Sabtu, 30 November 2013

SASTRO NINGRAT -an

SASTRO NINGRAT -an
(baca : Sastra ning Ratan ; Sastra Jalanan )

Jalanan selalu diidentikkan dengan ruang kebebasan atau mimbar yang mewakili segala aspirasi yang tak tertampung oleh ‘gedung-gedung kekuasaan’ yang dianggap sebagai ruang formal, priyayi, angkuh, normatif dan sebutan ‘kaku’ lainnya . Para mahasiswa dan aktivis lainnya yang selalu mengklaim menyalurkan aspirasi masyarakat lewat demonstrasi di jalanan seringkali disebut sebagai parlemen jalanan. Para remaja yang selalu menghabiskan aktifitasnya di pinggir-pinggir jalan dan traffic light kota, dinamakan sebagai anak jalanan. Demikian pula, para manusia menyalurkan hobi (atau bakat?) keseniannya di jalanan, entah dengan cara mengamen (cari nafkah) atau sekedar menarik perhatian dengan ‘unjuk kebolehan’ memamerkan tarian meniru orang-orang ‘bule’, kerap diberi julukan sebagai seniman jalanan. Mereka sangat bangga disebut sebagai komunitas jalanan karena dengan begitu secara tidak langsung mereka dianggap sebagai orang yang dekat dengan masyarakat kebanyakan (jelata). Atau dengan kata lain dianggap sebagai humanis.

Di ranah kesenian,- lagi-lagi- istilah street art atau seni jalanan kembali menjadi trend dikarenakan kepentingan legitimasi atau status sosial sebagaimana alasan-alasan yang telah disebutkan tadi. Setelah pada periode 1980-an, dimana jalanan diguncang oleh kehadiran breakdance yang menggunakan jalanan sebagai panggung ekspresinya, dan efektif sebagai ruang pemberontakan ‘rakyat terpinggirkan’ terhadap arogansi kemapanan ( di Amerika Serikat, tentunya….), maka seni jalanan atau diistilahkan agar terdengar keren sebagai street art, kembali di’hidup’kan lagi. Istilah street art (adopsi bahasa asing) yang digunakan sebagai penyebutan, sudah jelas sekali menunjukkan pada pelakunya agar dianggap keren, dan mudah ditebak para pelakunya secara langsung menunjukkan identitasnya sebagai ‘agar dianggap’ sebagai bagian dari masyarakat kebanyakan, walaupun dalam kesehariannya nyatanya krisis hubungan sosial.

Membicarakan atau jika diperkenankan sebagai urun rembug, secara kontekstual  street art atau seni jalanan ternyata telah berlangsung sekian lama di sekitar kita dan dilakukan oleh sebagian masyarakat yang di’cap’ sebagai masyarakat “pinggiran”, yakni para sopir truk. Mereka, para sopir truk itu, mengungkapkan ekspresinya sedemikian rupa melalui tulisan atau gambar-gambar dengan media bak truk, kaca depan dan komponen lain dari kelengkapan kendaraannya yang dibawa dalam mencari nafkah. Dewi Lestari ( Dee ) dalam pengantar novelnya yang berjudul Supernova ; Ksatria, Puteri, Bintang Jatuh,  pun ikut-ikutan menyoroti fenomena ini dengan memberikan sebutan sebagai “sastra bak truk”. Di setiap jalanan yang dilalui truk-truk bermuatan berat itu, kita akan mendapati tulisan-tulisan kreatifitas mereka yang terkadang membuat tersenyum geli bagi mereka yang membacanya, apalagi jika diberi ilustrasi gambar-gambar seperti gadis sexy, perempuan berkerudung, bocah lucu sampai gambar tokoh-tokoh dunia. Seni jalanan ini sebenarnya telah berlangsung bertahun-tahun lamanya dan tetap konsisten seiring dengan perkembangan jaman. Namun, sebagian masyarakat dengan arogansinya tak pernah ‘menganggap’ keberadaannya dengan berbagai alasan sebagai kampungan, norak, dan penilaian lainnya yang intinya memposisikan ‘karya-karya’ tersebut sebagai karya yang tak memiliki selera seni.

Mari kita tengok kembali karya-karya yang diekspresikan para ‘awak truk’ tersebut. Dimulai dari doa sederhana karena jauh dari keluarga lewat tulisan : “Doamu menyertaiku”, “Doakan ayah pulang”, “Utamakan Sholawat”, “ Ma…kapan Papa pulang..”, “Adidas : Ayah dan Ibu Doakan Aku Selamat”.
Ungkapan cinta seperti anak remaja juga turut menyertai untuk diekspresikan. Bagi yang sedang jatuh cinta, cukup menuliskan nama gadis idamannya di kaca depan, “ Lestari, Gadis Pantura”, “Sri… tunggu aku bali..” (Sri…tunggu aku kembali). Bahkan untuk memberi peringatan pada pacarnya, diberi perbandingan “ Cintamu tak seberat Muatanku..”.  Kesetiaan terhadap gadis pujaan yang tidak memilihnya tertuang dalam kalimat klasik “Kutunggu Jandamu..”. Kejujuran menilai terhadap gadis pilihannya akibat mungkin terburu-buru meminang diungkapkan melalui kata-kata “Ayu Ibune” (Cantik Ibunya) atau “Ayu Adine” (Cantik Adiknya). Persaingan memperebutkan ‘cinta’ namun menyadari kekurangannya disampaikan dengan ucapan “ Cinta Ditolak Dukun Bertindak”, “Kalah Rupo Menang Dupo” (kalah di tampang, berharap menang di kemenyan-magis-). Jauh dari sang kekasih namun tak mampu membendung rindu, dinyatakan dalam “Cintaku Seluas Parkiran”, demikian pula jauh dari kekasih atau istri karena pekerjaan yang menyita waktu dinyatakan dalam “Tak Sempat Bercinta”. Angka-angka matematika tak luput pula diothak-athik agar terbaca seperti kata-kata, semisal “ Janda 1/3 dis” (Janda Seperti Gadis), “ber 217 an” (Berdua Satu Tujuan), sampai ke ungkapan kejenuhan “ca 150 yang” (Capek Goyang).

