mengarah pada istilah “kebatinan”, atau “kepercayaan”, karena instrumen yang dipakai adalah olah batin.
Memang pada dasarnya definisi mengenai bahasa batin atau intuisi cukup rumit bagi sebagian pihak karena seringkali dipahami sebagai hal-hal yang bersifat abstrak. Sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Harun Hadiwijoyo (1973) : “bahwa mereka yang mencari definisi intuitif atau kebatinan yang berpangkal dari kata ‘batin’ akan menemui kegagalan. Adalah sukar sekali mendefinisikannya, karena : 1) sangat tergantung dari sikap yang member definisi, 2) karena sifatnya (intuisi) yang samar-samar dan penuh rahasia”.

Wongsonegoro (1962) memberikan penjelasan tentang hal ini sebagai berikut : “kebatinan (intuisi) mengandaikan adanya ruang hidup di dalam diri manusia yang bersifat kekal. Disitulah terdapat kenyataan mutlak, latar belakng terakhir dan definitif dari segala apa yang bersifat sementara, tidak tetap atau semu saja. Seluruh alam kodrat dengan segala daya tenaganya hadir secara immanent di dalam batin itu dalam wujud kesatuan tanpa batas antara masing-masing bentuk. Bila manusia mengaktifkan daya batinnya dengan olah rasa, dia membebaskan diri dari prasangka tentang keragaman bentuk-bentuk”.

Sedangkan Dr. Soerono (1977) menyampaikan bahwa : “olah batin (intuisi) atau kebatinan adalah suatu ilmu atas dasar Ketuhanan absolut, yang mempelajari kenyataan dan mengenal hubungan langsung dengan Tuhan tanpa perantara”.
Rachmat Subagya (1977) menafsirkan kegiatan intuitif ini dengan simpulan : “semua pikiran atau tindakan yang berdasarkan kekuatan tak terlihat (super natural) yang mencari dan ingin mengetahui kenyataan di belakang fenomena lain”.

2.    Tinjauan Filsafat

Seorang ahli filsafat dari Norwegia, Henrik Steffens menyatakan, “ karena telah kelelahan dalam perjuangan abadi untuk menemukan jalan menembus materi kasar, kami memilih jalan lain dan berusaha untuk merengkuh yang tak terbatas. Kami masuk dalam diri sendiri dan menciptakan dunia baru”.

Pernyataan tersebut merupakan bentuk awal keputus-asaan terhadap pencarian kebenaran melalui indera dan pikiran yang tak pernah memuaskan, sehingga yang bersangkutan mengambil jalan melalui intuisi.

Di kancah filsafat, terjadi pertentangan atas pengetahuan yang berdasarkan intuisi. Kaum ‘logis-positivis’ menolak atau menentang hasil pengetahuan intuisi karena dianggap tidak mengena untuk diterapkan bagi dunia fisik. Penekanan terhadap rasional obyektif yang tercermin dalam pengukuhannya terhadap ungkapan sistesis, analitis, dan alasan terjaminnya obyektivitas ilmiah memberikan syarat suatu verifikasi bagi pengetahuan intuisi.

Sebaliknya, para filsuf yang tergabung dalam fenomenalis dan eksistensialis mengutamakan pengenalan langsung yang intuitif untuk mendapatkan penghayatan atau pengalaman asli yang melibatkan seluruh subyek. Dengan demikian realitas yang tertangkap adalah asli. Menurut mereka, apa yang dirumuskan secara rasional, meskipun jelas dan sistematis namun lebih banyak merupakan konstruksi logis sang pengamat saja, dianggap sebagai sesuatu yang tidak asli atau orisinal sehingga dinilai “jauh” dari realitas. Menurut para filsuf intuisionisme, ‘pengetahuan yang lengkap hanya diperoleh melalui intuisi atau perasaan saja.

Bermula dari temuan Imannuel Kant (1724 -1804) seorang filsuf yang ilmunya dikategorikan sebagai kriticisme atau ada pula yang menyebutnya sebagai fenomenalis yang menguraikan pendapatnya : “manusia tidak pernah mempunyai pengetahuan tentang sesuatu benda seperti keadaannya sendiri, melainkan sesuatu yang menampak atau gejala saja”. Berangkat dari simpulan ini, maka muncullah kemudian para filsuf intuisionisme yang mendaur ulang ajaran-ajaran Plato pada sisi pokok idealisme yang dipadukan dengan fenomena Kant.

Schelling (1775 – 1854) menyatakan bahwa : “manusia menyimpan seluruh alam raya di dalam dirinya sendiri dan dapat paling dekat menyentuh misteri itu dengan melangkah masuk ke dalam dirinya sendiri”.

Filsuf-filsuf lain yang terkenal pada kategori intuisionisme adalah George Santayana, W.E. Hocking dan Henry Bergson. Santayana memakai istilah intuisi dalam arti kesadaran tentang data-data yang langsung dapat dirasakan. Hocking berkata bahwa, “mengetahui diri sendiri (self-knowledge) adalah kasus intuisi yang terbaik. Mengetahui diri sendiri selalu ada dalam pengetahuan tentang benda-benda lain. Sedangkan Henry Bergson (1895 – 1941) memberi penekanan bahwa intuisi adalah satu macam pengetahuan yang lebih tinggi, wataknya berbeda dengan pengetahuan yang diungkapkan oleh indera atau akal. Bergson memberi penjelasan, bahwa intuisi dan akal mempunyai arah yang bertentangan. Intelektual adalah alat yang dipakai oleh sains untuk menghadapi materi atau benda-benda dan hubungan kuantitatif. Membekukan apa yang disentuh dan tidak dapat menghadapi watak kehidupan atau zaman. Intuisi yang menjadi kesadaran diri sendiri, dapat menuntun kepada kehidupan yang paling dalam. Jika intuisi dapat meluas, intuisi dapat memberi petunjuk dalam hal-hal yang paling vital.

Pada tataran ini, dapat disimpulkan bahwa : “Intuisi adalah usaha yang tidak terbatas di dalam keterbatasan”

3.    Tinjauan Agama

Dari semua agama besar yang ada di dunia, baik itu agama-agama Timur (Hindu, Budha, Tao) maupun agama Barat-Semitik (Yahudi, Nasrani, Islam) sangat mengenal bahkan akrab dengan bahasa Intuisi yang penuh perlambang, kiasan, atau metafora. Hal ini banyak dijumpai pada ayat-ayat dalam kitab sucinya masing-masing yang banyak sekali bersifat alegoris. Bahkan ada pengajaran tertentu mengenai metodologi untuk upaya penafsiran ayat demi ayat.

Dalam Hinduisme dikatakan bahwa ‘jalan’ atau ‘cara’ tidaklah cuma satu ‘jalan’ saja yaitu hanya lewat gejala tahu saja. Ada berbagai macam marga (jalan/cara) dalam mengupayakan kebenaran sejati (the ultimate Truth) yaitu ‘jalan lewat pengetahuan (Jnana-marga), ‘jalan lewat pengabdian’ (Bhakti-marga), dan ‘jalan lewat perbuatan’ (Karma-marga). Budhisme sangat kental dengan bahasa-bahasa intuisi yang termaktub dalam ajaran-ajarannya seperti Sunyata, Nirvana, Sukha-Dukha, Dhamma-Kamma, dan masih banyak lagi istilah – istilah lain yang upaya penafsirannya melalui cara-cara tertentu. Demikian pula Tao yang popular dengan pembagian unsur semesta dengan istilah Yin dan Yang.

Agama-agama Semit seperti Yahudi, Nasrani/Kristen dan Islam mengupayakan penafsiran ayat-ayat kitab suci yang diyakini sebagai Firman Tuhan dengan cabang ilmu tersendiri. Dalam agama Yahudi peranan Rabbi (pendeta, orang yang disucikan) mendapat posisi yang sangat menentukan dalam menerangkanmakna yang terkandung dalam kitab sucinya. Dalam konteks teologi Kristiani istilah mistis intuitif diterapkan pada gejala tingkat tertinggi penghayatan religious yang disebut : Gnosis. Level ini (Gnosis) menandai kesempurnaan insani yang telah menghayati kemanunggalan dengan Tuhan. Agama Semitik lainnya yaitu Islam sangat concern terhadap ilmu tafsir kitab suci. Satu cabang disiplin ilmu bahasa Arab, yang dinamakan ilmu Al Bayan, mengkhususkan diri pengupayaan tafsir kata atau bahasa yang bersifat metaforis atau dalam istilah Arabnya disebut Majaz. Hal ini menunjukkan bahwa tak bisa disangkal setiap bahasa mengenal kata atau ungkapan yang bersifat metaforis, termasuk bahasa yang digunakan Al Qur’an sebagai kitab suci umat Islam.
Dalam disiplin ilmu Al Qur’an, kata yang bersifat metafora, kiasan atau perumpamaan, disebut Ta’wil yaitu melalui kesepakatan ulama-ulama (setelah abad 3 H), didefinisikan sebagai : “mengalihkan arti suatu kata atau kalimat dari makna asalnya yang hakiki ke makna lain berdasarkan indicator-indikator atau argumentasi-argumentasi yang menyertainya”.

C.    Upaya Memahami Bahasa SAMAR

Bertolak dari realitas tingkat pemahaman setiap manusia yang berbeda-beda, maka terdapat hal-hal, yaitu :

1.    Mengenai Keadaan Intuisionis :

Dikarenakan pendekatan intuisi adalah pengupayaan mendapatkan pengetahuan dari suatu kebenaran yang bersifat rahasia, tersembunyi atau samar-samar, maka terdapat persoalan, yakni :
a.    Kelemahan atau bahaya intuisi adalah bukan merupakan metode yang aman jika dipakai sendirian. Persoalan ini akan mendorong kepada pengakuan-pengakuan yang tak masuk akal kecuali di cek dengan akal dan indra.
“Tak ada intuisi atau pengalaman yang aman sehingga dapat mengelakkan diri dari kritik rasional”.
b.    Intuisi harus meminta bantuan rasa inderawi dan konsep-konsep akal jika berusaha untuk berhubungan dengan pihak lain dan menjelaskannya atau jika mempertahabkan diri terhadap intepretasi yang salah atau serangan-serangan.
c.    Intuisi harus membuang jauh-jauh sikap yakin dan tak dapat salah.
d.    Intuisi, intelek dan rasa pengalaman harus dipergunakan bersama dalam mencari pengetahuan.

2.    Mengenai Keadaan Pihak Lain (Awam) :

Bahwa secara realitas pula kelompok masyarakat sebagian besar terdiri dari kelompok awam yang memiliki ciri pokok bertindak dan berpikir, beralih dari generasi ke generasi dengan sarana meniru dan pengajaran (doctrinal). Cara yang umum untuk memandang sesuatu tersebut lazim dinamakan paham orang awam (common sense). Adapun bentuk-bentuk pemahaman orang awam adalah :
a.    Tindakan orang awam condong bersifat kebiasaan dan meniru yang diwarisi masa sebelumnya.
b.    Pendapat awam seringkali bersifat dangkal. Pendapat ini terjadi akibat percampuran antara fakta dan prasangka serta kebijaksanaan dan kecenderungan emosional.
c.    Pemikiran orang awam cenderung kepercayaan yang tak perlu diuji. Pemikiran ini menimbulkan sikap menganggap pengetahuan telah cukup dan tak ada lagi pengetahuan diatasnya.
d.    Penghayatan orang awam jarang disertai penjelasan mengapa segala sesuatu itu seperti yang dikatakan.

Dari paparan tersebut, maka upaya pendekatan penafsiran mengenai bahasa samar yang seringkali bersifat perumpamaan mesti ditempuh dengan berbagai cara yang meliputi wawasan maupun pengetahuan berbagai ilmu yang relevan dengan hal yang dibicarakan.
Bahasa intuisi sebagaimana bahasa religius dalam konteks teologi, memang tidak akan dapat dipahami kalau diperlakukan sebagai pernyataan-pernyataan yang informatif-deskriptif sesuai criteria kaum logis-positivis. Pengetahuan intuitif tidak dapat diberitahukan karena intuisi berkata tidak dengan bahasa harfiah melainkan dengan menterjemahkan simbol-simbol atau tanda, baik itu secara benda atau bahasa.

