Senin, 02 Desember 2013

Mudik : Usaha Menjadi “MANUSIA”

MUDIK
USAHA MENJADI “MANUSIA”
Oleh : Miko Thor


Drama Kolosal Berjudul “ Mudik”

Ribuan kendaraan berbagai jenis seperti sedang berlomba ‘marathon’ dan berusaha paling awal menyentuh garis finish. Atau jika hal ini adalah sebuah turnamen ‘rally’, maka akan menjadi turnamen terbesar di dunia dengan jumlah peserta terbanyak dan jenis kendaraan paling beragam. Pesawat terbang, kapal laut, bus, mobil pribadi hingga sepeda motor melaju menuju titik sasaran masing-masing. Untuk jenis angkutan umum, semuanya penuh sesak dengan penumpang. Tak ayal, kemacetan panjang arus lalu lintas yang bergerak menyusur jalan raya adalah lazim dan pada situasi tertentu justru menjadi daya tarik tersendiri. Atau setidaknya ‘padat merayap’ adalah pemandangan khas di ruas-ruas jalan raya yang ada di negeri ini dan selalu terjadi pada setiap datangnya Lebaran. Hiruk pikuk. Riuh gemuruh. Sebuah karnaval akbar tanpa panitia resmi ataupun ‘event organizer’ tengah berlangsung. Jutaan manusia terlibat didalamnya. Perhelatan akbar yang jika diakumulasi akan menelan biaya paling mahal dari segala kegiatan yang ada dibelahan bumi.

Maka tak mengherankan jika acara ini dapat mendatangkan inspirasi sesuai kepentingan masing-masing pihak entah itu politik, ekonomi, sosial budaya, ataupun pertahanan keamanan. Tengok saja, dari kancah politik, tiap acara ini berlangsung maka tak disia-siakan untuk dimanfaatkan dalam mencuri perhatian. Kebijakan-kebijakan khusus dibuat oleh para punggawa negara untuk dapat diterapkan dalam kemasan ‘memberi kenyamanan pemudik’. Partai-partai politik ‘menyapa’ manis dengan ucapan-ucapan yang terbentang lewat spanduk atau baliho di sepanjang jalan. Bahkan ada partai politik tertentu yang membuat titik – titik posko di rute yang dilewati dengan memberikan layanan gratis. Dari sektor ekonomi, kehadiran pedagang asongan dadakan bermunculan menjajakan nasi bungkus, makanan kecil dan aneka minuman. Industri skala besar juga tak mau ketinggalan. Umbul-umbul warna-warni bertuliskan produk dagangannya dijejer menghias pinggir jalan. Ada produk makanan, minuman ringan, suplemen, pakaian, komunikasi, suku cadang automotif, elektronika, perabotan rumah tangga sampai kosmetika dan perlengkapan wanita, turut nampang dengan beragam slogan semanis-manisnya menggoda pemudik. Di beberapa titik dibuat counter-counter darurat dan outlet-outlet sementara untuk persinggahan melepas lelah yang dijaga gadis-gadis cantik. Dari bidang sosial budaya, berbagai ormas tak mau ketinggalan ‘turut membantu’ mengatur lalu lintas di titik-titik rawan kemacetan. Bahkan beberapa antropolog mancanegara turut memberikan perhatiannya melakukan penelitian dan kajian. Bagi petugas keamanan terutama kepolisian saat seperti ini adalah pekerjaan paling sibuk. Pengawalan dan pengamanan secara ekstra. Pos-pos pemantau didirikan di tiap sudut dan perempatan untuk memastikan kelancaran dan keamanan acara yang tengah berlangsung. Semuanya demi kelangsungan peristiwa yang menjadi rutinitas tahunan dan selalu berlangsung dengan sendirinya. Peristiwa kolosal yang banyak mengeluarkan energi mulai dari pikiran, tenaga dan biaya.