Ada pula yang memotivasi diri maupun temannya dengan menuliskan pernyataan adopsi dari judul lagu perjuangan “Maju Tak Gentar”, atau adopsi dari istilah ponsel “Pesan Terkirim”.  Kalimat tanggung jawab terhadap pekerjaan tertuang dalam “Pulang Malu, Tak Pulang Rindu” atau “Pergi bawa Tugas, Pulang bawa Beras”.  Bentuk perenungan dapat ditemui dalam kata-kata “Hidupku diatas Roda”, atau “Ora ngoyo… Donya tan keno kiniro…” (tidak terburu nafsu tergesa-gesa, rejeki tak dapat ditebak datangnya). Peringatan terhadap pengguna jalan lain, cukup kreatif dituangkan dalam kalimat plesetan “Tut Mburi Mbebayani…” (mengekor dari belakang sangat membahayakan). Termasuk pula yang layak untuk tidak diabaikan yaitu pernyataan protes terhadap majikan dengan kalimat yang sepertinya memakai bahasa Inggris namun minta dibaca sesuai pelafalan bahasa sendiri, yaitu “ Is One My Do” (baca : Isone Maido – bisanya cuma menyalahkan).

Untaian kata – kata tersebut, hilir mudik bersliweran setiap harinya dibawa truk-truk pengangkut barang diatas jalan raya yang menghubungkan antar kota, antar propinsi bahkan antar pulau di negeri ini. Benar-benar di jalanan secara harfiah. It’s the real street.  Bukan diatas panggung ruang hiburan tetapi diumumkan sebagai street art sebagaimana tarian hip-hop yang lagi digandrungi remaja kita saat ini. Bukan pula berada di ruang perlombaan atau kontes pertunjukan yang pura-pura berada di jalanan dengan cara men-setting pelataran parkir seakan-akan sebuah jalan. Bukan pula seperti yang dilakukan sekelompok remaja yang suka mencoret-coret tembok milik orang lain dengan kata-kata yang tak jelas, atau seperti yang dilakukan para pelajar yang katanya dididik menjadi manusia beradab dan dididik oleh pendidik yang katanya beradab pula, namun setiap kelulusan sekolah, selalu saja terdapati dinding (entah itu milik orang lain atau sarana publik) penuh dengan coretan-coretan kata dengan cat semprot (pylox). Juga bukan pula seperti tulisan di spanduk yang dibawa aktivis demonstrasi (bayaran atau tidak) di jalanan yang mengatasnamakan rakyat tertindas namun kenyataan kesehariannya mendapatkan kenyamanan. Sastro Ningrat-an (Sastra Jalanan) yang ditunjukkan para sopir ‘seniman’ truk tersebut terasa begitu jujur, familiar, apa adanya serta nyaris tanpa tuntutan dan provokasi, juga lebih beradab karena menggunakan media yang tidak merusak sarana umum.  Setidaknya, apa yang diekspresikan para sopir truk tersebut walau sebagian kalangan menilai sebagai kampungan, namun cukup menghibur ditengah terik jalanan atau hiruk pikuk lalu lintas yang kadang berpotensi menaikkan tensi darah dan membuat orang cepat marah.

Apabila dicermati lebih dalam termasuk mengesampingkan pengkotak-kotakan karya kesenian, justru ekspresi para sopir truk tersebut layak mendapat apresiasi. Mereka (para sopir truk) terkesan sangat tulus dan terasa ‘keluar dari dalam’ sanubarinya apa yang menjadi dorongan gejolaknya. Kepolosan kalimat yang disampaikan menunjukkan sebuah kesederhanaan namun perlu diungkapkan agar terbaca oleh publik. Sederhana, polos, tulus dan apa adanya. Jika saat ini, generasi bangsa kita lagi ‘mabuk kepayang’ sebagai konsumen jejaring sosial facebook, twitter atau yang lain, yang ternyata lebih banyak hanya termanfaatkan untuk sekedar up date status atas nama eksis diri, namun lihat dan bacalah tulisan orang-orang itu yang hanya berani unjuk kata di dunia maya sehingga yang terkesan adalah sikap pengecut dan tak bertanggung jawab, karena cenderung ‘bersembunyi’ dibalik kecanggihan frekuensi. Lalu, bandingkan status yang dibuat oleh para sopir truk tersebut yang lebih menunjukkan kesan berani dan bertanggung jawab karena dipampang di dunia nyata yang tidak membatasi siapapun untuk membacanya. Pernyataan di bak truk itu, tak membutuhkan comment seperti dalam facebook yang hanya berujung pada rumpi, fitnah, dan kasak- kusuk. Ekspresi di bak truk tersebut hanya memerlukan dua perkara : “setuju – tersenyumlah, tak setuju – abaikan saja”.

Oleh : lik Miko


Jumat, 29 November 2013

Tradisi Dandangan : Spiritual Versus Ekonomi

TRADISI DANDANGAN ; SPIRITUAL VERSUS EKONOMI


Abstraksi

Upacara tradisi yang bersifat khas selalu dimiliki oleh berbagai daerah di nusantara. Kabupaten Kudus memiliki beragam tradisi unik salah satu diantaranya adalah yang populer disebut Dandangan. Tradisi Dandangan memiliki kaitan dengan hari besar umat Islam yakni menandai datangnya bulan Ramadhan dimana pada bulan ini oleh masyarakat pemeluk Islam diyakini sebagai bulan suci yang mesti disambut secara istimewa. Masyarakat Kudus sendiri yang sebagian besar penduduknya pemeluk agama Islam memiliki bentuk tersendiri dalam menyambut datangnya bulan suci tersebut.  Berpusat di lokasi tempat bersejarah yang dimiliki Kudus yaitu kawasan Masjid Menara Kudus, terdapat keramaian secara periodik dengan melibatkan berbagai unsur masyarakat yang turut berpartisipasi demi kemeriahan acara yang digelar setiap tahunnya. Tingkat keramaian yang selalu meningkat dari waktu ke waktu membuat pemerintah daerah setempat mengambil alih secara langsung dalam mengelolanya.