Pertanyaan kritis yang paling mungkin terlontar adalah : “ mengingat pengalaman intuitif hanya dapat dialami manusia ‘tertentu’, apakah pengalaman tersebut bukan hanya suatu ilusi subyektif saja?”.
Upaya memahami atau menafsirkan ungkapan intuitif, secara garis besar dapat dilakukan dengan cara :
1)    Auto-interpretation.

Cara ini adalah penafsiran mengenainya diperoleh melalui penjelasan yang disampaikan oleh pelaku sendiri (intuisionis).

2)    Hetero-interpretation.

Yaitu dilakukan oleh peneliti, penterjemah atau penafsir. Pada taraf ini dibutuhkan orang lain yang sekiranya faham terhadap makna-makna simbolik atau teks-teks alegoris melalui sudut pandang disiplin ilmu lain yang berkaitan, melalui aspek :
a.    Penafsiran lewat teks-teks ungkapan intuionis
b.    Penghayatan Intuitif
contoh sederhana adalah ungkapan teks : “…bunuhlah dirimu,akan kau temukan cinta sejati…”.
Seorang intuisionis sangat mungkin tidak akan menyuruh seseorang untuk bunuh diri secara harfiah. Memahami teks tersebut dapat melalui cara pendekatan sifat-sifat yang menyertai kata. Kata bunuh atau membunuh berkaitan dengan sifat melenyapkan atau memusnahkan. Sedangkan kata diri memiliki sifat-sifat keakuan, ego, atau jenis sifat negatif lainnya yang senantiasa terbawa oleh kepribadian. Pemahaman makna menyangkut teks tersebut adalah : jika ingin mendapatkan cinta sejati, maka harus melenyapkan segala ego atau bentuk keakuan yang selalu menyelimuti diri.
contoh berikutnya adalah apa yang terdapat dalam naskah teater berjudul “Kayu Api” karya Leo Katarsis. Dalam pementasan teater tersebut terungkap dialog yang menggambarkan tentang kapal yang pecah dan situasi masyarakat yang mengaku modern dan beradab namun tindakannya tak jauh beda dengan tindakan kaum barbar dan primitif, yaitu keserakahan dan tindakan penjarahan milik orang lain. Istilah kapal pecah adalah sangat lazim terutama pada masyarakat Jawa yang menggambarkan situasi kebebasan, tanpa adanya hukum baik secara formal maupun moral  mengenai kebebasan dalam menjarah sebanyak-banyaknya harta milik orang lain, tanpa peduli.

Melakukan pemahaman terhadap bahasa intuisi adalah memandang dunia sebagai misteri yang hanya dapat didekati dengan : merasakan, menjadi bagian, dan masuk ke dalam pengertian arti dan makna. To feel it, to become part of it, to penetrate its meaning and significance.
Sumber pengetahuan yang ada (indera, akal, intuisi) sangat ideal untuk dipersatukan guna mendapatkan pengetahuan yang utuh untuh menjadi kebenaran.

Tingkat kesulitan dan kerumitan yang dihadapi manusia dalam menafsirkan pengetahuan intuisi, membuat hanya orang-orang tertentu dengan keinginan kuat untuk belajar dan mempelajarinyalah yang dimungkinkan dapat menangkap gejala-gejala yang ditimbulkan bahasa intuisi. Pada persoalan ini, meminjam pernyataan filsuf eksintensialis Karl Jaspers (1883 – 1969), yaitu : bukan “bagaimana dapat  mengenal”, tetapi “manusia yang bagaimana yang dapat mengenal”.

Oleh : Gus MIKO

SUMBER BACAAN
Louis O. Kattsoff, 2004, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogya
Prof. I.R. Poedjawijatna, 1973, Pembimbing Ke Arah Filsafat, PT. Pembangunan, Jakarta
Drs. Alex Sobur, M.Si, 2004, Semiotika Komunikasi, Rosda Karya, Bandung
Harold Titus, Marilyn S. Smith, Richard T. Nolan, 1984, Persoalan-Persoalan Filsafat, Bulan Bintang, Jakarta
Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Dkk, 2007, Islam Universal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Y.A. Surahardjo, 1983, Mistisisme, Pradnya Paramita, Jakarta

Senin, 02 Desember 2013

Mudik : Usaha Menjadi “MANUSIA”

MUDIK
USAHA MENJADI “MANUSIA”
Oleh : Miko Thor


Drama Kolosal Berjudul “ Mudik”

Ribuan kendaraan berbagai jenis seperti sedang berlomba ‘marathon’ dan berusaha paling awal menyentuh garis finish. Atau jika hal ini adalah sebuah turnamen ‘rally’, maka akan menjadi turnamen terbesar di dunia dengan jumlah peserta terbanyak dan jenis kendaraan paling beragam. Pesawat terbang, kapal laut, bus, mobil pribadi hingga sepeda motor melaju menuju titik sasaran masing-masing. Untuk jenis angkutan umum, semuanya penuh sesak dengan penumpang. Tak ayal, kemacetan panjang arus lalu lintas yang bergerak menyusur jalan raya adalah lazim dan pada situasi tertentu justru menjadi daya tarik tersendiri. Atau setidaknya ‘padat merayap’ adalah pemandangan khas di ruas-ruas jalan raya yang ada di negeri ini dan selalu terjadi pada setiap datangnya Lebaran. Hiruk pikuk. Riuh gemuruh. Sebuah karnaval akbar tanpa panitia resmi ataupun ‘event organizer’ tengah berlangsung. Jutaan manusia terlibat didalamnya. Perhelatan akbar yang jika diakumulasi akan menelan biaya paling mahal dari segala kegiatan yang ada dibelahan bumi.

Maka tak mengherankan jika acara ini dapat mendatangkan inspirasi sesuai kepentingan masing-masing pihak entah itu politik, ekonomi, sosial budaya, ataupun pertahanan keamanan. Tengok saja, dari kancah politik, tiap acara ini berlangsung maka tak disia-siakan untuk dimanfaatkan dalam mencuri perhatian. Kebijakan-kebijakan khusus dibuat oleh para punggawa negara untuk dapat diterapkan dalam kemasan ‘memberi kenyamanan pemudik’. Partai-partai politik ‘menyapa’ manis dengan ucapan-ucapan yang terbentang lewat spanduk atau baliho di sepanjang jalan. Bahkan ada partai politik tertentu yang membuat titik – titik posko di rute yang dilewati dengan memberikan layanan gratis. Dari sektor ekonomi, kehadiran pedagang asongan dadakan bermunculan menjajakan nasi bungkus, makanan kecil dan aneka minuman. Industri skala besar juga tak mau ketinggalan. Umbul-umbul warna-warni bertuliskan produk dagangannya dijejer menghias pinggir jalan. Ada produk makanan, minuman ringan, suplemen, pakaian, komunikasi, suku cadang automotif, elektronika, perabotan rumah tangga sampai kosmetika dan perlengkapan wanita, turut nampang dengan beragam slogan semanis-manisnya menggoda pemudik. Di beberapa titik dibuat counter-counter darurat dan outlet-outlet sementara untuk persinggahan melepas lelah yang dijaga gadis-gadis cantik. Dari bidang sosial budaya, berbagai ormas tak mau ketinggalan ‘turut membantu’ mengatur lalu lintas di titik-titik rawan kemacetan. Bahkan beberapa antropolog mancanegara turut memberikan perhatiannya melakukan penelitian dan kajian. Bagi petugas keamanan terutama kepolisian saat seperti ini adalah pekerjaan paling sibuk. Pengawalan dan pengamanan secara ekstra. Pos-pos pemantau didirikan di tiap sudut dan perempatan untuk memastikan kelancaran dan keamanan acara yang tengah berlangsung. Semuanya demi kelangsungan peristiwa yang menjadi rutinitas tahunan dan selalu berlangsung dengan sendirinya. Peristiwa kolosal yang banyak mengeluarkan energi mulai dari pikiran, tenaga dan biaya.

Ada Apa Dengan Mudik
Adalah pemerataan ekonomi yang menjadi harapan masyarakat namun masih menggantung pada ranah cita-cita. Pergerakan arus ekonomi sebagai penyangga kebutuhan masyarakat yang masih berputar di kota-kota besar saja dengan ibu kota (Jakarta) sebagai titik sentral, menjadikan pertumbuhan ekonomi pada masyarakat pedesaan yang tersebar diseluruh negeri terasa sangat stagnan dan lamban untuk menuju perkembangan. Sedangkan tingkat kebutuhan hidup untuk dapat dipenuhi semakin berkembang dan meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan perjalanan jaman. Harapan untuk memperoleh pendapatan yang setara seakan sebuah kesia-siaan karena para pemangku kebijakan (pemerintah) seolah tak perbah menghiraukan dan hanya konsentrasi pada pengembangan kota besar saja terkhusus ibukota. Segala kegiatan sosial pemerintahan  dan ekonomi terfokus pada ibu kota yang bernama Jakarta. Pembangunan-pembangunan fisik, fasilitas sarana publik, pusat-pusat bisnis mulai dari industri produksi barang dan jasa termasuk hiburan hanya ada di Jakarta dan sebagian kecil tercecer di ibukota-ibukota provinsi. Sedangkan populasi masyarakat sebagian besar berada di pedesaan. Dalam hal perekonomian, terasa jelas bahwa telah terjadi ketidakadilan karena kesempatan untuk hidup sejahtera hanya dapat dirasakan oleh masyarakat kota besar dan Jakarta sebagai kota adi kuasa. Jakarta menampakkan dirinya sebagai ruang yang mampu menjanjikan apa saja termasuk kesejahteraan hidup. Jakarta menawarkan aneka pekerjaan, kekayaan dan kesenangan hidup yang mustahil dapat ditemukan di desa. Tembok-tembok pabrik yang mampu menampung ribuan pekerja, gedung-gedung pencakar langit sebagai pusat bisnis, atau gemerlap lampu-lampu ruang hiburan hanya ada di Jakarta. Panorama seperti ini yang ternyata memiliki daya magnet ketertarikan masyarakat desa untuk berbondong-bondong mendatanginya. Maka terjadilah arus urbanisasi dengan membawa mimpi-mimpi dan motivasi agar dapat hidup layak walaupun sebagai kaum perantauan. Terjadilah peristiwa orang desa mengepung kota dan lambat laun menduduki sebagian besar ruang yang ada dan menjadi penghuni tetap.

Masyarakat Jakarta menyebut kampung dengan istilah udik. Ketika masyarakat pendatang yang akhirnya menjadi warga menetap di Jakarta, mempunyai rasa kerinduan terhadap kampung halamannya dan diwujudkan dengan pulang ke kampung maka disebut Mudik.  Perasaan dan keinginan yang sama dari masyarakat pedesaan yang akhirnya justru menjadi sebagian besar penduduk Jakarta, dan niat untuk mewujudkannya juga sama, maka acara mudik ini menjadi drama akbar dan kolosal yang terjadi di belahan bumi. Sedangkan waktu yang dianggap tepat untuk mewujudkan rasa rindu terhadap tanah kelahiran adalah saat menjelang Lebaran. Terjadilah lakon massal, suatu perhelatan kebudayaan yang tak dapat diukur dengan rumus-rumus atau perhitungan normatif. Ada kekuatan dorongan-dorongan yang tak mampu diungkap oleh logika. Ada pengeluaran biaya yang tak mampu dinilai dengan perhitungan ekonomi. Para pelaku mudik sangat sadar bahwa acara yang dilakoninya sangat melelahkan dan menguras tenaga. Perjalanan yang cukup jauh menempuh rute yang padat dan ramai membutuhkan waktu lebih dibandingkan hari biasa, jelas menghasilkan rasa lelah dan menyakitkan, tetapi spirit dan rasa kenikmatan yang dirasakan tak dapat diukur dengan teori-teori formal.  Biaya yang dikeluarkan juga berlipat. Pada momen seperti ini, tarif angkutan umum bisa naik tiga kali lipat dari tarif normal. Tetapi hal ini dianggap tidak memberatkan sehingga acapkali timbul masalah baru yaitu hadirnya calo-calo tiket yang memanfaatkannya. Tak nampak rasa keberatan dengan berlakunya tarif tiket yang mahal, hanya ada satu prinsip yakni yang penting bisa pulang berkumpul keluarga, apapun kendalanya. Pada perkembangan berikutnya, mudik tidak hanya kepulangan kaum perantau dari Jakarta saja, melainkan dari kota-kota besar lainnya di nusantara sehingga menambah keriuhan dan bernuansa kolosal.

