Jumat, 29 November 2013

Tradisi Dandangan : Spiritual Versus Ekonomi

TRADISI DANDANGAN ; SPIRITUAL VERSUS EKONOMI


Abstraksi

Upacara tradisi yang bersifat khas selalu dimiliki oleh berbagai daerah di nusantara. Kabupaten Kudus memiliki beragam tradisi unik salah satu diantaranya adalah yang populer disebut Dandangan. Tradisi Dandangan memiliki kaitan dengan hari besar umat Islam yakni menandai datangnya bulan Ramadhan dimana pada bulan ini oleh masyarakat pemeluk Islam diyakini sebagai bulan suci yang mesti disambut secara istimewa. Masyarakat Kudus sendiri yang sebagian besar penduduknya pemeluk agama Islam memiliki bentuk tersendiri dalam menyambut datangnya bulan suci tersebut.  Berpusat di lokasi tempat bersejarah yang dimiliki Kudus yaitu kawasan Masjid Menara Kudus, terdapat keramaian secara periodik dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat yang turut berpartisipasi demi kemeriahan acara yang digelar setiap tahunnya. Tingkat keramaian yang selalu meningkat dari waktu ke waktu membuat pemerintah daerah setempat mengambil alih secara langsung dalam mengelolanya.

Perkembangan selanjutnya dalam tradisi Dandangan ialah menjamurnya para pedagang yang datang dari berbagai daerah (dalam maupun luar Kudus) untuk turut memanfaatkan mengais rejeki dengan menjajakan dagangannya. Lebih kurang sekitar 2 kilometer ruas jalan ( Jl. Sunan Kudus ) dipenuhi stand-stand pedagang sehingga dapat dipastikan menutup jalan yang pada sehari-harinya merupakan jalan utama transportasi antar kabupaten dari Jepara menuju kota Kudus. Upaya yang dilakukan oleh kedinasan terkait, biasanya dengan cara pengalihan jalan.

Folkstory

Cerita yang beredar di masyarakat dari mulut ke mulut dan berlangsung turun temurun (tradisi lisan) mengenai sejarah dimulainya tradisi Dandangan terkait dengan sosok Ja’far Shodiq yang bergelar Sunan Kudus. Ja’far Shodiq adalah tokoh popular terkemuka di kawasan Kota Kudus. Beliau adalah seorang tokoh penyebar agama Islam di Kudus sekaligus pemuka masyarakat dan terbilang sebagai salah satu anggota Wali Sanga. Dalam salah satu upaya dakwahnya, sebagai pengumuman kepada masyarakat, sehari menjelang datangnya bulan Ramadhan, Sunan Kudus membunyikan bedug besar di lokasi Masjid besar yang dibangunnya sebagai tanda akan dimulainya ibadah puasa Ramadhan. Cara unik yang dilakukan Sunan Kudus ini pada akhirnya mendatangkan kerumunan masyarakat yang ingin melihatnya secara langsung sekaligus menjalankan ibadah Shalat Tarawih pada malam harinya di lokasi Masjid Besar Al-Aqsa. Dari keramaian yang terjadi dan berlangsung dari waktu ke waktu di setiap menjelang Ramadhan, maka dimanfaatkan pula oleh sebagian masyarakat lainnya untuk menjajakan dagangan berupa makanan sebagai kebutuhan konsumsi para pengunjung. Adapun kata Dandangan diyakini oleh sebagian besar masyarakat diadopsi dari bunyi bedug besar yang ditabuh Sunan Kudus yang terdengar di telinga penduduk menyerupai bunyi “Dang…dang…dang…dang…”.

Dilema ; Spiritual atau Ekonomi

Menilik dari setting tempat, waktu, maupun sejarah walaupun disampaikan secara lisan dan turun temurun, sudah barang tentu bahwa tradisi Dandangan sarat dengan nilai-nilai spiritual. Masyarakat yang berbondong-bondong datang untuk melihat langsung prosesi upacara unik ini termotivasi pada dorongan spiritual untuk menyambut bulan Ramadhan yang diyakininya sebagai bulan suci yang penuh rahmat dari Tuhan. Kedatangan mereka pun dilakukan sekaligus untuk melaksanakan ibadah Shalat Tarawih di lokasi Masjid. Merupakan hal yang wajar, jika pada setiap bentuk keramaian maka ada kesempatan bagi masyarakat lain sebagai penjaja makanan yang menawarkan pada pengunjung sebagai pelepas lapar atau haus. Dari aspek inilah yang kemudian mendorong masyarakat secara lebih besar untuk selalu memanfaatkan setiap keramaian yang timbul dengan usaha menjual dagangan.

Pada persoalan tradisi Dandangan di waktu-waktu berikutnya (hingga saat ini), telah terjadi pergeseran nilai-nilai, dimana dorongan spiritual menjadi kian bias dimonopoli oleh kepentingan ekonomi. Hal ini selalu terjadi karena pihak pemerintah daerah selaku pengelola langsung hanya memikirkan keuntungan ekonomi pragmatis saja. Esensi moral spiritual yang terkandung dalam tradisi ini Nampak jelas terabaikan. Fenomena ini tampak pada kesibukan para punggawa pemerintah yang hanya lebih fokus pada penataan kapling-kapling stand untuk para pedagang dibanding membuat acara yang sifatnya memberi arah ke pendidikan spiritual. Pengajuan untuk menyewa kapling stand bagi para pedagang telah diagendakan tiga bulan sebelumnya. Bahkan besar kemungkinannya telah terjadi semacam member langganan bagi pedagang untuk acara di tahun-tahun berikutnya. Ini terlihat pada kesamaan personil pedagang yang menempati lahan yang sama dari tahun ke tahun dengan produk dagangan yang sama pula. Dan mungkin menjadi hal yang tidak aneh karena akan kita temui para pedagang tersebut justru kebanyakan berasal dari luar daerah bahkan luar propinsi. Keuntungan dari sewa kapling stand yang secara kumulatif terbilang cukup besar untuk mengisi pendapatan asli daerah inilah yang kemungkinan membuat pengelola lebih memprioritaskan segi keuntungan ekonomis daripada esensi tradisi Dandangan.