Perkembangan selanjutnya dalam tradisi Dandangan ialah menjamurnya para pedagang yang datang dari berbagai daerah (dalam maupun luar Kudus) untuk turut memanfaatkan mengais rejeki dengan menjajakan dagangannya. Lebih kurang sekitar 2 kilometer ruas jalan ( Jl. Sunan Kudus ) dipenuhi stand-stand pedagang sehingga dapat dipastikan menutup jalan yang pada sehari-harinya merupakan jalan utama transportasi antar kabupaten dari Jepara menuju kota Kudus. Upaya yang dilakukan oleh kedinasan terkait, biasanya dengan cara pengalihan jalan.

Folkstory

Cerita yang beredar di masyarakat dari mulut ke mulut dan berlangsung turun temurun (tradisi lisan) mengenai sejarah dimulainya tradisi Dandangan terkait dengan sosok Ja’far Shodiq yang bergelar Sunan Kudus. Ja’far Shodiq adalah tokoh popular terkemuka di kawasan Kota Kudus. Beliau adalah seorang tokoh penyebar agama Islam di Kudus sekaligus pemuka masyarakat dan terbilang sebagai salah satu anggota Wali Sanga. Dalam salah satu upaya dakwahnya, sebagai pengumuman kepada masyarakat, sehari menjelang datangnya bulan Ramadhan, Sunan Kudus membunyikan bedug besar di lokasi Masjid besar yang dibangunnya sebagai tanda akan dimulainya ibadah puasa Ramadhan. Cara unik yang dilakukan Sunan Kudus ini pada akhirnya mendatangkan kerumunan masyarakat yang ingin melihatnya secara langsung sekaligus menjalankan ibadah Shalat Tarawih pada malam harinya di lokasi Masjid Besar Al-Aqsa. Dari keramaian yang terjadi dan berlangsung dari waktu ke waktu di setiap menjelang Ramadhan, maka dimanfaatkan pula oleh sebagian masyarakat lainnya untuk menjajakan dagangan berupa makanan sebagai kebutuhan konsumsi para pengunjung. Adapun kata Dandangan diyakini oleh sebagian besar masyarakat diadopsi dari bunyi bedug besar yang ditabuh Sunan Kudus yang terdengar di telinga penduduk menyerupai bunyi “Dang…dang…dang…dang…”.

Dilema ; Spiritual atau Ekonomi

Menilik dari setting tempat, waktu, maupun sejarah walaupun disampaikan secara lisan dan turun temurun, sudah barang tentu bahwa tradisi Dandangan sarat dengan nilai-nilai spiritual. Masyarakat yang berbondong-bondong datang untuk melihat langsung prosesi upacara unik ini termotivasi pada dorongan spiritual untuk menyambut bulan Ramadhan yang diyakininya sebagai bulan suci yang penuh rahmat dari Tuhan. Kedatangan mereka pun dilakukan sekaligus untuk melaksanakan ibadah Shalat Tarawih di lokasi Masjid. Merupakan hal yang wajar, jika pada setiap bentuk keramaian maka ada kesempatan bagi masyarakat lain sebagai penjaja makanan yang menawarkan pada pengunjung sebagai pelepas lapar atau haus. Dari aspek inilah yang kemudian mendorong masyarakat secara lebih besar untuk selalu memanfaatkan setiap keramaian yang timbul dengan usaha menjual dagangan.

Pada persoalan tradisi Dandangan di waktu-waktu berikutnya (hingga saat ini), telah terjadi pergeseran nilai-nilai, dimana dorongan spiritual menjadi kian bias dimonopoli oleh kepentingan ekonomi. Hal ini selalu terjadi karena pihak pemerintah daerah selaku pengelola langsung hanya memikirkan keuntungan ekonomi pragmatis saja. Esensi moral spiritual yang terkandung dalam tradisi ini Nampak jelas terabaikan. Fenomena ini tampak pada kesibukan para punggawa pemerintah yang hanya lebih fokus pada penataan kapling-kapling stand untuk para pedagang dibanding membuat acara yang sifatnya memberi arah ke pendidikan spiritual. Pengajuan untuk menyewa kapling stand bagi para pedagang telah diagendakan tiga bulan sebelumnya. Bahkan besar kemungkinannya telah terjadi semacam member langganan bagi pedagang untuk acara di tahun-tahun berikutnya. Ini terlihat pada kesamaan personil pedagang yang menempati lahan yang sama dari tahun ke tahun dengan produk dagangan yang sama pula. Dan mungkin menjadi hal yang tidak aneh karena akan kita temui para pedagang tersebut justru kebanyakan berasal dari luar daerah bahkan luar propinsi. Keuntungan dari sewa kapling stand yang secara kumulatif terbilang cukup besar untuk mengisi pendapatan asli daerah inilah yang kemungkinan membuat pengelola lebih memprioritaskan segi keuntungan ekonomis daripada esensi tradisi Dandangan.

Dapat saja ada dalih pemberdayaan ekonomi kerakyatan dari kegiatan yang berlangsung, tetapi hal ini juga akan timbul pertanyaan : mengapa para pedagang yang banyak terakomodir justru berasal dari luar daerah Kudus, bukan dari masyarakat Kudus sendiri? Ataukah barangkali masyarakat Kudus tak ada yang menjadi pedagang kecil?. Perihal nilai-nilai kearifan lokal yang bersifat edukasi budaya (tradisi), pemerintah setempat pada kurun waktu akhir-akhir ini memang telah melibatkan para pelaku kesenian untuk dapat menampilkan semacam art performing dengan thema “Visualisasi Dandangan”, namun seringkali pelaksanaan acara tersebut terjebak pada kemeriahan seremonial belaka, bahkan kadangkala ada kerancuan mengenai lokasi yang kurang ada relevansinya (pusat lokasi tradisi Dandangan berada di kawasan Masjid Menara namun kegiatan Visualisasi Dandangan justru berada di depan pendapa Kabupaten). Secara garis besar pun, acara seremonial tersebut kurang memberikan makna dan hanya sebagai assesories (pemanis) saja dari rangkaian upacara besar tradisi Dandangan. Dapat dikatakan bahwa pementasan kesenian dihadirkan sebagai pelengkap (kepantasan) dari sebuah pagelaran besar pekan raya produk dagangan.