Mencari Manusia dalam Mudik

Salah satu babak drama dalam upacara Lebaran yang paling menarik perhatian adalah Mudik. Tanpa terjadinya mudik, barangkali acara Lebaran tidak memiliki daya tarik, sehingga terasa hambar. Lalu dorongan apa yang senantiasa menumbuhkan spirit untuk bisa pulang kampung, walaupun secara logika merupakan kegiatan yang melelahkan dan menyakitkan? Mereka (kaum perantau) tanpa mengenal kelas, seakan berlomba untuk dapat hadir menunjukkan dirinya di tanah kelahirannya. Pembantu Rumah Tangga akan merengek pada majikannya untuk bisa pulang kampung. Pekerja pabrik, buruh bangunan akan menabung uang hasil kerja kerasnya selama ini sebagai bekal mudik. PNS turut berdesak-desakan mencari tiket bus atau kereta api jurusan kota asal. Manajer perusahaan sampai Direktur dengan mobil pribadinya juga turut memberi warna dalam kepadatan lalu lintas mudik. Benar-benar fenomenal dan tak dapat diukur dengan sudut pandang teori normatif kecuali pandangan yang bersifat psikologis. Beberapa humanis berpendapat dalam suatu kesimpulan, bahwa seorang individu tidak mampu memahami perilaku mereka sendiri yaitu suatu pandangan yang mereka lihat sebagai paradoks.

Jika dipetakan, tampaknya ada beberapa unsur pokok dalam Lebaran yang harus dilalui dengan acara mudik, yakni : Agama, Tempat dan Sosial. Lebaran atau Idul Fitri sangat jelas sebagai hari besar yang dicanangkan umat beragama, dalam hal ini Islam. Ada ritus-ritus khusus yang mesti dijalani pada hari tersebut, Shalat Id misalnya. Walaupun dalam ketentuan agama, shalat id hukumnya sunnah, namun ibadah ini dianggap sebagai upacara pertaubatan penting artinya serasa tertebuslah sudah dosa-dosa selama satu tahun. Jadi tidak mengherankan jika ruang-ruang yang dipergunakan untuk ritual shalat id (masjid, lapangan, halaman parkir, dll) selalu penuh sesak. Proses mudik juga berkaitan dengan tempat, yakni kampung halaman dimana tempat tersebut menjadi bagian penting perjalanan sejarah hidupnya. Di kampung halaman ini biasanya masih terdapat sanak keluarga yang masih bertahan mendiami tanah keluarga serta terdapat tempat yang sifatnya keramat, yaitu tempat beradanya makam para leluhur atau keluarga. Mengunjungi makam-makam leluhur dan keluarga (ziarah) dianggap sebagai sesuatu yang harus dilakukan sebagai pengingat roda sejarah kehidupan. Dapat dijumpai dibeberapa tempat, dimana area makam menjadi ramai dikunjungi orang terutama pada saat-saat menjelang Lebaran.

Yang tak kalah penting adalah kaitan sosial dalam berlebaran. Pulang ‘mudik’ ternyata tak hanya mengunjungi tanah kelahiran saja melainkan ada ikatan-ikatan sosial yang tertinggal. Mereka pulang karena ada sanak saudara, handai taulan, tetangga dan sahabat-sahabat. Ini bisa terlihat pada beberapa orang yang sudah tidak lagi memiliki sanak kerabat di tanah kelahirannya, maka kemungkinan besar tidak turut serta dalam acara mudik. Atau sebaliknya, beberapa orang dari generasi ke sekian, walaupun lahir, besar dan hidup di Jakarta, bahkan tidak mengerti bahasa daerah asal orang tuanya, turut serta di acara mudik karena ada beberapa kerabat orang tuanya di desa. Makna yang tersirat dalam hal ini adalah bagaimana jalinan sosial yang terdekat (keluarga) dan pihak lain (tetangga, sahabat) menjadi sangat penting, dan dengan pemahamannya diharapkan hubungan atau identitas sosial semakin terkuatkan. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang baik dan berupaya menjalin hubungan yang bermakna dan konstruktif dengan orang lain. Tingkah laku manusia hanya dapat dipahami berdasarkan dunia subyektifnya, yaitu bagaimana individu itu memandang diri dan lingkungannya.

Fenomena yang terjadi pada proses mudik dan apa harapannya di kampung halaman, membawa wacana besar yang berkaitan dengan konsep-konsep eksistensial dan bermuara pada aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi -potensi psikologis yang unik. Bisa diamati dengan seksama bagaimana orang-orang tersebut (pelaku mudik) setelah tiba di kampung halaman dan bersosialisasi dengan para kerabat dan handai taulan, merasa sebagai ‘dirinya sendiri’ yaitu sebagai ‘manusia’. Para pembantu rumah tangga, pekerja pabrik, ataupun buruh bangunan dengan segala aktifitasnya selama ini merasakan belum menemukan ‘kemanusiaannya” yang sejati. Mereka merasa dirinya hanyalah sekrup-sekrup kecil dimana tiap pergerakannya ditentukan oleh majikannya atau atasannya. Pada posisi ini mereka menganggap dirinya tak berarti. Namun saat di kampung halaman, mereka berlaku sedemikian rupa, dengan penampilan yang berbeda dari apa yang pernah dilihat oleh keluarga maupun tetangganya masa sebelumnya, cara bicaranya dan banyak lagi perilaku lain. Hasilnya pun, para kerabat, tetangga dan sahabat memandang yang bersangkutan sebagai manusia unggul yang lain dari sebelumnya, termasuk memberikan inspirasi untuk dapat ditiru jejaknya. Demikian pula yang terjadi pada mereka walaupun saat ini memiliki posisi sebagai manajer atau direktur. Walaupun dalam lingkup perusahaan, mereka diposisikan terhormat, namun kesadaran batin mereka toh menganggap dirinya tak ubahnya sebagai mesin- mesin atau robot-robot yang pergerakannya ditentukan oleh tombol sebuah sistem besar bernama perusahaan atau industri. Namun perasaan ini menjadi berbeda tatkala berada di kampung halaman dimana rasa ‘kemanusiaan dirinya’ cukup terasa. Pada ruang seperti ini, manusia memiliki kemampuan dalam diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan menangani masalah–masalah psikisnya. Bahwa makna pada dasarnya perilaku pribadi dan subjektif. Acara mudik yang sangat fenomenal dan kontroversial, bisa jadi adalah proses pencarian manusia dalam mengetahui dan mewujudkan konsep-konsep dirinya. Konsep diri (self concept) adalah bagian sadar dari ruang fenomenal yang disadari dan disimbolisasikan, dimana “aku“ merupakan pusat referensi setiap pengalaman. Konsep diri merupakan bagian inti dari pengalaman individu yang secara perlahan dibedakan dan disimbolisasikan sebagai bayangan tentang diri yang mengatakan “apa dan siapa aku sebenarnya“ dan “apa yang sebenarnya harus saya perbuat“.

Dalam pandangan humanistik, manusia bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka.  Jadi, self concept adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku.
 

Minggu, 01 Desember 2013

LEBARAN : FENOMENA KEBUDAYAAN NUSANTARA

Gemerlap dalam Lebaran

Dibelahan bumi ini, mungkin tak ada yang dapat menyamai keriuhan perayaan tradisi sebuah bangsa sebagaimana yang diperlihatkan oleh perayaan Lebaran. Sebuah pagelaran akbar dihelat begitu riuhnya yang melibatkan seluruh komponen masyarakat dan menelan biaya besar yang tak dapat disentuh oleh hukum-hukum ekonomi. Justru yang terjadi even akbar ini menjadi bidikan pelaku-pelaku ekonomi lintas latar belakang untuk dapat meraup untung besar. Keunikan dan sangat spesifik nusantara dapat dirasakan pada hari-hari sebelumnya. Tatkala masyarakat mulai menghitung hari kapan lebaran tiba dan bagaimana mempersiapkannya.

Aneka jajanan, mulai dari yang khas tradisional buatan sendiri sampai jajanan kemasan fabrikasi, mengisi daftar utama yang harus disediakan di setiap rumah tanpa kecuali. Bahan-bahan makanan untuk konsumsi keluarga dan jajanan untuk suguhan mulai dipersiapkan sedini mungkin. Seringkali jenis makanan tertentu hanya kita jumpai pada masa Lebaran saja. Pakaian baru juga identik dengan Lebaran. Baju baru tidak hanya kebutuhan anak-anak saja, namun orang-orang dewasa juga sibuk menyiapkan. Tak heran jika kios pasar penjual pakaian, toko-toko busana, mall hingga butik ramai diserbu pembeli. Kerumunan manusia berjubel memilih dan memilah pakaian yang dirasa pantas untuk dipakai pada hari kemenangan nanti. Tentunya yang terbaik menurut selera. Bagi yang menginginkan model khusus atau ukuran yang paling pas dan belum tentu ada di pasaran, mereka membeli bahan kain dan menjahitkan pada tukang jahit kepercayaannya. Rumah-rumah dibersihkan dan dicat ulang agar terlihat indah menyambut Lebaran. Interiornya ditata ulang bahkan kalau perlu perabotan baru mesti disediakan.

Kenyataan ini pula yang membuat para pelaku niaga membidik momen besar Lebaran sebagai sasaran menawarkan produk dagangannya. Mereka (kaum produsen barang dan jasa) seperti berlomba menawarkan dagangannya sebagai pelengkap demi sempurnanya menyambut Lebaran. Pasar, pusat pertokoan hingga mall turut serta dalam perayaan ini dengan mempercantik outlet-outletnya penuh dengan ikon-ikon lebaran. Bukanlah hal yang mengherankan jika pada hari-hari seperti ini omset penjualan barang-barang apa saja atau jasa meningkat dan berlipat-lipat dibanding hari biasa.

Media televisi tak mau ketinggalan. Tayangan-tayangan yang dipertontonkan pun yang berkaitan dengan hari raya dan telah dimulai dari bulan Ramadhan. Iklan-iklan yang muncul mulai dari makanan dan minuman, pakaian, perabotan rumah tangga, mainan anak-anak hingga kosmetika dihubung-hubungkan dengan nuansa Lebaran. Artis-artis yang semula terbuka mempertontonkan keindahan bagian tubuhnya kini harus memakai topeng beraroma religius. Badannya dibalut dengan busana khas muslim dengan rajutan bordir dan mengenakan jilbab yang akhirnya menjadi trend dan banyak ditiru pemirsa. Ustad-ustad permanen atau dadakan turut panen job dengan acara-acara pengajian di TV bahkan dalam acara komedi yang dilucu-lucukan bersama artis komedian yang dipaksakan.

Pada hari-hari menjelang lebaran tiba, gelap malam nusantara dihiasi oleh keindahan pijar-pijar kembang api aneka jenis dan gelegar bunyi petasan. Sampai-sampai aparat keamanan mesti turun tangan membuat pelarangan peredaran petasan demi keamanan dan kenyamanan. Tingkat penyambutan lebaran dianggap sudah berada pada tahap berlebihan sehingga dapat membahayakan orang banyak. Pada malam puncaknya, iring-iringan masyarakat membuat karnaval yang diberi istilah Takbir Keliling. Mereka berputar-putar keliling kota menggunakan mobil-mobil bak terbuka. Bagi anak-anak cukup keliling kampung membawa obor dan membawa alat bunyi-bunyian. Semuanya penuh kegembiraan. Para ibu-ibu atau wanita menjalani kesibukan di dapur merupakan keasyikan tersendiri. Mereka meramu masakan untuk dinikmati pada lebaran nanti. Inilah masakan terlezat yang pernah dibuat sekali dalam setahun.

Kesibukan menghadapi ‘hari penting’ ini menyentuh segala aspek. Pemerintah harus membuat kebijakan sebaik mungkin demi sempurnanya Lebaran. Ini adalah hari penting yang ditunggu semua lapisan masyarakat, dan merupakan hari libur panjang. Pengamanan ditingkatkan di setiap titik-titik keramaian dengan penjagaan dan pengawasan petugas keamanan. Bank Indonesia harus menyediakan cadangan keuangan dalam jumlah yang besar, karena sudah dapat dipastikan pada hari-hari seperti ini jumlah transaksi mengalami peningkatan yang sangat tinggi. Petugas pos bekerja ekstra keras agar segala kiriman via jasa pos berupa kartu ucapan, parsel atau kiriman paket-paket yang lain harus tuntas dan sampai ke tangan penerima sebelum hari raya. Perusahaan lain milik negara semacam Telkom harus menjamin kelancaran komunikasi jarak jauh, PLN harus menjamin tak ada gangguan pemadaman listrik, atau Pertamina harus menjamin stok BBM dalam kondisi cukup.