Ada Apa Dengan Mudik
Adalah pemerataan ekonomi yang menjadi harapan masyarakat namun masih menggantung pada ranah cita-cita. Pergerakan arus ekonomi sebagai penyangga kebutuhan masyarakat yang masih berputar di kota-kota besar saja dengan ibu kota (Jakarta) sebagai titik sentral, menjadikan pertumbuhan ekonomi pada masyarakat pedesaan yang tersebar diseluruh negeri terasa sangat stagnan dan lamban untuk menuju perkembangan. Sedangkan tingkat kebutuhan hidup untuk dapat dipenuhi semakin berkembang dan meningkat dari waktu ke waktu seiring dengan perjalanan jaman. Harapan untuk memperoleh pendapatan yang setara seakan sebuah kesia-siaan karena para pemangku kebijakan (pemerintah) seolah tak perbah menghiraukan dan hanya konsentrasi pada pengembangan kota besar saja terkhusus ibukota. Segala kegiatan sosial pemerintahan  dan ekonomi terfokus pada ibu kota yang bernama Jakarta. Pembangunan-pembangunan fisik, fasilitas sarana publik, pusat-pusat bisnis mulai dari industri produksi barang dan jasa termasuk hiburan hanya ada di Jakarta dan sebagian kecil tercecer di ibukota-ibukota provinsi. Sedangkan populasi masyarakat sebagian besar berada di pedesaan. Dalam hal perekonomian, terasa jelas bahwa telah terjadi ketidakadilan karena kesempatan untuk hidup sejahtera hanya dapat dirasakan oleh masyarakat kota besar dan Jakarta sebagai kota adi kuasa. Jakarta menampakkan dirinya sebagai ruang yang mampu menjanjikan apa saja termasuk kesejahteraan hidup. Jakarta menawarkan aneka pekerjaan, kekayaan dan kesenangan hidup yang mustahil dapat ditemukan di desa. Tembok-tembok pabrik yang mampu menampung ribuan pekerja, gedung-gedung pencakar langit sebagai pusat bisnis, atau gemerlap lampu-lampu ruang hiburan hanya ada di Jakarta. Panorama seperti ini yang ternyata memiliki daya magnet ketertarikan masyarakat desa untuk berbondong-bondong mendatanginya. Maka terjadilah arus urbanisasi dengan membawa mimpi-mimpi dan motivasi agar dapat hidup layak walaupun sebagai kaum perantauan. Terjadilah peristiwa orang desa mengepung kota dan lambat laun menduduki sebagian besar ruang yang ada dan menjadi penghuni tetap.

Masyarakat Jakarta menyebut kampung dengan istilah udik. Ketika masyarakat pendatang yang akhirnya menjadi warga menetap di Jakarta, mempunyai rasa kerinduan terhadap kampung halamannya dan diwujudkan dengan pulang ke kampung maka disebut Mudik.  Perasaan dan keinginan yang sama dari masyarakat pedesaan yang akhirnya justru menjadi sebagian besar penduduk Jakarta, dan niat untuk mewujudkannya juga sama, maka acara mudik ini menjadi drama akbar dan kolosal yang terjadi di belahan bumi. Sedangkan waktu yang dianggap tepat untuk mewujudkan rasa rindu terhadap tanah kelahiran adalah saat menjelang Lebaran. Terjadilah lakon massal, suatu perhelatan kebudayaan yang tak dapat diukur dengan rumus-rumus atau perhitungan normatif. Ada kekuatan dorongan-dorongan yang tak mampu diungkap oleh logika. Ada pengeluaran biaya yang tak mampu dinilai dengan perhitungan ekonomi. Para pelaku mudik sangat sadar bahwa acara yang dilakoninya sangat melelahkan dan menguras tenaga. Perjalanan yang cukup jauh menempuh rute yang padat dan ramai membutuhkan waktu lebih dibandingkan hari biasa, jelas menghasilkan rasa lelah dan menyakitkan, tetapi spirit dan rasa kenikmatan yang dirasakan tak dapat diukur dengan teori-teori formal.  Biaya yang dikeluarkan juga berlipat. Pada momen seperti ini, tarif angkutan umum bisa naik tiga kali lipat dari tarif normal. Tetapi hal ini dianggap tidak memberatkan sehingga acapkali timbul masalah baru yaitu hadirnya calo-calo tiket yang memanfaatkannya. Tak nampak rasa keberatan dengan berlakunya tarif tiket yang mahal, hanya ada satu prinsip yakni yang penting bisa pulang berkumpul keluarga, apapun kendalanya. Pada perkembangan berikutnya, mudik tidak hanya kepulangan kaum perantau dari Jakarta saja, melainkan dari kota-kota besar lainnya di nusantara sehingga menambah keriuhan dan bernuansa kolosal.