Terdapat pergeseran paradigma yang pada akhirnya ditemukan ironisme, antara upacara pada periode-periode awal dan tahun-tahun saat ini. Jika pada masa awal tradisi Dandangan, keramaian massa menghadirkan para penjual dagangan, maka pada tahun-tahun saat sekarang, para penjual aneka dagangan itulah yang menghadirkan keramaian massa.

Urun Solusi (Wacana)

Sebuah teori klasik tentang kebudayaan menyebutkan bahwa bangsa (masyarakat) yang bermartabat adalah bangsa (masyarakat) yang menghargai akar budayanya. Pada tataran tradisi (budaya) Dandangan ini maka masyarakat Kudus lah yang memiliki kewajiban untuk memelihara budayanya agar tidak tercerabut nilai-nilainya menjadi keuntungan pragmatis ekonomis semata. Menghadapi persoalan tradisi Dandangan sebagai kekayaan budaya masyarakat Kudus, kecerdasan pengelolaan kiranya perlu dievaluasi lagi untuk kemudian dicarikan solusi yang pada akhirnya diimplementasikan agar setidak-tidaknya setiap aspek dapat diakomodir manfaatnya. Nilai-nilai sejarah, kearifan lokal, esensi moral spiritual dan juga ekonomi kerakyatan bagaimana dapat diupayakan untuk berjalan seiring tanpa saling meniadakan satu sama lain berdasar skala prioritas.

Wacana solusi kemungkinan dapat dilakukan dengan cara mengembalikan lokasi kawasan Masjid Menara Kudus sebagai pusat kegiatan yang berhubungan dengan acara tradisi Dandangan, sekaligus upaya penataan lokasi demi kenyamanan pengunjung dan terdapat unsur-unsur edukasi terutama kebudayaan Kudus karena bagaimanapun prosesnya, pada kenyataannya kawasan Masjid Menara Kudus dapat dikategorikan termasuk dalam sektor pariwisata. Penataan lokasi dimaksud, adalah memposisikan kawasan Masjid Menara Kudus sebagai situs sejarah dan sebagai penunjang pariwisata penataan kios pedagang dilakukan sedemikian rupa dengan mengkhususkan produk dagangannya yang memiliki kaitan dengan kebudayaan setempat. Sebagai misal, produk yang dijajakan adalah kuliner tradisional berupa Jenang Kudus, Lentog, Soto Kudus, Sate Kerbau atau makanan kecil khas Kudus lainnya. Atau juga produk kerajinan yang bercirikan ikon Kudus. Demikian pula sebagai upaya peningkatan ekonomi kerakyatan masyarakat setempat, maka kios-kios yang disediakan adalah prioritas bagi masyarakat Kudus. Lay out seperti ini diterapkan dalam praktek sehari-hari (bukan hanya pada acara Dandangan saja).

Para pedagang inilah yang kelak (jika acara tradisi Dandangan tiba) menjadi tuan rumah, bukan malah sebaliknya, para pedagang luar daerah dengan produk dagangannya yang tidak memiliki relevansi dengan acara Dandangan justru yang mendominasi praktik-praktik ekonomi yang berlangsung. Pada saat acara Dandangan tiba, maka “Visualisasi Dandangan” berupa art performing dilaksanakan di lokasi Menara Kudus. Sebagai perumpamaan, mengambil contoh Pagelaran Sendratari Ramayana di pelataran Candi Prambanan pada hari-hari tertentu. Disamping lokasi Menara Kudus menjadi obyek wisata yang rapi tertata demi kenyamanan pengunjung, pendidikan kebudayaan Kudus juga dapat diserap, ekonomi kerakyatan masyarakat setempat pun tidak ketinggalan dapat ditingkatkan.

Rabu, 27 November 2013

Mahasiswa dan Seni : Mahasiswa "Nyeni" Atau Seni " Mahasiswa"

MAHASISWA DAN SENI ;
MAHASISWA “NYENI” ATAU SENI “MAHASISWA” ?


Atas nama tak ingin ketinggalan di peta percaturan dunia, bangsa ini sedang “mabuk” terhadap apa yang dinamakan ilmu pengetahuan dan teknologi. Satu-satunya cara yang dianggap paling ideal adalah memfokuskan program pada sektor pendidikan formal. Untuk itu, lembaga sekolah dan universitas yang diselenggarakan negara maupun swasta berdiri bertebaran dan menjadi “harapan akhir” yang sangat menjanjikan bagi seluruh lapisan masyarakat agar setelah lulus nanti dapat jadi “orang”. Dan entah darimana datangnya, hipnotis positivisme yang mengedepankan segala sesuatu harus terukur atau kuantitatif yang dibuktikan dengan nilai berupa angka-angka, begitu merasuk sehingga seluruh manusia penghuni bangsa ini saling berlomba dan memprioritaskan dirinya apapun caranya hanya untuk mengejar atau meraih coretan angka-angka yang tertera dalam selembar kertas bernama ijasah.

Tak bisa dipungkiri, bahwa lembaga kampus beserta warganya yang disebut mahasiswa menjadi ‘andalan’ yang diharapkan seluruh masyarakat sebagai ujung tombak yang menentukan “merah hijau”nya bangsa ini. Kelompok masyarakat inilah yang ‘layak’ mendapat predikat sebagai “kaum intelektual”, “terpelajar”, “cendekiawan”, atau sebutan lainnya, sehingga di tangan dan di otaknyalah nasib bangsa bergantung.