Fenomena dalam Lebaran

Momen besar setahun sekali itu oleh masyarakat Nusantara disebut Lebaran. Masyarakat Jawa menyebutnya Bakda (Bada) yang berarti setelah atau sesudah. Yang dimaksud adalah hari sesudah atau setelah bulan Ramadhan. Masyarakat Jawa yang lain mengistilahkan Riraya (Riyaya) yang berasal dari kata Hari Raya. Lebaran memang tak dapat dipisahkan begitu saja dengan Ramadhan. Dapat dikatakan Lebaran merupakan grand final atas segala ritus yang telah dilaksanakan oleh umat Islam Nusantara pada bulan Ramadhan. Antropolog Andre Moller menyebut Lebaran merupakan puncak dari himpunan ritus-ritus yang menyertainya sejak menjelang bulan Ramadhan.
Lebaran memang satu nafas dengan Hari Raya Idul Fitri yang merupakan hari besar yang dicanangkan bagi penganut Islam di seluruh dunia. Namun dalam bentuk perayaannya, Lebaran (Nusantara) sangat berbeda dengan penyambutan Idul Fitri di belahan dunia lain termasuk akar beradanya agama Islam yaitu di tanah Arab. Perayaan Lebaran di nusantara benar-benar unik dan tak berlebihan jika dikatakan sebagai khas nusantara atau tidak dimiliki oleh bangsa lain.

Fenomena perayaan Lebaran dapat dilihat dari kebiasaan yang dilakukan orang-orang berurbanisasi ke kota besar dalam rangka mengais rejeki. Saat yang dirasa tepat untuk menumpahkan kerinduan terhadap kampung halaman adalah saat Lebaran tiba. Makin banyaknya kaum urban ini berada di kota besar dan memiliki perasaan yang sama terhadap Lebaran, maka kepulangan mereka menjadi massal dan terbentuklah adegan luar biasa dan kolosal di jalan raya negeri. Peristiwa ini populer disebut Mudik. Masyarakat kota besar terutama Jakarta menyebut kampung dengan istilah udik sehingga kepulangan orang-orang pendatang yang menghuni kota ke kampung halamannya disebut ‘mudik’. Tampaknya ada beberapa unsur pokok dalam Lebaran yakni : Agama, Tempat dan Sosial.
Lebaran atau Idul Fitri sangat jelas sebagai hari besar yang dicanangkan umat beragama, dalam hal ini Islam. Ada ritus-ritus khusus yang mesti dijalani pada hari tersebut, Shalat Id misalnya. Pada tataran kebudayaan nusantara, shalat id berlangsung sangat fenomenal. Masjid-masjid, lapangan dan tempat-tempat terbuka lainnya penuh sesak oleh lautan manusia yang turut serta berjamaah. Membayangkan melihat upacara ini dari ketinggian laksana menyaksikan pagelaran teatrikal kolosal. Walaupun dalam ketentuan agama, shalat id hukumnya sunnah, namun ibadah ini dianggap sebagai upacara pertaubatan  penting artinya serasa tertebuslah sudah dosa-dosa selama satu tahun.
Proses mudik juga berkaitan dengan tempat, yakni kampung halaman dimana tempat tersebut menjadi bagian penting perjalanan sejarah hidupnya. Di kampung halaman ini biasanya masih terdapat sanak keluarga yang masih bertahan mendiami tanah keluarga serta terdapat tempat yang sifatnya keramat, yaitu tempat beradanya makam para leluhur atau keluarga. Mengunjungi makam-makam leluhur dan keluarga (ziarah) dianggap sebagai sesuatu yang harus dilakukan sebagai pengingat roda sejarah kehidupan. Dapat dijumpai dibeberapa tempat, dimana area makam menjadi ramai dikunjungi orang terutama pada saat-saat menjelang Lebaran.

Yang tak kalah penting adalah kaitan sosial dalam berlebaran. Pulang ‘mudik’ ternyata tak hanya mengunjungi tanah kelahiran saja melainkan ada ikatan-ikatan sosial yang tertinggal. Mereka pulang karena ada sanak saudara, handai taulan, tetangga dan sahabat-sahabat. Ini bisa terlihat pada beberapa orang yang sudah tidak lagi memiliki sanak kerabat di tanah kelahirannya, maka kemungkinan besar tidak turut serta dalam acara mudik. Makna yang tersirat dalam hal ini adalah bagaimana jalinan sosial yang terdekat (keluarga) dan pihak lain (tetangga, sahabat) menjadi sangat penting, dan dengan pemahamannya diharapkan hubungan atau identitas sosial semakin terkuatkan.

Hikmah dalam Lebaran

Budaya, dimanapun tempatnya jelas memiliki nilai dan juga memiliki norma-norma. Tetapi norma dimaksud tidaklah bersifat statis namun tumbuh berkembang dari waktu ke waktu sesuai dengan ruang, masa dan konteks tujuan. Kebudayaan bukan tidak ada yang merencanakan atau merancangnya demi pemahaman terhadap suatu peristiwa, tetapi budaya selalu tumbuh dan terjadi. Dengan kata lain, budaya bukan didesain oleh seseorang melainkan dihidupkan oleh banyak orang atau suatu komunitas.

Dalam Lebaran dimana muatan yang melekat dalam agendanya adalah bersilaturahmi dan saling maaf- memaafkan, maka terselip makna yang dalam yaitu  : yang jauh didekatkan, yang terputus disambung, yang terpisah dipertemukan, yang rusak diperbaiki, yang berbeda diharmoniskan.
Memandang implementasi masyarakat dalam berLebaran yang sedemikian rupa, tak urung terdapati pula sisi-sisi paradoksial. Tampak ada bentuk-bentuk ‘absurd’ antara kehalusan silaturahmi, maaf-memaafkan, ziarah, sujud pada orang tua, bersalaman pada sisi yang satu, dengan benturan saling berlomba-lomba unjuk aksi, penampilan, pesta dan juga bentuk-bentuk konsumerisme yang lain. Tetapi barangkali hal seperti itulah yang disebut budaya, mungkin juga fenomena tersebut merupakan gambaran sejati manusia dimana hal-hal yang bersifat paradoks bersatu. Atau memang sulit diterjemahkan terhadap dualisme yang terjadi dan telah menjadi tradisi. Antara kekhusukan ibadah dengan keriuhan suara bedug, kentongan dan petasan, antara spirit kembali jernih dengan pesta-pesta konsumtif, antara memperbanyak pemberian (amal) dengan meraup keuntungan (perdagangan).

Ironis memang, tapi barangkali saja lebaran adalah penggambaran umum dari sifat sejati kemanusiaan nusantara. Acara ‘mudik’ misalnya, secara fisik jelas melelahkan karena perjalanan yang cukup jauh, menyakitkan karena harus berdesak-desakan mengantri transportasi, mahal karena ongkos tarif angkutan bisa naik tiga kali lipat belum lagi bekal biaya yang akan dihabiskan untuk berlebaran di kampung, namun semangat dan kenikmatan yang mungkin dirasakan para pemudik tak dapat diukur dengan rumus-rumus atau perhitungan normatif.

Bisa jadi, “budaya Lebaran” adalah suatu sektor yang paling tidak jelas norma dan dogmanya, namun memuat suatu unsur penyeimbang atau yang paling menerima dan bahkan mampu mengelola kehadiran dualisme watak ekstrem manusia. Nilai spiritual dan sosial budaya pada kenyataannya memang tak bisa diukur hanya dari sisi praktis-ekonomis. Dengan demikian, persoalan pokok yang mesti disikapi adalah bukan membersihkan, memberantas atau memberangus hal-hal yang bersifat “hingar bingar” untuk digantikan dengan hal-hal yang bersifat “khusyuk syahdu”, namun lebih pada penghayatan makna KESEIMBANGAN.

Oleh : Miko Thor 




Sabtu, 30 November 2013

SASTRO NINGRAT -an

SASTRO NINGRAT -an
(baca : Sastra ning Ratan ; Sastra Jalanan )

Jalanan selalu diidentikkan dengan ruang kebebasan atau mimbar yang mewakili segala aspirasi yang tak tertampung oleh ‘gedung-gedung kekuasaan’ yang dianggap sebagai ruang formal, priyayi, angkuh, normatif dan sebutan ‘kaku’ lainnya . Para mahasiswa dan aktivis lainnya yang selalu mengklaim menyalurkan aspirasi masyarakat lewat demonstrasi di jalanan seringkali disebut sebagai parlemen jalanan. Para remaja yang selalu menghabiskan aktifitasnya di pinggir-pinggir jalan dan traffic light kota, dinamakan sebagai anak jalanan. Demikian pula, para manusia menyalurkan hobi (atau bakat?) keseniannya di jalanan, entah dengan cara mengamen (cari nafkah) atau sekedar menarik perhatian dengan ‘unjuk kebolehan’ memamerkan tarian meniru orang-orang ‘bule’, kerap diberi julukan sebagai seniman jalanan. Mereka sangat bangga disebut sebagai komunitas jalanan karena dengan begitu secara tidak langsung mereka dianggap sebagai orang yang dekat dengan masyarakat kebanyakan (jelata). Atau dengan kata lain dianggap sebagai humanis.

Di ranah kesenian,- lagi-lagi- istilah street art atau seni jalanan kembali menjadi trend dikarenakan kepentingan legitimasi atau status sosial sebagaimana alasan-alasan yang telah disebutkan tadi. Setelah pada periode 1980-an, dimana jalanan diguncang oleh kehadiran breakdance yang menggunakan jalanan sebagai panggung ekspresinya, dan efektif sebagai ruang pemberontakan ‘rakyat terpinggirkan’ terhadap arogansi kemapanan ( di Amerika Serikat, tentunya….), maka seni jalanan atau diistilahkan agar terdengar keren sebagai street art, kembali di’hidup’kan lagi. Istilah street art (adopsi bahasa asing) yang digunakan sebagai penyebutan, sudah jelas sekali menunjukkan pada pelakunya agar dianggap keren, dan mudah ditebak para pelakunya secara langsung menunjukkan identitasnya sebagai ‘agar dianggap’ sebagai bagian dari masyarakat kebanyakan, walaupun dalam kesehariannya nyatanya krisis hubungan sosial.

Membicarakan atau jika diperkenankan sebagai urun rembug, secara kontekstual  street art atau seni jalanan ternyata telah berlangsung sekian lama di sekitar kita dan dilakukan oleh sebagian masyarakat yang di’cap’ sebagai masyarakat “pinggiran”, yakni para sopir truk. Mereka, para sopir truk itu, mengungkapkan ekspresinya sedemikian rupa melalui tulisan atau gambar-gambar dengan media bak truk, kaca depan dan komponen lain dari kelengkapan kendaraannya yang dibawa dalam mencari nafkah. Dewi Lestari ( Dee ) dalam pengantar novelnya yang berjudul Supernova ; Ksatria, Puteri, Bintang Jatuh,  pun ikut-ikutan menyoroti fenomena ini dengan memberikan sebutan sebagai “sastra bak truk”. Di setiap jalanan yang dilalui truk-truk bermuatan berat itu, kita akan mendapati tulisan-tulisan kreatifitas mereka yang terkadang membuat tersenyum geli bagi mereka yang membacanya, apalagi jika diberi ilustrasi gambar-gambar seperti gadis sexy, perempuan berkerudung, bocah lucu sampai gambar tokoh-tokoh dunia. Seni jalanan ini sebenarnya telah berlangsung bertahun-tahun lamanya dan tetap konsisten seiring dengan perkembangan jaman. Namun, sebagian masyarakat dengan arogansinya tak pernah ‘menganggap’ keberadaannya dengan berbagai alasan sebagai kampungan, norak, dan penilaian lainnya yang intinya memposisikan ‘karya-karya’ tersebut sebagai karya yang tak memiliki selera seni.