Mencari Manusia dalam Mudik

Salah satu babak drama dalam upacara Lebaran yang paling menarik perhatian adalah Mudik. Tanpa terjadinya mudik, barangkali acara Lebaran tidak memiliki daya tarik, sehingga terasa hambar. Lalu dorongan apa yang senantiasa menumbuhkan spirit untuk bisa pulang kampung, walaupun secara logika merupakan kegiatan yang melelahkan dan menyakitkan? Mereka (kaum perantau) tanpa mengenal kelas, seakan berlomba untuk dapat hadir menunjukkan dirinya di tanah kelahirannya. Pembantu Rumah Tangga akan merengek pada majikannya untuk bisa pulang kampung. Pekerja pabrik, buruh bangunan akan menabung uang hasil kerja kerasnya selama ini sebagai bekal mudik. PNS turut berdesak-desakan mencari tiket bus atau kereta api jurusan kota asal. Manajer perusahaan sampai Direktur dengan mobil pribadinya juga turut memberi warna dalam kepadatan lalu lintas mudik. Benar-benar fenomenal dan tak dapat diukur dengan sudut pandang teori normatif kecuali pandangan yang bersifat psikologis. Beberapa humanis berpendapat dalam suatu kesimpulan, bahwa seorang individu tidak mampu memahami perilaku mereka sendiri yaitu suatu pandangan yang mereka lihat sebagai paradoks.

Jika dipetakan, tampaknya ada beberapa unsur pokok dalam Lebaran yang harus dilalui dengan acara mudik, yakni : Agama, Tempat dan Sosial. Lebaran atau Idul Fitri sangat jelas sebagai hari besar yang dicanangkan umat beragama, dalam hal ini Islam. Ada ritus-ritus khusus yang mesti dijalani pada hari tersebut, Shalat Id misalnya. Walaupun dalam ketentuan agama, shalat id hukumnya sunnah, namun ibadah ini dianggap sebagai upacara pertaubatan penting artinya serasa tertebuslah sudah dosa-dosa selama satu tahun. Jadi tidak mengherankan jika ruang-ruang yang dipergunakan untuk ritual shalat id (masjid, lapangan, halaman parkir, dll) selalu penuh sesak. Proses mudik juga berkaitan dengan tempat, yakni kampung halaman dimana tempat tersebut menjadi bagian penting perjalanan sejarah hidupnya. Di kampung halaman ini biasanya masih terdapat sanak keluarga yang masih bertahan mendiami tanah keluarga serta terdapat tempat yang sifatnya keramat, yaitu tempat beradanya makam para leluhur atau keluarga. Mengunjungi makam-makam leluhur dan keluarga (ziarah) dianggap sebagai sesuatu yang harus dilakukan sebagai pengingat roda sejarah kehidupan. Dapat dijumpai dibeberapa tempat, dimana area makam menjadi ramai dikunjungi orang terutama pada saat-saat menjelang Lebaran.