Banyak realitas ditemui, dalam perjalanan waktunya yang cukup lama, pola pendidikan yang diterapkan dan materi yang diajarkan sering mendapatkan kritik dari banyak pihak. Berbagai kalangan menilai sistem pendidikan yang ada dianggap belum sesuai dengan kultur yang dimiliki bangsa ini. Akibatnya, sistem pendidikan atau kurikulum yang dijalankan hanya menghasilkan produk-produk manusia yang hanya bisa menghafal, berpikir seragam, dan parsial. Dengan kata lain, hanya menghasilkan robot-robot bernyawa yang krisis apresiasi, tidak qualified, dan miskin kreatifitas. Atau jika boleh melakukan pembelaan diri, kecerdasan yang dimiliki hanyalah bersifat intelektualitas saja tanpa diiringi dengan kecerdasan emosional  sebagai penyeimbang. Sekedar catatan pembanding, bangsa Amerika Serikat (USA) sebagai ‘biang’nya intelektual dan pemuja positivisme, telah tersadar dan mulai membenahi diri dalam mencetak tingkat kecerdasan anak bangsanya. Sejak tahun 1980-an, pemerintah AS mendapati sebagian besar warganya yang memiliki tingkat intelektual (IQ) relatif tinggi (dibuktikan dengan nilai IPK) ternyata tidak mampu atau sulit beradaptasi dengan baik di lingkungan pekerjaannya, apalagi yang berposisi sebagai pembuat kebijakan. Hal ini menjadi kebalikan dari mereka yang memiliki nilai tinggi di kecerdasan emosionalnya (EQ), walaupun nilai IPKnya relatif rendah. Hal ini setidaknya harus menyadarkan kita bahwa betapa sangat pentingnya kecerdasan emosi memiliki peranan dalam realitas kehidupan sosial.
Sejarah kesadaran manusia yang harus berhadapan dengan kecerdasan intelektual (rasio) atau kecerdasan emosi (intuisi) sebagai unsur prioritas untuk dijalani, menjadi persoalan yang berkepanjangan untuk dibahas. Hal ini berarti, ‘keduanya’ (rasio dan intuisi) harus berjalan beriringan tanpa harus mengesampingkan yang satu dengan yang lainnya. Ibaratnya, ‘mereka’ adalah “pasangan serasi” yang jangan dipisahkan begitu saja. ‘Kedua’nya harus bertemu untuk saling melengkapi. Namun, seringkali manusia yang telah terjebak dengan urusan ‘ukuran normatif’ angka-angka dalam nilai (kebanyakan mereka yang berpredikat mahasiswa), kesulitan bagaimana upayanya untuk meningkatkan kecerdasan intuitifnya.

Tak ada yang meragukan bahwa kesenian adalah yang paling lekat dalam urusan meningkatkan kecerdasan emosional karena di dalam kesenian, ‘energi’ yang digunakan adalah intuisi. Dalam kesenian, disamping mengajarkan tentang nilai-nilai apresiasi estetik (keindahan), kesenian juga kerap mengajarkan tentang nilai-nilai moral (etika). Saat ini, memang telah ada lembaga pendidikan formal yang secara spesifik mengambil bidang kesenian seperti ISI atau STSI. Demikian pula, di universitas umum (non spesifik seni), juga telah memfasilitasi dengan diadakannya ruang semacam Unit Kegiatan Mahasiswa, salah satu diantaranya mengakomodasi kegiatan kesenian. Yang jadi pertanyaan berikutnya (bagi mahasiswa Universitas umum) adalah seberapa perlukah kegiatan kesenian bagi kepentingan dirinya mengingat secara realitas capaian nilai yang dituntut pihak kampus adalah nilai mata kuliah secara akademis bukan capaian prestasinya di bidang kesenian. Di lain sisi, bergesernya makna kesenian dari sifatnya yang mengajarkan nilai-nilai moral dan keindahan menjadi bersifat hiburan semata akibat pengaruh kemajuan teknologi (terutama di bidang media massa) tak bisa dihindari lagi juga mempengaruhi kejiwaan mahasiswa dalam memandang fungsi kesenian. Sudah bukan hal yang mengherankan lagi, jika di dalam benak mahasiswa, yang disebut kesenian adalah : musik sama dengan band, tari identik dengan hip-hop,  drama adalah sinetron, sehingga dengan sendirinya mempengaruhi motivasi tindakan mereka dalam berusaha melakukan aktifitas keseniannya menuju kesana.

Sebagai ‘makhluk terpelajar’ sudah sewajarnya jika mahasiswa membuka cakrawala kesadarannya untuk merefleksikan dan mengevaluasi dorongan-dorongan kebutuhan fisik maupun jiwanya. Memang benar adanya, bahwa tujuan awal mahasiswa memasuki gerbang universitas adalah kuliah, dalam arti menimba ilmu-ilmu akademik yang menimbulkan konsekuensi harus berkutat dengan materi-materi perkuliahan yang diajarkan sebagai prosentase utama. Kalau toh memiliki hasrat untuk mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa di bidang kesenian, tentulah sebagai unsur kedua.  Pada tataran persoalan seperti ini, diharapkan kecerdasan dari mahasiswa bersangkutan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dirinya. Sebagai ilustrasi, jika pendidikan akademik sebagai kebutuhan pokok yang diibaratkan sebagai nasi, maka kegiatan berkesenian adalah ‘pelengkap kelezatan’ yang diibaratkan sebagai lauk pauk, sayur mayur atau buah-buahan. Secara garis besar, antara pencapaian ilmu akademik dengan tindakan berkesenian bukanlah sebagai pilihan yang harus dipilih salah satu, melainkan ‘keduanya’ merupakan kebutuhan yang harus diraih demi ‘asupan gizi’ kebutuhan diri. Pada ruang kesenian, seorang mahasiswa mestinya mencari atau saling memberikan dengan rekan yang lain hal-hal pengetahuan yang tidak diperolehnya dari materi kuliah akademik. Jika mau dan mampu mengeksplorasinya, dalam ruang kesenian tersedia ilmu-ilmu yang bersifat memberikan kematangan terutama di ranah kecerdasan emosi. Dan tentunya, keseimbangan (jika tidak pantas disebut kesempurnaan) antara intelektual (rasio) dengan emosional (intuisi), bakal diperoleh. Jika antara rasio dan intuisi dapat dikolaborasikan, maka cita-cita dari semua orang untuk ‘memanusiakan manusia’ niscaya sedikit banyak dapat diwujudkan.