Mari kita tengok kembali karya-karya yang diekspresikan para ‘awak truk’ tersebut. Dimulai dari doa sederhana karena jauh dari keluarga lewat tulisan : “Doamu menyertaiku”, “Doakan ayah pulang”, “Utamakan Sholawat”, “ Ma…kapan Papa pulang..”, “Adidas : Ayah dan Ibu Doakan Aku Selamat”.
Ungkapan cinta seperti anak remaja juga turut menyertai untuk diekspresikan. Bagi yang sedang jatuh cinta, cukup menuliskan nama gadis idamannya di kaca depan, “ Lestari, Gadis Pantura”, “Sri… tunggu aku bali..” (Sri…tunggu aku kembali). Bahkan untuk memberi peringatan pada pacarnya, diberi perbandingan “ Cintamu tak seberat Muatanku..”.  Kesetiaan terhadap gadis pujaan yang tidak memilihnya tertuang dalam kalimat klasik “Kutunggu Jandamu..”. Kejujuran menilai terhadap gadis pilihannya akibat mungkin terburu-buru meminang diungkapkan melalui kata-kata “Ayu Ibune” (Cantik Ibunya) atau “Ayu Adine” (Cantik Adiknya). Persaingan memperebutkan ‘cinta’ namun menyadari kekurangannya disampaikan dengan ucapan “ Cinta Ditolak Dukun Bertindak”, “Kalah Rupo Menang Dupo” (kalah di tampang, berharap menang di kemenyan-magis-). Jauh dari sang kekasih namun tak mampu membendung rindu, dinyatakan dalam “Cintaku Seluas Parkiran”, demikian pula jauh dari kekasih atau istri karena pekerjaan yang menyita waktu dinyatakan dalam “Tak Sempat Bercinta”. Angka-angka matematika tak luput pula diothak-athik agar terbaca seperti kata-kata, semisal “ Janda 1/3 dis” (Janda Seperti Gadis), “ber 217 an” (Berdua Satu Tujuan), sampai ke ungkapan kejenuhan “ca 150 yang” (Capek Goyang).

Ada pula yang memotivasi diri maupun temannya dengan menuliskan pernyataan adopsi dari judul lagu perjuangan “Maju Tak Gentar”, atau adopsi dari istilah ponsel “Pesan Terkirim”.  Kalimat tanggung jawab terhadap pekerjaan tertuang dalam “Pulang Malu, Tak Pulang Rindu” atau “Pergi bawa Tugas, Pulang bawa Beras”.  Bentuk perenungan dapat ditemui dalam kata-kata “Hidupku diatas Roda”, atau “Ora ngoyo… Donya tan keno kiniro…” (tidak terburu nafsu tergesa-gesa, rejeki tak dapat ditebak datangnya). Peringatan terhadap pengguna jalan lain, cukup kreatif dituangkan dalam kalimat plesetan “Tut Mburi Mbebayani…” (mengekor dari belakang sangat membahayakan). Termasuk pula yang layak untuk tidak diabaikan yaitu pernyataan protes terhadap majikan dengan kalimat yang sepertinya memakai bahasa Inggris namun minta dibaca sesuai pelafalan bahasa sendiri, yaitu “ Is One My Do” (baca : Isone Maido – bisanya cuma menyalahkan).

Untaian kata – kata tersebut, hilir mudik bersliweran setiap harinya dibawa truk-truk pengangkut barang diatas jalan raya yang menghubungkan antar kota, antar propinsi bahkan antar pulau di negeri ini. Benar-benar di jalanan secara harfiah. It’s the real street.  Bukan diatas panggung ruang hiburan tetapi diumumkan sebagai street art sebagaimana tarian hip-hop yang lagi digandrungi remaja kita saat ini. Bukan pula berada di ruang perlombaan atau kontes pertunjukan yang pura-pura berada di jalanan dengan cara men-setting pelataran parkir seakan-akan sebuah jalan. Bukan pula seperti yang dilakukan sekelompok remaja yang suka mencoret-coret tembok milik orang lain dengan kata-kata yang tak jelas, atau seperti yang dilakukan para pelajar yang katanya dididik menjadi manusia beradab dan dididik oleh pendidik yang katanya beradab pula, namun setiap kelulusan sekolah, selalu saja terdapati dinding (entah itu milik orang lain atau sarana publik) penuh dengan coretan-coretan kata dengan cat semprot (pylox). Juga bukan pula seperti tulisan di spanduk yang dibawa aktivis demonstrasi (bayaran atau tidak) di jalanan yang mengatasnamakan rakyat tertindas namun kenyataan kesehariannya mendapatkan kenyamanan. Sastro Ningrat-an (Sastra Jalanan) yang ditunjukkan para sopir ‘seniman’ truk tersebut terasa begitu jujur, familiar, apa adanya serta nyaris tanpa tuntutan dan provokasi, juga lebih beradab karena menggunakan media yang tidak merusak sarana umum.  Setidaknya, apa yang diekspresikan para sopir truk tersebut walau sebagian kalangan menilai sebagai kampungan, namun cukup menghibur ditengah terik jalanan atau hiruk pikuk lalu lintas yang kadang berpotensi menaikkan tensi darah dan membuat orang cepat marah.

Apabila dicermati lebih dalam termasuk mengesampingkan pengkotak-kotakan karya kesenian, justru ekspresi para sopir truk tersebut layak mendapat apresiasi. Mereka (para sopir truk) terkesan sangat tulus dan terasa ‘keluar dari dalam’ sanubarinya apa yang menjadi dorongan gejolaknya. Kepolosan kalimat yang disampaikan menunjukkan sebuah kesederhanaan namun perlu diungkapkan agar terbaca oleh publik. Sederhana, polos, tulus dan apa adanya. Jika saat ini, generasi bangsa kita lagi ‘mabuk kepayang’ sebagai konsumen jejaring sosial facebook, twitter atau yang lain, yang ternyata lebih banyak hanya termanfaatkan untuk sekedar up date status atas nama eksis diri, namun lihat dan bacalah tulisan orang-orang itu yang hanya berani unjuk kata di dunia maya sehingga yang terkesan adalah sikap pengecut dan tak bertanggung jawab, karena cenderung ‘bersembunyi’ dibalik kecanggihan frekuensi. Lalu, bandingkan status yang dibuat oleh para sopir truk tersebut yang lebih menunjukkan kesan berani dan bertanggung jawab karena dipampang di dunia nyata yang tidak membatasi siapapun untuk membacanya. Pernyataan di bak truk itu, tak membutuhkan comment seperti dalam facebook yang hanya berujung pada rumpi, fitnah, dan kasak- kusuk. Ekspresi di bak truk tersebut hanya memerlukan dua perkara : “setuju – tersenyumlah, tak setuju – abaikan saja”.

Oleh : lik Miko


Jumat, 29 November 2013

Tradisi Dandangan : Spiritual Versus Ekonomi

TRADISI DANDANGAN ; SPIRITUAL VERSUS EKONOMI


Abstraksi

Upacara tradisi yang bersifat khas selalu dimiliki oleh berbagai daerah di nusantara. Kabupaten Kudus memiliki beragam tradisi unik salah satu diantaranya adalah yang populer disebut Dandangan. Tradisi Dandangan memiliki kaitan dengan hari besar umat Islam yakni menandai datangnya bulan Ramadhan dimana pada bulan ini oleh masyarakat pemeluk Islam diyakini sebagai bulan suci yang mesti disambut secara istimewa. Masyarakat Kudus sendiri yang sebagian besar penduduknya pemeluk agama Islam memiliki bentuk tersendiri dalam menyambut datangnya bulan suci tersebut.  Berpusat di lokasi tempat bersejarah yang dimiliki Kudus yaitu kawasan Masjid Menara Kudus, terdapat keramaian secara periodik dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat yang turut berpartisipasi demi kemeriahan acara yang digelar setiap tahunnya. Tingkat keramaian yang selalu meningkat dari waktu ke waktu membuat pemerintah daerah setempat mengambil alih secara langsung dalam mengelolanya.

Perkembangan selanjutnya dalam tradisi Dandangan ialah menjamurnya para pedagang yang datang dari berbagai daerah (dalam maupun luar Kudus) untuk turut memanfaatkan mengais rejeki dengan menjajakan dagangannya. Lebih kurang sekitar 2 kilometer ruas jalan ( Jl. Sunan Kudus ) dipenuhi stand-stand pedagang sehingga dapat dipastikan menutup jalan yang pada sehari-harinya merupakan jalan utama transportasi antar kabupaten dari Jepara menuju kota Kudus. Upaya yang dilakukan oleh kedinasan terkait, biasanya dengan cara pengalihan jalan.

Folkstory

Cerita yang beredar di masyarakat dari mulut ke mulut dan berlangsung turun temurun (tradisi lisan) mengenai sejarah dimulainya tradisi Dandangan terkait dengan sosok Ja’far Shodiq yang bergelar Sunan Kudus. Ja’far Shodiq adalah tokoh popular terkemuka di kawasan Kota Kudus. Beliau adalah seorang tokoh penyebar agama Islam di Kudus sekaligus pemuka masyarakat dan terbilang sebagai salah satu anggota Wali Sanga. Dalam salah satu upaya dakwahnya, sebagai pengumuman kepada masyarakat, sehari menjelang datangnya bulan Ramadhan, Sunan Kudus membunyikan bedug besar di lokasi Masjid besar yang dibangunnya sebagai tanda akan dimulainya ibadah puasa Ramadhan. Cara unik yang dilakukan Sunan Kudus ini pada akhirnya mendatangkan kerumunan masyarakat yang ingin melihatnya secara langsung sekaligus menjalankan ibadah Shalat Tarawih pada malam harinya di lokasi Masjid Besar Al-Aqsa. Dari keramaian yang terjadi dan berlangsung dari waktu ke waktu di setiap menjelang Ramadhan, maka dimanfaatkan pula oleh sebagian masyarakat lainnya untuk menjajakan dagangan berupa makanan sebagai kebutuhan konsumsi para pengunjung. Adapun kata Dandangan diyakini oleh sebagian besar masyarakat diadopsi dari bunyi bedug besar yang ditabuh Sunan Kudus yang terdengar di telinga penduduk menyerupai bunyi “Dang…dang…dang…dang…”.

Dilema ; Spiritual atau Ekonomi

Menilik dari setting tempat, waktu, maupun sejarah walaupun disampaikan secara lisan dan turun temurun, sudah barang tentu bahwa tradisi Dandangan sarat dengan nilai-nilai spiritual. Masyarakat yang berbondong-bondong datang untuk melihat langsung prosesi upacara unik ini termotivasi pada dorongan spiritual untuk menyambut bulan Ramadhan yang diyakininya sebagai bulan suci yang penuh rahmat dari Tuhan. Kedatangan mereka pun dilakukan sekaligus untuk melaksanakan ibadah Shalat Tarawih di lokasi Masjid. Merupakan hal yang wajar, jika pada setiap bentuk keramaian maka ada kesempatan bagi masyarakat lain sebagai penjaja makanan yang menawarkan pada pengunjung sebagai pelepas lapar atau haus. Dari aspek inilah yang kemudian mendorong masyarakat secara lebih besar untuk selalu memanfaatkan setiap keramaian yang timbul dengan usaha menjual dagangan.

Pada persoalan tradisi Dandangan di waktu-waktu berikutnya (hingga saat ini), telah terjadi pergeseran nilai-nilai, dimana dorongan spiritual menjadi kian bias dimonopoli oleh kepentingan ekonomi. Hal ini selalu terjadi karena pihak pemerintah daerah selaku pengelola langsung hanya memikirkan keuntungan ekonomi pragmatis saja. Esensi moral spiritual yang terkandung dalam tradisi ini Nampak jelas terabaikan. Fenomena ini tampak pada kesibukan para punggawa pemerintah yang hanya lebih fokus pada penataan kapling-kapling stand untuk para pedagang dibanding membuat acara yang sifatnya memberi arah ke pendidikan spiritual. Pengajuan untuk menyewa kapling stand bagi para pedagang telah diagendakan tiga bulan sebelumnya. Bahkan besar kemungkinannya telah terjadi semacam member langganan bagi pedagang untuk acara di tahun-tahun berikutnya. Ini terlihat pada kesamaan personil pedagang yang menempati lahan yang sama dari tahun ke tahun dengan produk dagangan yang sama pula. Dan mungkin menjadi hal yang tidak aneh karena akan kita temui para pedagang tersebut justru kebanyakan berasal dari luar daerah bahkan luar propinsi. Keuntungan dari sewa kapling stand yang secara kumulatif terbilang cukup besar untuk mengisi pendapatan asli daerah inilah yang kemungkinan membuat pengelola lebih memprioritaskan segi keuntungan ekonomis daripada esensi tradisi Dandangan.