Yang tak kalah penting adalah kaitan sosial dalam berlebaran. Pulang ‘mudik’ ternyata tak hanya mengunjungi tanah kelahiran saja melainkan ada ikatan-ikatan sosial yang tertinggal. Mereka pulang karena ada sanak saudara, handai taulan, tetangga dan sahabat-sahabat. Ini bisa terlihat pada beberapa orang yang sudah tidak lagi memiliki sanak kerabat di tanah kelahirannya, maka kemungkinan besar tidak turut serta dalam acara mudik. Atau sebaliknya, beberapa orang dari generasi ke sekian, walaupun lahir, besar dan hidup di Jakarta, bahkan tidak mengerti bahasa daerah asal orang tuanya, turut serta di acara mudik karena ada beberapa kerabat orang tuanya di desa. Makna yang tersirat dalam hal ini adalah bagaimana jalinan sosial yang terdekat (keluarga) dan pihak lain (tetangga, sahabat) menjadi sangat penting, dan dengan pemahamannya diharapkan hubungan atau identitas sosial semakin terkuatkan. Pada dasarnya manusia adalah makhluk yang baik dan berupaya menjalin hubungan yang bermakna dan konstruktif dengan orang lain. Tingkah laku manusia hanya dapat dipahami berdasarkan dunia subyektifnya, yaitu bagaimana individu itu memandang diri dan lingkungannya.

Fenomena yang terjadi pada proses mudik dan apa harapannya di kampung halaman, membawa wacana besar yang berkaitan dengan konsep-konsep eksistensial dan bermuara pada aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi -potensi psikologis yang unik. Bisa diamati dengan seksama bagaimana orang-orang tersebut (pelaku mudik) setelah tiba di kampung halaman dan bersosialisasi dengan para kerabat dan handai taulan, merasa sebagai ‘dirinya sendiri’ yaitu sebagai ‘manusia’. Para pembantu rumah tangga, pekerja pabrik, ataupun buruh bangunan dengan segala aktifitasnya selama ini merasakan belum menemukan ‘kemanusiaannya” yang sejati. Mereka merasa dirinya hanyalah sekrup-sekrup kecil dimana tiap pergerakannya ditentukan oleh majikannya atau atasannya. Pada posisi ini mereka menganggap dirinya tak berarti. Namun saat di kampung halaman, mereka berlaku sedemikian rupa, dengan penampilan yang berbeda dari apa yang pernah dilihat oleh keluarga maupun tetangganya masa sebelumnya, cara bicaranya dan banyak lagi perilaku lain. Hasilnya pun, para kerabat, tetangga dan sahabat memandang yang bersangkutan sebagai manusia unggul yang lain dari sebelumnya, termasuk memberikan inspirasi untuk dapat ditiru jejaknya. Demikian pula yang terjadi pada mereka walaupun saat ini memiliki posisi sebagai manajer atau direktur. Walaupun dalam lingkup perusahaan, mereka diposisikan terhormat, namun kesadaran batin mereka toh menganggap dirinya tak ubahnya sebagai mesin- mesin atau robot-robot yang pergerakannya ditentukan oleh tombol sebuah sistem besar bernama perusahaan atau industri. Namun perasaan ini menjadi berbeda tatkala berada di kampung halaman dimana rasa ‘kemanusiaan dirinya’ cukup terasa. Pada ruang seperti ini, manusia memiliki kemampuan dalam diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup, dan menangani masalah–masalah psikisnya. Bahwa makna pada dasarnya perilaku pribadi dan subjektif. Acara mudik yang sangat fenomenal dan kontroversial, bisa jadi adalah proses pencarian manusia dalam mengetahui dan mewujudkan konsep-konsep dirinya. Konsep diri (self concept) adalah bagian sadar dari ruang fenomenal yang disadari dan disimbolisasikan, dimana “aku“ merupakan pusat referensi setiap pengalaman. Konsep diri merupakan bagian inti dari pengalaman individu yang secara perlahan dibedakan dan disimbolisasikan sebagai bayangan tentang diri yang mengatakan “apa dan siapa aku sebenarnya“ dan “apa yang sebenarnya harus saya perbuat“.

Dalam pandangan humanistik, manusia bertanggung jawab terhadap hidup dan perbuatannya serta mempunyai kebebasan dan kemampuan untuk mengubah sikap dan perilaku mereka.  Jadi, self concept adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan aku.
 

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | ewa network review