Selasa, 26 November 2013

Refleksi Aktualisasi Budaya Populer

Refleksi Aktualisasi Budaya Populer
JATI DIRI BANGSA NASIBMU KINI

Sekilas pandang

Kemajuan teknologi yang membawa dampak globalisasi adalah realitas yang mau tidak mau harus dihadapi seiring dengan perkembangan jaman itu sendiri.  Apa yang sedang dan telah terjadi di seluruh muka dunia kini kini dapat dilihat  dan bahkan digenggam melalui perantara media massa. Semakin canggihnya penemuan teknologi cetak, perekam suara atau gambar, menghasilkan koran, majalah, tabloid, radio, maupun televisi yang tiap hari bahkan tiap detik mengekspose informasi segala peristiwa dan juga menyuguhkan tawaran-tawaran gaya hidup. Realitas ini berimplikasi pada perubahan paradigma masyarakat dalam menyikapi suatu kehidupan, terutama pada generasi muda yang kerap phobia agar tidak dikatakan ketinggalan jaman. Lahirlah, sebuah gaya hidup baru yang dimotori anak-anak muda yang selalu mengatasnamakan dirinya sebagai “agen modernitas”. Sebagian remaja laki-laki akan merasa percaya diri dan menjadi anak jaman saat berpenampilan sedemikian rupa. Yang merasa mewakili golongan strata masyarakat bawah mendandani rambutnya agar dapat berdiri keatas mirip binatang landak, menempeli pakaiannya dengan pernik-pernik logam mirip deretan bintang di langit, coret-coret tembok dengan cat semprot menorehkan kata-kata yang sulit dibaca, nongkrong  di perempatan jalan raya, menyanyikan lagu yang banyak teriak-teriak dengan anggapan sebagai aspirasi perlawanan terhadap kekakuan kemapanan. Sedangkan remaja yang lain dengan meniru kaum menengah ke atas, mencoba tampil gaya dengan busana dari pabrik ternama walaupun sekedar tulisan saja, pakai parfum yang dapat membuat bidadari lupa diri, nongkrongnya di “Kang Jastro CafĂ©”, makan dan minum dengan menu asal bahasa asing, pilihan lagunya yang merengek-rengek menunjukkan kalau lagi jatuh cinta.

Fenomena seperti ini telah masuk dalam praktik-praktik kehidupan serta telah menjadi bagian dari munculnya budaya baru. Keberadaan budaya baru ini membius dan menjadikan lupa bahwa kita telah menjadi konsumen empuk para pelaku industri yang menjajakan dagangannya melalui sarana “pop culture”.  Tak bisa dipungkiri bahwa telah banyak dan bermacam-macam bentuk  “budaya asing” yang kita konsumsi dan dibanggakan lewat sosok-sosok yang mengatasnamakan dirinya bagian dari “masyarakat modern”. Bahkan, keberadaan budaya baru ini telah mendominasi dan memegang kendali dalam realitas kehidupan serta mampu melindas sedikit demi sedikit dan akhirnya menggeser budaya lokal hingga tersudutkan dan terlempar dari lingkungan masyarakatnya. Tanpa sadar, kita telah terjebak dalam perangkap suguhan praktik-praktik yang mengusung budaya asing itu, dan memaksa menjadi bagian hidup dengan menganggap sebagai bagian dari masyarakat modern, tanpa memiliki kesadaran sama sekali apakah hal tersebut pantas atau tidak, sesuai atau tidak dengan kultur kebudayaan lingkungan kita.

Kehadiran  ”Budaya Populer” atau disebut juga dengan ”Budaya Pop” ditengah-tengah masyarakat kita tanpa disertai dengan filter pengetahuan, pemahaman, dan kesadaran diri terhadap nilai budaya sendiri hanya akan membawa dampak besar terhadap keberadaan kebudayaan setempat yang menurut kesesuaian karakter masyarakat memiliki nilai-nilai luhur. Tergesernya budaya setempat dari lingkungannya sendiri, disebabkan oleh kemunculan sebuah kebudayaan baru yang didukung oleh putra-putrinya sendiri dan konon sebagai alasannya dianggap lebih atraktif, fleksibel dan mudah dipahami. Dalam membahas ”Budaya Populer”, yang selalu dihadapi adalah pemahaman yang multi persepsi hingga menimbulkan penafsiran yang beragam. Namun yang perlu direnungkan adalah bagaimanapun bentuknya jika sudah diusung oleh industri maka yang dihasilkan hanyalah kebudayaan instan yang berujung pada komersialisasi dan bagi konsumennya hanya menghasilkan peradaban dangkal pemikiran, tanpa nilai, pengkaburan makna, cari sensasi, berjiwa konsumtif dan hedonis.

Pengertian Budaya Populer

Untuk meminimalisir multi persepsi  terhadap definisi Budaya Populer, maka dapat dipilah menurut akar kata, yakni Budaya dan Populer.    Pengertian mengenai  kebudayaan (culture) sangatlah kompleks, masing-masing ahli merumuskan dengan kalimat yang berbeda walaupun menuju ke pengertian umum yang sama, yaitu sebagai pengembangan akal budi manusia. “Budaya” berasal dari bahasa Sanskerta yaitu, buddhaya  yang merupakan bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Budaya juga dapat diartikan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Dalam perkembangannya, definisi budaya dapat diartikan sebagai pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu (Raymond William : 1983). Sedangkan kata ”Populer”, Williams memberikan makna yang mengandung pengertian yakni : (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri (Williams, 1983). Dari tataran ini dapat disimpulkan bahwa istilah Budaya Populer dapat juga diterjemahkan dengan pengertian suatu aktifitas atau praktik-praktik sosial yang bisa menyenangkan orang dan disukai oleh banyak orang.


Makna Semu dan Distorsi Nilai

Awalnya, kebudayaan populer atau kebudayaan pop (pop culture) bersifat massal (umum), komersial, terbuka, dan lahir dari rakyat, dan tentunya disukai rakyat. Sehingga kebudayaan pop dikategorikan sebagai kebudayaan rakyat (folk culture), atau kebudayaan rendah (low culture). Bentuknya berupa musik, tarian, teater, gaya, ritual sosial, dan bentuk lain yang bersifat tradisional. Tumbuh pada tingkatan bawah (grass-root) sebagai perwujudan eksistensi dengan akses yang terbatas dan dicirikan dengan kesederhanaan. Oleh karena itu, kebudayaan pop dapat disimpulkan sebagai produk kultural yang berasal dari rakyat bawah.  Namun dalam perkembangannya, dan ini terutama yang terjadi di negeri ini, dengan difasilitasi oleh berbagai media yang telah memberikan suguhan berupa keanekaragaman tentang pola hidup dari bangsa-bangsa Barat termasuk memuat perilaku artis, model pakaian,  dan pernik-pernik penunjang gaya hidup sangat mengundang perilaku para remaja kita untuk cenderung mengikutinya secara harfiah. Dengan menangkap indikasi mentalitas para generasi muda kita, para produsen produk itu, menyebarkan perangkap melalui iklan media baik cetak maupun elektronik dengan gambar dan teks yang telah direkonstruksi, sehingga membuat target sasaran yang diincar semakin ketagihan dibuatnya.