Dapat saja ada dalih pemberdayaan ekonomi kerakyatan dari kegiatan yang berlangsung, tetapi hal ini juga akan timbul pertanyaan : mengapa para pedagang yang banyak terakomodir justru berasal dari luar daerah Kudus, bukan dari masyarakat Kudus sendiri? Ataukah barangkali masyarakat Kudus tak ada yang menjadi pedagang kecil?. Perihal nilai-nilai kearifan lokal yang bersifat edukasi budaya (tradisi), pemerintah setempat pada kurun waktu akhir-akhir ini memang telah melibatkan para pelaku kesenian untuk dapat menampilkan semacam art performing dengan thema “Visualisasi Dandangan”, namun seringkali pelaksanaan acara tersebut terjebak pada kemeriahan seremonial belaka, bahkan kadangkala ada kerancuan mengenai lokasi yang kurang ada relevansinya (pusat lokasi tradisi Dandangan berada di kawasan Masjid Menara namun kegiatan Visualisasi Dandangan justru berada di depan pendapa Kabupaten). Secara garis besar pun, acara seremonial tersebut kurang memberikan makna dan hanya sebagai assesories (pemanis) saja dari rangkaian upacara besar tradisi Dandangan. Dapat dikatakan bahwa pementasan kesenian dihadirkan sebagai pelengkap (kepantasan) dari sebuah pagelaran besar pekan raya produk dagangan.

Terdapat pergeseran paradigma yang pada akhirnya ditemukan ironisme, antara upacara pada periode-periode awal dan tahun-tahun saat ini. Jika pada masa awal tradisi Dandangan, keramaian massa menghadirkan para penjual dagangan, maka pada tahun-tahun saat sekarang, para penjual aneka dagangan itulah yang menghadirkan keramaian massa.

Urun Solusi (Wacana)

Sebuah teori klasik tentang kebudayaan menyebutkan bahwa bangsa (masyarakat) yang bermartabat adalah bangsa (masyarakat) yang menghargai akar budayanya. Pada tataran tradisi (budaya) Dandangan ini maka masyarakat Kudus lah yang memiliki kewajiban untuk memelihara budayanya agar tidak tercerabut nilai-nilainya menjadi keuntungan pragmatis ekonomis semata. Menghadapi persoalan tradisi Dandangan sebagai kekayaan budaya masyarakat Kudus, kecerdasan pengelolaan kiranya perlu dievaluasi lagi untuk kemudian dicarikan solusi yang pada akhirnya diimplementasikan agar setidak-tidaknya setiap aspek dapat diakomodir manfaatnya. Nilai-nilai sejarah, kearifan lokal, esensi moral spiritual dan juga ekonomi kerakyatan bagaimana dapat diupayakan untuk berjalan seiring tanpa saling meniadakan satu sama lain berdasar skala prioritas.

Wacana solusi kemungkinan dapat dilakukan dengan cara mengembalikan lokasi kawasan Masjid Menara Kudus sebagai pusat kegiatan yang berhubungan dengan acara tradisi Dandangan, sekaligus upaya penataan lokasi demi kenyamanan pengunjung dan terdapat unsur-unsur edukasi terutama kebudayaan Kudus karena bagaimanapun prosesnya, pada kenyataannya kawasan Masjid Menara Kudus dapat dikategorikan termasuk dalam sektor pariwisata. Penataan lokasi dimaksud, adalah memposisikan kawasan Masjid Menara Kudus sebagai situs sejarah dan sebagai penunjang pariwisata penataan kios pedagang dilakukan sedemikian rupa dengan mengkhususkan produk dagangannya yang memiliki kaitan dengan kebudayaan setempat. Sebagai misal, produk yang dijajakan adalah kuliner tradisional berupa Jenang Kudus, Lentog, Soto Kudus, Sate Kerbau atau makanan kecil khas Kudus lainnya. Atau juga produk kerajinan yang bercirikan ikon Kudus. Demikian pula sebagai upaya peningkatan ekonomi kerakyatan masyarakat setempat, maka kios-kios yang disediakan adalah prioritas bagi masyarakat Kudus. Lay out seperti ini diterapkan dalam praktek sehari-hari (bukan hanya pada acara Dandangan saja).

Para pedagang inilah yang kelak (jika acara tradisi Dandangan tiba) menjadi tuan rumah, bukan malah sebaliknya, para pedagang luar daerah dengan produk dagangannya yang tidak memiliki relevansi dengan acara Dandangan justru yang mendominasi praktik-praktik ekonomi yang berlangsung. Pada saat acara Dandangan tiba, maka “Visualisasi Dandangan” berupa art performing dilaksanakan di lokasi Menara Kudus. Sebagai perumpamaan, mengambil contoh Pagelaran Sendratari Ramayana di pelataran Candi Prambanan pada hari-hari tertentu. Disamping lokasi Menara Kudus menjadi obyek wisata yang rapi tertata demi kenyamanan pengunjung, pendidikan kebudayaan Kudus juga dapat diserap, ekonomi kerakyatan masyarakat setempat pun tidak ketinggalan dapat ditingkatkan.

Rabu, 27 November 2013

Mahasiswa dan Seni : Mahasiswa "Nyeni" Atau Seni " Mahasiswa"

MAHASISWA DAN SENI ;
MAHASISWA “NYENI” ATAU SENI “MAHASISWA” ?


Atas nama tak ingin ketinggalan di peta percaturan dunia, bangsa ini sedang “mabuk” terhadap apa yang dinamakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Satu-satunya cara yang dianggap paling ideal adalah memfokuskan program pada sektor pendidikan formal. Untuk itu, lembaga sekolah dan universitas yang diselenggarakan negara maupun swasta berdiri bertebaran dan menjadi “harapan akhir” yang sangat menjanjikan bagi seluruh lapisan masyarakat agar setelah lulus nanti dapat jadi “orang”. Dan entah darimana datangnya, hipnotis positivisme yang mengedepankan segala sesuatu harus terukur atau kuantitatif yang dibuktikan dengan nilai berupa angka-angka, begitu merasuk sehingga seluruh manusia penghuni bangsa ini saling berlomba dan memprioritaskan dirinya apapun caranya hanya untuk mengejar atau meraih coretan angka-angka yang tertera dalam selembar kertas bernama ijasah.

Tak bisa dipungkiri, bahwa lembaga kampus beserta warganya yang disebut mahasiswa menjadi ‘andalan’ yang diharapkan seluruh masyarakat sebagai ujung tombak yang menentukan “merah hijau”nya bangsa ini. Kelompok masyarakat inilah yang ‘layak’ mendapat predikat sebagai “kaum intelektual”, “terpelajar”, “cendekiawan”, atau sebutan lainnya, sehingga di tangan dan di otaknyalah nasib bangsa bergantung.

Banyak realitas ditemui, dalam perjalanan waktunya yang cukup lama, pola pendidikan yang diterapkan dan materi yang diajarkan sering mendapatkan kritik dari banyak pihak. Berbagai kalangan menilai sistem pendidikan yang ada dianggap belum sesuai dengan kultur yang dimiliki bangsa ini. Akibatnya, sistem pendidikan atau kurikulum yang dijalankan hanya menghasilkan produk-produk manusia yang hanya bisa menghafal, berpikir seragam, dan parsial. Dengan kata lain, hanya menghasilkan robot-robot bernyawa yang krisis apresiasi, tidak qualified, dan miskin kreatifitas. Atau jika boleh melakukan pembelaan diri, kecerdasan yang dimiliki hanyalah bersifat intelektualitas saja tanpa diiringi dengan kecerdasan emosional  sebagai penyeimbang. Sekedar catatan pembanding, bangsa Amerika Serikat (USA) sebagai ‘biang’nya intelektual dan pemuja positivisme, telah tersadar dan mulai membenahi diri dalam mencetak tingkat kecerdasan anak bangsanya. Sejak tahun 1980-an, pemerintah AS mendapati sebagian besar warganya yang memiliki tingkat intelektual (IQ) relatif tinggi (dibuktikan dengan nilai IPK) ternyata tidak mampu atau sulit beradaptasi dengan baik di lingkungan pekerjaannya, apalagi yang berposisi sebagai pembuat kebijakan. Hal ini menjadi kebalikan dari mereka yang memiliki nilai tinggi di kecerdasan emosionalnya (EQ), walaupun nilai IPKnya relatif rendah. Hal ini setidaknya harus menyadarkan kita bahwa betapa sangat pentingnya kecerdasan emosi memiliki peranan dalam realitas kehidupan sosial.
Sejarah kesadaran manusia yang harus berhadapan dengan kecerdasan intelektual (rasio) atau kecerdasan emosi (intuisi) sebagai unsur prioritas untuk dijalani, menjadi persoalan yang berkepanjangan untuk dibahas. Hal ini berarti, ‘keduanya’ (rasio dan intuisi) harus berjalan beriringan tanpa harus mengesampingkan yang satu dengan yang lainnya. Ibaratnya, ‘mereka’ adalah “pasangan serasi” yang jangan dipisahkan begitu saja. ‘Kedua’nya harus bertemu untuk saling melengkapi. Namun, seringkali manusia yang telah terjebak dengan urusan ‘ukuran normatif’ angka-angka dalam nilai (kebanyakan mereka yang berpredikat mahasiswa), kesulitan bagaimana upayanya untuk meningkatkan kecerdasan intuitifnya.

Tak ada yang meragukan bahwa kesenian adalah yang paling lekat dalam urusan meningkatkan kecerdasan emosional karena di dalam kesenian, ‘energi’ yang digunakan adalah intuisi. Dalam kesenian, disamping mengajarkan tentang nilai-nilai apresiasi estetik (keindahan), kesenian juga kerap mengajarkan tentang nilai-nilai moral (etika). Saat ini, memang telah ada lembaga pendidikan formal yang secara spesifik mengambil bidang kesenian seperti ISI atau STSI. Demikian pula, di universitas umum (non spesifik seni), juga telah memfasilitasi dengan diadakannya ruang semacam Unit Kegiatan Mahasiswa, salah satu diantaranya mengakomodasi kegiatan kesenian. Yang jadi pertanyaan berikutnya (bagi mahasiswa Universitas umum) adalah seberapa perlukah kegiatan kesenian bagi kepentingan dirinya mengingat secara realitas capaian nilai yang dituntut pihak kampus adalah nilai mata kuliah secara akademis bukan capaian prestasinya di bidang kesenian. Di lain sisi, bergesernya makna kesenian dari sifatnya yang mengajarkan nilai-nilai moral dan keindahan menjadi bersifat hiburan semata akibat pengaruh kemajuan teknologi (terutama di bidang media massa) tak bisa dihindari lagi juga mempengaruhi kejiwaan mahasiswa dalam memandang fungsi kesenian. Sudah bukan hal yang mengherankan lagi, jika di dalam benak mahasiswa, yang disebut kesenian adalah : musik sama dengan band, tari identik dengan hip-hop,  drama adalah sinetron, sehingga dengan sendirinya mempengaruhi motivasi tindakan mereka dalam berusaha melakukan aktifitas keseniannya menuju kesana.

Sebagai ‘makhluk terpelajar’ sudah sewajarnya jika mahasiswa membuka cakrawala kesadarannya untuk merefleksikan dan mengevaluasi dorongan-dorongan kebutuhan fisik maupun jiwanya. Memang benar adanya, bahwa tujuan awal mahasiswa memasuki gerbang universitas adalah kuliah, dalam arti menimba ilmu-ilmu akademik yang menimbulkan konsekuensi harus berkutat dengan materi-materi perkuliahan yang diajarkan sebagai prosentase utama. Kalau toh memiliki hasrat untuk mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa di bidang kesenian, tentulah sebagai unsur kedua.  Pada tataran persoalan seperti ini, diharapkan kecerdasan dari mahasiswa bersangkutan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya. Sebagai ilustrasi, jika pendidikan akademik sebagai kebutuhan pokok yang diibaratkan sebagai nasi, maka kegiatan berkesenian adalah ‘pelengkap kelezatan’ yang diibaratkan sebagai lauk pauk, sayur mayur atau buah-buahan. Secara garis besar, antara pencapaian ilmu akademik dengan tindakan berkesenian bukanlah sebagai pilihan yang harus dipilih salah satu, melainkan ‘keduanya’ merupakan kebutuhan yang harus diraih demi ‘asupan gizi’ kebutuhan diri. Pada ruang kesenian, seorang mahasiswa mestinya mencari atau saling memberikan dengan rekan yang lain hal-hal pengetahuan yang tidak diperolehnya dari materi kuliah akademik. Jika mau dan mampu mengeksplorasinya, dalam ruang kesenian tersedia ilmu-ilmu yang bersifat memberikan kematangan terutama di ranah kecerdasan emosi. Dan tentunya, keseimbangan (jika tidak pantas disebut kesempurnaan) antara intelektual (rasio) dengan emosional (intuisi), bakal diperoleh. Jika antara rasio dan intuisi dapat dikolaborasikan, maka cita-cita dari semua orang untuk ‘memanusiakan manusia’ niscaya sedikit banyak dapat diwujudkan.