Dapat saja ada dalih pemberdayaan ekonomi kerakyatan dari kegiatan yang berlangsung, tetapi hal ini juga akan timbul pertanyaan : mengapa para pedagang yang banyak terakomodir justru berasal dari luar daerah Kudus, bukan dari masyarakat Kudus sendiri? Ataukah barangkali masyarakat Kudus tak ada yang menjadi pedagang kecil?. Perihal nilai-nilai kearifan lokal yang bersifat edukasi budaya (tradisi), pemerintah setempat pada kurun waktu akhir-akhir ini memang telah melibatkan para pelaku kesenian untuk dapat menampilkan semacam art performing dengan thema “Visualisasi Dandangan”, namun seringkali pelaksanaan acara tersebut terjebak pada kemeriahan seremonial belaka, bahkan kadangkala ada kerancuan mengenai lokasi yang kurang ada relevansinya (pusat lokasi tradisi Dandangan berada di kawasan Masjid Menara namun kegiatan Visualisasi Dandangan justru berada di depan pendapa Kabupaten). Secara garis besar pun, acara seremonial tersebut kurang memberikan makna dan hanya sebagai assesories (pemanis) saja dari rangkaian upacara besar tradisi Dandangan. Dapat dikatakan bahwa pementasan kesenian dihadirkan sebagai pelengkap (kepantasan) dari sebuah pagelaran besar pekan raya produk dagangan.

Terdapat pergeseran paradigma yang pada akhirnya ditemukan ironisme, antara upacara pada periode-periode awal dan tahun-tahun saat ini. Jika pada masa awal tradisi Dandangan, keramaian massa menghadirkan para penjual dagangan, maka pada tahun-tahun saat sekarang, para penjual aneka dagangan itulah yang menghadirkan keramaian massa.

Urun Solusi (Wacana)

Sebuah teori klasik tentang kebudayaan menyebutkan bahwa bangsa (masyarakat) yang bermartabat adalah bangsa (masyarakat) yang menghargai akar budayanya. Pada tataran tradisi (budaya) Dandangan ini maka masyarakat Kudus lah yang memiliki kewajiban untuk memelihara budayanya agar tidak tercerabut nilai-nilainya menjadi keuntungan pragmatis ekonomis semata. Menghadapi persoalan tradisi Dandangan sebagai kekayaan budaya masyarakat Kudus, kecerdasan pengelolaan kiranya perlu dievaluasi lagi untuk kemudian dicarikan solusi yang pada akhirnya diimplementasikan agar setidak-tidaknya setiap aspek dapat diakomodir manfaatnya. Nilai-nilai sejarah, kearifan lokal, esensi moral spiritual dan juga ekonomi kerakyatan bagaimana dapat diupayakan untuk berjalan seiring tanpa saling meniadakan satu sama lain berdasar skala prioritas.

Wacana solusi kemungkinan dapat dilakukan dengan cara mengembalikan lokasi kawasan Masjid Menara Kudus sebagai pusat kegiatan yang berhubungan dengan acara tradisi Dandangan, sekaligus upaya penataan lokasi demi kenyamanan pengunjung dan terdapat unsur-unsur edukasi terutama kebudayaan Kudus karena bagaimanapun prosesnya, pada kenyataannya kawasan Masjid Menara Kudus dapat dikategorikan termasuk dalam sektor pariwisata. Penataan lokasi dimaksud, adalah memposisikan kawasan Masjid Menara Kudus sebagai situs sejarah dan sebagai penunjang pariwisata penataan kios pedagang dilakukan sedemikian rupa dengan mengkhususkan produk dagangannya yang memiliki kaitan dengan kebudayaan setempat. Sebagai misal, produk yang dijajakan adalah kuliner tradisional berupa Jenang Kudus, Lentog, Soto Kudus, Sate Kerbau atau makanan kecil khas Kudus lainnya. Atau juga produk kerajinan yang bercirikan ikon Kudus. Demikian pula sebagai upaya peningkatan ekonomi kerakyatan masyarakat setempat, maka kios-kios yang disediakan adalah prioritas bagi masyarakat Kudus. Lay out seperti ini diterapkan dalam praktek sehari-hari (bukan hanya pada acara Dandangan saja).

Para pedagang inilah yang kelak (jika acara tradisi Dandangan tiba) menjadi tuan rumah, bukan malah sebaliknya, para pedagang luar daerah dengan produk dagangannya yang tidak memiliki relevansi dengan acara Dandangan justru yang mendominasi praktik-praktik ekonomi yang berlangsung. Pada saat acara Dandangan tiba, maka “Visualisasi Dandangan” berupa art performing dilaksanakan di lokasi Menara Kudus. Sebagai perumpamaan, mengambil contoh Pagelaran Sendratari Ramayana di pelataran Candi Prambanan pada hari-hari tertentu. Disamping lokasi Menara Kudus menjadi obyek wisata yang rapi tertata demi kenyamanan pengunjung, pendidikan kebudayaan Kudus juga dapat diserap, ekonomi kerakyatan masyarakat setempat pun tidak ketinggalan dapat ditingkatkan.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | ewa network review