Pergeseran makna dan nilai tampak terlihat pada aktualisasinya saat diterjemahkan oleh para remaja kita. Mengacu pada pengertian umum “kebudayaan populer” dan ketika menjadi bidikan kaum industriawan untuk dijadikan menu dagangan, membuat para konsumen awam cenderung mengikuti sehingga dijadikan “gaya hidup”. Hal ini, pada tingkat implementasinya ke masyarakat terutama di Indonesia, menjadi bias bahkan mengalami pergeseran baik secara makna maupun nilai.

Pertama,  titik awal yang menyatakan bahwa budaya pop banyak disukai orang. Ini dapat kita lihat bagaimana peranan media terutama televisi yang selalu menayangkan acara demi acara dengan hanya menekankan prinsip kesenangan tanpa menyertakan sifat-sifat mendidik. Tayangan sinetron, infotaintment atau sejenisnya merupakan  acara yang memiliki prosentase lebih banyak dalam jam tayang televisi. Dari sini kita dapat melihat bahwa sasaran konsumen adalah ‘mimpi’ anak muda. Tema asmara, dengan tokoh anak muda yang kaya dengan berbagai fasilitasnya, tak peduli apakah hal ini realistis atau tidak dengan kondisi sosial bangsa mampu mencipta ‘mimpi baru’ bagi kita. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah tema cerita “rebutan cinta” dengan setting ruang sekolah (SMA), tokoh-tokohnya menggunakan seragam sekolah. Kemudian yang tak ketinggalan tingginya terpaan massa adalah acara ngrumpi yang dikemas dalam program infotaintment.  Hampir seluruh stasiun TV yang ada memiliki acara dengan konsep serupa, yaitu mengupas tuntas perilaku orang-orang yang dinobatkan sebagai selebritis. Mulai dari artis A yang sedang berdekatan dengan artis B, perselingkuhan artis C dengan artis D, keretakan rumah tangga artis E dengan artis F akibat hadirnya artis G, pakaian sepatu dan assesories yang dipakai artis H, sampai ke hal-hal yang bersifat privasi dieksplorasi habis-habisan yang anehnya menjadi suguhan yang disukai dan cenderung dijadikan teladan gaya hidup.

Kedua, “populer” yang didefinisikan sebagai jenis kerja rendahan. Kata “rendahan” disini mengacu pada strata masyarakat yakni kelas masyarakat rendah atau rakyat jelata. Sejarah terciptanya budaya populer secara umum memang berasal dari rakyat rendahan sebagai alat perjuangannya dalam memenuhi kebutuhan eksistensinya. Menurut John Fiske (1989), budaya populer merupakan sebuah wujud alat perlawanan terhadap budaya dominan.

Pada periode atau abad sebelumnya di banyak bangsa terdapat kesenjangan antara “kebudayaan tinggi” (high culture)  dengan “kebudayaan rendah” (low culture). Kesenjangan strata ini tersekat oleh dinding yang tinggi dan masing-masing terpisah atau berdiri sendiri. Kebudayaan tinggi (high culture), seringkali diidentikkan dengan yang bersifat khusus dan tertutup,  lahir dari kalangan atas (kaum elite). Kebudayaan ini dianggap bernilai luhur dan adiluhung serta memiliki standarisasi yang tinggi menyangkut selera, kualitas, dan estetika. Sedangkan kebudayaan rendah (low culture) atau kebudayaan rakyat (folk culture) yang kemudian diistilahkan sebagai kebudayaan popular (pop culture) diidentifikasi sebagai spontanitas, vulgar, serta dianggap berselera rendah. Namun dengan kekuatan pertahanan loyalitasnya dan berhasil menjadi bentuk kebudayaan baru, dimanfaatkan oleh kaum industri sebagai pangsa pasar yang menjanjikan. Lambat laun, dengan bantuan media (juga termasuk industri), kebudayaan populer dapat menembus sekat dan diterima oleh khalayak luas. Pada perkembangannya, akibat pengaruh dari industri produk barang maupun media dengan kekuatan iklan, budaya populer berkembang menjadi Budaya Massa. Burhan Bungin (2009) menyatakan Budaya massa adalah hasil budaya yang dibuat secara massif demi kepentingan pasar. Budaya massa lebih bersifat massal, terstandarisasi dalam sistem pasar yang praktis, heterogen, lebih mengabdi pada kepentingan pemuasan selera.

Pergeseran makna dan nilai yang terjadi dalam pengaktualisasian budaya populer di sekitar kita adalah kurangnya pengetahuan dan pehamanan tentang spirit budaya populer sebagai alat perjuangan eksistensi masyarakat bawah. Musik rock di Eropa dengan lirik lagunya berisi tentang protes sosial, musik reggae di Jamaica adalah pemberontakan terhadap kekakuan ideologi kekuasaan, komunitas punk di Amerika adalah perlawanan terhadap arogansi kemapanan, dan lain sebagainya. Namun di tangan kita bentuk aktualisasinya hanyalah menjadi konsumen belaka dan memang hal seperti inilah yang diinginkan oleh para kaum industri. Fenomena seperti ini bisa kita lihat, bagaimana larisnya produksi barang-barang dengan mengambil ikon Che Guevara, Bob Marley atau tokoh sejenis, berupa poster, kaos, emblem dan lain sebagainya yang dikonsumsi oleh para remaja tanpa tahu tujuannya.