Selasa, 26 November 2013

Refleksi Aktualisasi Budaya Populer

Refleksi Aktualisasi Budaya Populer
JATI DIRI BANGSA NASIBMU KINI

Sekilas pandang

Kemajuan teknologi yang membawa dampak globalisasi adalah realitas yang mau tidak mau harus dihadapi seiring dengan perkembangan jaman itu sendiri.  Apa yang sedang dan telah terjadi di seluruh muka dunia kini kini dapat dilihat  dan bahkan digenggam melalui perantara media massa. Semakin canggihnya penemuan teknologi cetak, perekam suara atau gambar, menghasilkan koran, majalah, tabloid, radio, maupun televisi yang tiap hari bahkan tiap detik mengekspose informasi segala peristiwa dan juga menyuguhkan tawaran-tawaran gaya hidup. Realitas ini berimplikasi pada perubahan paradigma masyarakat dalam menyikapi suatu kehidupan, terutama pada generasi muda yang kerap phobia agar tidak dikatakan ketinggalan jaman. Lahirlah, sebuah gaya hidup baru yang dimotori anak-anak muda yang selalu mengatasnamakan dirinya sebagai “agen modernitas”. Sebagian remaja laki-laki akan merasa percaya diri dan menjadi anak jaman saat berpenampilan sedemikian rupa. Yang merasa mewakili golongan strata masyarakat bawah mendandani rambutnya agar dapat berdiri keatas mirip binatang landak, menempeli pakaiannya dengan pernik-pernik logam mirip deretan bintang di langit, coret-coret tembok dengan cat semprot menorehkan kata-kata yang sulit dibaca, nongkrong  di perempatan jalan raya, menyanyikan lagu yang banyak teriak-teriak dengan anggapan sebagai aspirasi perlawanan terhadap kekakuan kemapanan. Sedangkan remaja yang lain dengan meniru kaum menengah ke atas, mencoba tampil gaya dengan busana dari pabrik ternama walaupun sekedar tulisan saja, pakai parfum yang dapat membuat bidadari lupa diri, nongkrongnya di “Kang Jastro Café”, makan dan minum dengan menu asal bahasa asing, pilihan lagunya yang merengek-rengek menunjukkan kalau lagi jatuh cinta.

Fenomena seperti ini telah masuk dalam praktik-praktik kehidupan serta telah menjadi bagian dari munculnya budaya baru. Keberadaan budaya baru ini membius dan menjadikan lupa bahwa kita telah menjadi konsumen empuk para pelaku industri yang menjajakan dagangannya melalui sarana “pop culture”.  Tak bisa dipungkiri bahwa telah banyak dan bermacam-macam bentuk  “budaya asing” yang kita konsumsi dan dibanggakan lewat sosok-sosok yang mengatasnamakan dirinya bagian dari “masyarakat modern”. Bahkan, keberadaan budaya baru ini telah mendominasi dan memegang kendali dalam realitas kehidupan serta mampu melindas sedikit demi sedikit dan akhirnya menggeser budaya lokal hingga tersudutkan dan terlempar dari lingkungan masyarakatnya. Tanpa sadar, kita telah terjebak dalam perangkap suguhan praktik-praktik yang mengusung budaya asing itu, dan memaksa menjadi bagian hidup dengan menganggap sebagai bagian dari masyarakat modern, tanpa memiliki kesadaran sama sekali apakah hal tersebut pantas atau tidak, sesuai atau tidak dengan kultur kebudayaan lingkungan kita.

Kehadiran  ”Budaya Populer” atau disebut juga dengan ”Budaya Pop” ditengah-tengah masyarakat kita tanpa disertai dengan filter pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran diri terhadap nilai budaya sendiri hanya akan membawa dampak besar terhadap keberadaan kebudayaan setempat yang menurut kesesuaian karakter masyarakat memiliki nilai-nilai luhur. Tergesernya budaya setempat dari lingkungannya sendiri, disebabkan oleh kemunculan sebuah kebudayaan baru yang didukung oleh putra-putrinya sendiri dan konon sebagai alasannya dianggap lebih atraktif, fleksibel dan mudah dipahami. Dalam membahas ”Budaya Populer”, yang selalu dihadapi adalah pemahaman yang multi persepsi hingga menimbulkan penafsiran yang beragam. Namun yang perlu direnungkan adalah bagaimanapun bentuknya jika sudah diusung oleh industri maka yang dihasilkan hanyalah kebudayaan instan yang berujung pada komersialisasi dan bagi konsumennya hanya menghasilkan peradaban dangkal pemikiran, tanpa nilai, pengkaburan makna, cari sensasi, berjiwa konsumtif dan hedonis.

Pengertian Budaya Populer

Untuk meminimalisir multi persepsi  terhadap definisi Budaya Populer, maka dapat dipilah menurut akar kata, yakni Budaya dan Populer.    Pengertian mengenai  kebudayaan (culture) sangatlah kompleks, masing-masing ahli merumuskan dengan kalimat yang berbeda walaupun menuju ke pengertian umum yang sama, yaitu sebagai pengembangan akal budi manusia. “Budaya” berasal dari bahasa Sanskerta yaitu, buddhaya  yang merupakan bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Budaya juga dapat diartikan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Dalam perkembangannya, definisi budaya dapat diartikan sebagai pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu (Raymond William : 1983). Sedangkan kata ”Populer”, Williams memberikan makna yang mengandung pengertian yakni : (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri (Williams, 1983). Dari tataran ini dapat disimpulkan bahwa istilah Budaya Populer dapat juga diterjemahkan dengan pengertian suatu aktifitas atau praktik-praktik sosial yang bisa menyenangkan orang dan disukai oleh banyak orang.


Makna Semu dan Distorsi Nilai

Awalnya, kebudayaan populer atau kebudayaan pop (pop culture) bersifat massal (umum), komersial, terbuka, dan lahir dari rakyat, dan tentunya disukai rakyat. Sehingga kebudayaan pop dikategorikan sebagai kebudayaan rakyat (folk culture), atau kebudayaan rendah (low culture). Bentuknya berupa musik, tarian, teater, gaya, ritual sosial, dan bentuk lain yang bersifat tradisional. Tumbuh pada tingkatan bawah (grass-root) sebagai perwujudan eksistensi dengan akses yang terbatas dan dicirikan dengan kesederhanaan. Oleh karena itu, kebudayaan pop dapat disimpulkan sebagai produk kultural yang berasal dari rakyat bawah.  Namun dalam perkembangannya, dan ini terutama yang terjadi di negeri ini, dengan difasilitasi oleh berbagai media yang telah memberikan suguhan berupa keanekaragaman tentang pola hidup dari bangsa-bangsa Barat termasuk memuat perilaku artis, model pakaian,  dan pernik-pernik penunjang gaya hidup sangat mengundang perilaku para remaja kita untuk cenderung mengikutinya secara harfiah. Dengan menangkap indikasi mentalitas para generasi muda kita, para produsen produk itu, menyebarkan perangkap melalui iklan media baik cetak maupun elektronik dengan gambar dan teks yang telah direkonstruksi, sehingga membuat target sasaran yang diincar semakin ketagihan dibuatnya.

Pergeseran makna dan nilai tampak terlihat pada aktualisasinya saat diterjemahkan oleh para remaja kita. Mengacu pada pengertian umum “kebudayaan populer” dan ketika menjadi bidikan kaum industriawan untuk dijadikan menu dagangan, membuat para konsumen awam cenderung mengikuti sehingga dijadikan “gaya hidup”. Hal ini, pada tingkat implementasinya ke masyarakat terutama di Indonesia, menjadi bias bahkan mengalami pergeseran baik secara makna maupun nilai.

Pertama,  titik awal yang menyatakan bahwa budaya pop banyak disukai orang. Ini dapat kita lihat bagaimana peranan media terutama televisi yang selalu menayangkan acara demi acara dengan hanya menekankan prinsip kesenangan tanpa menyertakan sifat-sifat mendidik. Tayangan sinetron, infotaintment atau sejenisnya merupakan  acara yang memiliki prosentase lebih banyak dalam jam tayang televisi. Dari sini kita dapat melihat bahwa sasaran konsumen adalah ‘mimpi’ anak muda. Tema asmara, dengan tokoh anak muda yang kaya dengan berbagai fasilitasnya, tak peduli apakah hal ini realistis atau tidak dengan kondisi sosial bangsa mampu mencipta ‘mimpi baru’ bagi kita. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah tema cerita “rebutan cinta” dengan setting ruang sekolah (SMA), tokoh-tokohnya menggunakan seragam sekolah. Kemudian yang tak ketinggalan tingginya terpaan massa adalah acara ngrumpi yang dikemas dalam program infotaintment.  Hampir seluruh stasiun TV yang ada memiliki acara dengan konsep serupa, yaitu mengupas tuntas perilaku orang-orang yang dinobatkan sebagai selebritis. Mulai dari artis A yang sedang berdekatan dengan artis B, perselingkuhan artis C dengan artis D, keretakan rumah tangga artis E dengan artis F akibat hadirnya artis G, pakaian sepatu dan assesories yang dipakai artis H, sampai ke hal-hal yang bersifat privasi dieksplorasi habis-habisan yang anehnya menjadi suguhan yang disukai dan cenderung dijadikan teladan gaya hidup.

Kedua, “populer” yang didefinisikan sebagai jenis kerja rendahan. Kata “rendahan” disini mengacu pada strata masyarakat yakni kelas masyarakat rendah atau rakyat jelata. Sejarah terciptanya budaya populer secara umum memang berasal dari rakyat rendahan sebagai alat perjuangannya dalam memenuhi kebutuhan eksistensinya. Menurut John Fiske (1989), budaya populer merupakan sebuah wujud alat perlawanan terhadap budaya dominan.

Pada periode atau abad sebelumnya di banyak bangsa terdapat kesenjangan antara “kebudayaan tinggi” (high culture)  dengan “kebudayaan rendah” (low culture). Kesenjangan strata ini tersekat oleh dinding yang tinggi dan masing-masing terpisah atau berdiri sendiri. Kebudayaan tinggi (high culture), seringkali diidentikkan dengan yang bersifat khusus dan tertutup,  lahir dari kalangan atas (kaum elite). Kebudayaan ini dianggap bernilai luhur dan adiluhung serta memiliki standarisasi yang tinggi menyangkut selera, kualitas, dan estetika. Sedangkan kebudayaan rendah (low culture) atau kebudayaan rakyat (folk culture) yang kemudian diistilahkan sebagai kebudayaan popular (pop culture) diidentifikasi sebagai spontanitas, vulgar, serta dianggap berselera rendah. Namun dengan kekuatan pertahanan loyalitasnya dan berhasil menjadi bentuk kebudayaan baru, dimanfaatkan oleh kaum industri sebagai pangsa pasar yang menjanjikan. Lambat laun, dengan bantuan media (juga termasuk industri), kebudayaan populer dapat menembus sekat dan diterima oleh khalayak luas. Pada perkembangannya, akibat pengaruh dari industri produk barang maupun media dengan kekuatan iklan, budaya populer berkembang menjadi Budaya Massa. Burhan Bungin (2009) menyatakan Budaya massa adalah hasil budaya yang dibuat secara massif demi kepentingan pasar. Budaya massa lebih bersifat massal, terstandarisasi dalam sistem pasar yang praktis, heterogen, lebih mengabdi pada kepentingan pemuasan selera.

Pergeseran makna dan nilai yang terjadi dalam pengaktualisasian budaya populer di sekitar kita adalah kurangnya pengetahuan dan pehamanan tentang spirit budaya populer sebagai alat perjuangan eksistensi masyarakat bawah. Musik rock di Eropa dengan lirik lagunya berisi tentang protes sosial, musik reggae di Jamaica adalah pemberontakan terhadap kekakuan ideologi kekuasaan, komunitas punk di Amerika adalah perlawanan terhadap arogansi kemapanan, dan lain sebagainya. Namun di tangan kita bentuk aktualisasinya hanyalah menjadi konsumen belaka dan memang hal seperti inilah yang diinginkan oleh para kaum industri. Fenomena seperti ini bisa kita lihat, bagaimana larisnya produksi barang-barang dengan mengambil ikon Che Guevara, Bob Marley atau tokoh sejenis, berupa poster, kaos, emblem dan lain sebagainya yang dikonsumsi oleh para remaja tanpa tahu tujuannya.

Ketiga, “populer” sebagai karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang. Hal-hal yang bersifat kesenangan, tak dapat dipungkiri menjadi semacam kebutuhan pokok pada tiap manusia. Kenyataan ini yang kemudian menjadi pangsa pasar paling potensial oleh para industriawan terutama media yang selalu menyuguhkan acara-acara ‘asal orang senang’. Bagi industri media televisi, tentunya tidak sulit menciptakan perangkap acara yang dikemas secara hiburan lewat beragam program acara dengan konstruksi yang bersifat kesenangan serta dilancarkan secara terus-menerus dalam setiap serial komoditas, sehingga pemirsa begitu tergila-gilanya mengikuti apa yang disuguhkan oleh industri media televisi yang pengaksesannya bisa dilakukan kapan saja dengan secara gratis itu. Tayangan panggung hiburan musik dengan penyanyi-penyanyi cantik dan glamour ditayangkan mulai orang bangun tidur sampai beranjak mau tidur. Pengemasan acara yang menggiring masyarakat untuk berlomba-lomba menjadi aktris gencar dilaksanakan lengkap dengan iming-iming yang dianggap menyenangkan. Sebut saja, Audisi – audisian atau Idol-idolan. Dan anehnya (disebut aneh karena pemirsa tanpa sadar tergiring) adalah keputusan pemenang ditentukan oleh SMS yang dikirim pemirsa.

Keempat, pengertian budaya populer sebagai budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. Pada tataran ini, dalam sejarah munculnya budaya populer di berbagai negara, dibuat oleh dan untuk rakyatnya sendiri sebagai bentuk perlawanan dan upaya eksistensi menghadapi problem sosial setempat. Pada tahap perkembangannya, budaya populer ini dibuat oleh orang-orang tertentu dalam hal ini pelaku komersial untuk kepentingan dirinya sendiri yakni, keuntungan finansial. Pergeseran makna dan nilai menjadi kian jelas tatkala dikonsumsi dan diaktualisasikan oleh kita yang hanya mengadopsi mentah dan menjadi epigon. Hal pertama yaitu kebudayaan populer yang berkembang di negara tertentu (asing), berlatar belakang persoalan sosial yang belum tentu  sama dengan persoalan lingkungan dimana para pengadopsi tinggal. Selain itu bentuk penyaluran ekspresi sebagai sarana perjuangannya belum tentu sesuai dengan kultur lingkungan kebudayaan disini.  Persoalan kedua, adalah budaya populer yang berkembang sengaja diciptakan oleh kaum kapital untuk kepentingannya sendiri yakni produk komoditi dan kita para pengadopsi tidak sadar kalau telah menjadi konsumen. Atas nama tidak ketinggalan gaya hidup modernitas, yang memang sengaja diciptakan para produsen tersebut, kita telah menjadi  pengikut setia dan bahkan siap membela memperjuangkannya agar dapat diterima khalayak secara meluas.


Karakteristik Budaya Populer

Beberapa analisa mengenai pola atau karakteristik budaya populer sebagai bahan kajian dalam menyikapi terhadap perkembanagan kebudayaan di sekitar kita, antara lain :

-    Relativisme, yaitu hilangnya batasan – batasan. Budaya populer menolak segala perbedaan dan batasan yang mutlak. Misalnya antara budaya klasik dan budaya salon, antara seni dan hiburan, antara budaya tinggi dan budaya rendah, iklan dan hiburan, hal yang bermoral dan yang tidak bermoral, yang bermutu dan tidak bermutu, yang baik dan jahat, batasan antara yang nyata dan semu, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak lagi memiliki arti yang nyata.

-    Pragmatisme, menerima apa saja yang bermanfaat tanpa memperdulikan sesuai atau tidak hal tersebut dapat diterima dan diimplementasikan. Semua hal diukur dari hasilnya atau manfaatnya, bukan dari sesuai  atau tidaknya. Hal yang terutama adalah hidup hanya untuk saat ini (here and now), tanpa harus memikirkan masa lalu dan masa depan.

-    Hedonisme, lebih banyak berfokus kepada kesenangan dan pemuasannya daripada intelektualitas. Yang harus menjadi tujuan hidup adalah bersenang-senang dan menikmati hidup, sehingga memuaskan segala keinginan. Hal seperti ini menyebabkan munculnya budaya hasrat yang mengikis budaya malu. Untuk mencapai ke tahap kesenangan semuanya harus dikemas dengan konsep hiburan. Informasi dan berita juga harus menghibur, maka muncullah infotainment. Bahkan pengajaran agama pun harus hiburan.

-    Konsumerisme,  yaitu sebuah masyarakat yang senantiasa merasa kurang dan tidak puas secara terus menerus. Masyarakat yang membeli bukan berdasarkan kebutuhan, namun keinginan, bahkan gengsi.  “Aku bergaya maka aku ada.” Maka pada budaya ini, penampilan (packaging) seseorang atau sebuah barang (branding) sangat dipentingkan.

-    Instan, keinginan untuk cepat terlaksana tanpa mempertimbangkan proses-proses ideal yang menyertai. Budaya ini juga dapat dilihat dari semakin banyak orang ingin menjadi kaya dan terkenal secara instan. Buku-buku yang banyak beredar dan diminati adalah yang menawarkan hal-hal serba cepat.

-     Kontemporer, menawarkan nilai-nilai yang bersifat sementara, tidak stabil, yang terus berubah dan berganti (sesuai tuntutan pasar dan arus zaman).

Pudarnya Jati Diri Bangsa

Hegemoni “budaya asing” yang memberikan iming-iming berupa kenikmatan, glamouritas dan bertendensi pada propaganda modernitas sangat kuat mencengkeram masyarakat untuk merelakan dirinya terseret arus. Tak berlebihan kiranya budaya asing yang mendominasi gaya hidup masyarakat kita adalah budaya Amerika. Sebagai negeri yang terkenal dengan kekuatan kapitalismenya, Amerika dapat dikatakan sebagai “penguasa” kebudayaan baru dan digandrungi dengan kemasan budaya populer. “American Style” memang sangat nampak pada  pola hidup masyarakat kita terutama pada anak muda, walaupun sebagian dari masyarakat kita juga terbawa arus dan membanggakan kebudayaan bangsa lain, seperti Cina, Arab atau India. Kebudayaan negara-negara Barat yang menganut paham kapitalisme itu tidak saja mengubah tatanan sosial yang ada, namun mempengaruhi perilaku, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat kita. Kebudayaan ini menumbuhkembangkan konsumerisme dan hedonisme di segala lapisan masyarakat, laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, kebudayaan lokal yang merupakan identitas yang kita miliki dan warisan para leluhur makin memudar, bahkan menghilang. Akibatnya generasi yang terlahir adalah generasi rapuh moralitas, minim nalar dan selalu tergiur dengan keglamouran hidup serta sikap instan.

Sebuah krisis jatidiri bangsa ini akan selalu tumbuh dan berkembang seiring dengan pesatnya arus modernisasi dan globalisasi yang menerjang negeri ini, sehingga faham-faham konsumerisme, pragmatisisme, liberalisme, materialisme, kapitalisme dan hedonisme yang berasal dari dunia barat akan selalu meracuni masyarakat negeri ini. “Keadaan ini disebabkan oleh kenyataan tidak dimaknainya secara benar tentang sistem nilai, wawasan hidup dan sikap yang berlaku di masyarakat selama ini dan tidak dibatinkannya pilar-pilar kebudayaan itu dalam diri setiap anggota masyarakat negeri ini” (Kunjana Rahardi, 2000). ”Ketika terjadi krisis tentang jati diri bangsa, maka masyarakat tidak peduli lagi tentang ideologi bangsanya, karena dianggap tidak berpihak kepadanya dan mencoba mencari-cari ideologi lain termasuk memuja-muja bangsa lain dari berbagai aspek yang mereka pahami dan dengan serta merta lewat caranya sendiri, mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari” (Naya Sujana, 2008).

Memahami budaya populer sebagai hasil konstruksi pemilik modal berarti juga menerima kenyataan diri bahwa sebagai pelaku budaya populer adalah identik dengan sikap pasif yang tak lebih dari sekadar pion-pion yang digerakkan. Proses sosial dimana tingkat kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh unsur eksternal akan disertai dengan meninggalkan pola kehidupan yang lama kemudian menyesuaikan diri atau menggunakan pola yang baru.  Realitas kehidupan di masyarakat telah dipenuhi perilaku norak dengan mengusung faham kebebasan, hasil dari hegemoni Amerikanisasi dalam membentuk jati diri budaya populer yang siap meracuni generasi muda negeri ini menjadi generasi yang senang dengan keglamouran hidup semata, tetapi miskin dengan pembelajaran teknologi.

Simpulan dan Penutup

-    Budaya populer merupakan sebuah konsep yang menghasilkan suatu produk yang disebut yang banyak disukai orang. Keberadaan budaya populer sendiri awalnya merupakan wujud perlawanan terhadap kemapanan nilai-nilai budaya tinggi yakni budaya yang dihasilkan oleh kaum-kaum elite. Namun kini budaya populer sudah tidak lagi dianggap sebagai budaya rendahan karena segala lapisan kaum pun telah terpapar oleh produk budaya poluler.

-    Media massa berperan kuat dalam membentuk keragaman budaya baru yang dihasilkan,  yang sangat berpengaruh terhadap sistem nilai, pikir dan tindakan manusia. Berbagai macam gaya hidup telah direkonstruksi sedemikian rupa melalui beragam program acara yang mencerminkan kebohongan publik itu, hingga pada akhirnya dapat menimbulkan suatu kebohongan tersembunyi dan tanpa sadar telah menjadi bagian dari realitas kehidupan yang sebenarnya.

-    Kehidupan materialistik, hedonis, dan konsumtif, berdampak pada konsep martabat manusia telah mengalami pergeseran dari sesuatu yang bersifat inner menjadi sesuatu yang artifisial. Kebudayaan juga mengalami pergeseran sehingga yang menonjol dalam budaya populer adalah karakter instan, dangkal, egosentris, dan market oriented.

-    Budaya populer adalah budaya komersial dampak dari produksi massal (produk industrialisasi) yang dikonstruksikan dengan bantuan media massa, sehingga menciptakan trend dan popularitas.

-    Derasnya arus globalisasi telah mengubah cara masyarakat kita dalam berbudaya. Perlahan tetapi pasti, kebudayaan lokal mulai tergerus oleh kebudayaan luar yang menguasai.
Sebagai penutup, budaya populer yang berkembang di masyarakat kita ada yang memiliki sisi positif atau kebaikan namun tidak sedikit yang menyesatkan atau menjerumuskan. Hal ini dibutuhkan fungsi kontrol dengan pengetahuan tentangnya. Terpaan budaya populer serndiri juga tidak bisa lepas dari pengaruh media massa, maka dari itu kita harus terus melakukan filterisasi terhadap tayangan-tayangan media massa, dengan tujuan produk budaya populer tersebut tidak mengganti atau mengubah kepribadian kita. Suatu penanaman konsep ideologi ke dalam format acara melalui teks-teks media dan makna-makna yang ada di dalamnya serta praktik-praktik budaya telah melahirkan “kesadaran palsu” di dalam persepsi pemirsa. Mengutip pernyataan seorang ahli, bahwa “... sebagai bentuk keberhasilan konspirasi antara kapitalisme dengan budaya populer dalam memanipulasi kesadaran masyarakat dengan kesadaran semu,  kebudayaan industri merupakan satu bentuk dehumansasi lewat kebudayaan” (Graeme Burton, 2008).

Mari bertanya pada diri masing-masing, : masih ingin jadi agen budaya industri yang mengatasnamakan budaya populer? Selamat, anda jadi korban proses pembodohan.

Disusun oleh :  Lek MIKO
 

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | ewa network review