Ketiga, “populer” sebagai karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang. Hal-hal yang bersifat kesenangan, tak dapat dipungkiri menjadi semacam kebutuhan pokok pada tiap manusia. Kenyataan ini yang kemudian menjadi pangsa pasar paling potensial oleh para industriawan terutama media yang selalu menyuguhkan acara-acara ‘asal orang senang’. Bagi industri media televisi, tentunya tidak sulit menciptakan perangkap acara yang dikemas secara hiburan lewat beragam program acara dengan konstruksi yang bersifat kesenangan serta dilancarkan secara terus-menerus dalam setiap serial komoditas, sehingga pemirsa begitu tergila-gilanya mengikuti apa yang disuguhkan oleh industri media televisi yang pengaksesannya bisa dilakukan kapan saja dengan secara gratis itu. Tayangan panggung hiburan musik dengan penyanyi-penyanyi cantik dan glamour ditayangkan mulai orang bangun tidur sampai beranjak mau tidur. Pengemasan acara yang menggiring masyarakat untuk berlomba-lomba menjadi aktris gencar dilaksanakan lengkap dengan iming-iming yang dianggap menyenangkan. Sebut saja, Audisi – audisian atau Idol-idolan. Dan anehnya (disebut aneh karena pemirsa tanpa sadar tergiring) adalah keputusan pemenang ditentukan oleh SMS yang dikirim pemirsa.

Keempat, pengertian budaya populer sebagai budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. Pada tataran ini, dalam sejarah munculnya budaya populer di berbagai negara, dibuat oleh dan untuk rakyatnya sendiri sebagai bentuk perlawanan dan upaya eksistensi menghadapi problem sosial setempat. Pada tahap perkembangannya, budaya populer ini dibuat oleh orang-orang tertentu dalam hal ini pelaku komersial untuk kepentingan dirinya sendiri yakni, keuntungan finansial. Pergeseran makna dan nilai menjadi kian jelas tatkala dikonsumsi dan diaktualisasikan oleh kita yang hanya mengadopsi mentah dan menjadi epigon. Hal pertama yaitu kebudayaan populer yang berkembang di negara tertentu (asing), berlatar belakang persoalan sosial yang belum tentu  sama dengan persoalan lingkungan dimana para pengadopsi tinggal. Selain itu bentuk penyaluran ekspresi sebagai sarana perjuangannya belum tentu sesuai dengan kultur lingkungan kebudayaan disini.  Persoalan kedua, adalah budaya populer yang berkembang sengaja diciptakan oleh kaum kapital untuk kepentingannya sendiri yakni produk komoditi dan kita para pengadopsi tidak sadar kalau telah menjadi konsumen. Atas nama tidak ketinggalan gaya hidup modernitas, yang memang sengaja diciptakan para produsen tersebut, kita telah menjadi  pengikut setia dan bahkan siap membela memperjuangkannya agar dapat diterima khalayak secara meluas.


Karakteristik Budaya Populer

Beberapa analisa mengenai pola atau karakteristik budaya populer sebagai bahan kajian dalam menyikapi terhadap perkembanagan kebudayaan di sekitar kita, antara lain :

-    Relativisme, yaitu hilangnya batasan – batasan. Budaya populer menolak segala perbedaan dan batasan yang mutlak. Misalnya antara budaya klasik dan budaya salon, antara seni dan hiburan, antara budaya tinggi dan budaya rendah, iklan dan hiburan, hal yang bermoral dan yang tidak bermoral, yang bermutu dan tidak bermutu, yang baik dan jahat, batasan antara yang nyata dan semu, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan tersebut tidak lagi memiliki arti yang nyata.

-    Pragmatisme, menerima apa saja yang bermanfaat tanpa memperdulikan sesuai atau tidak hal tersebut dapat diterima dan diimplementasikan. Semua hal diukur dari hasilnya atau manfaatnya, bukan dari sesuai  atau tidaknya. Hal yang terutama adalah hidup hanya untuk saat ini (here and now), tanpa harus memikirkan masa lalu dan masa depan.

-    Hedonisme, lebih banyak berfokus kepada kesenangan dan pemuasannya daripada intelektualitas. Yang harus menjadi tujuan hidup adalah bersenang-senang dan menikmati hidup, sehingga memuaskan segala keinginan. Hal seperti ini menyebabkan munculnya budaya hasrat yang mengikis budaya malu. Untuk mencapai ke tahap kesenangan semuanya harus dikemas dengan konsep hiburan. Informasi dan berita juga harus menghibur, maka muncullah infotainment. Bahkan pengajaran agama pun harus hiburan.

-    Konsumerisme,  yaitu sebuah masyarakat yang senantiasa merasa kurang dan tidak puas secara terus menerus. Masyarakat yang membeli bukan berdasarkan kebutuhan, namun keinginan, bahkan gengsi.  “Aku bergaya maka aku ada.” Maka pada budaya ini, penampilan (packaging) seseorang atau sebuah barang (branding) sangat dipentingkan.

-    Instan, keinginan untuk cepat terlaksana tanpa mempertimbangkan proses-proses ideal yang menyertai. Budaya ini juga dapat dilihat dari semakin banyak orang ingin menjadi kaya dan terkenal secara instan. Buku-buku yang banyak beredar dan diminati adalah yang menawarkan hal-hal serba cepat.

-     Kontemporer, menawarkan nilai-nilai yang bersifat sementara, tidak stabil, yang terus berubah dan berganti (sesuai tuntutan pasar dan arus zaman).

Pudarnya Jati Diri Bangsa

Hegemoni “budaya asing” yang memberikan iming-iming berupa kenikmatan, glamouritas dan bertendensi pada propaganda modernitas sangat kuat mencengkeram masyarakat untuk merelakan dirinya terseret arus. Tak berlebihan kiranya budaya asing yang mendominasi gaya hidup masyarakat kita adalah budaya Amerika. Sebagai negeri yang terkenal dengan kekuatan kapitalismenya, Amerika dapat dikatakan sebagai “penguasa” kebudayaan baru dan digandrungi dengan kemasan budaya populer. “American Style” memang sangat nampak pada  pola hidup masyarakat kita terutama pada anak muda, walaupun sebagian dari masyarakat kita juga terbawa arus dan membanggakan kebudayaan bangsa lain, seperti Cina, Arab atau India. Kebudayaan negara-negara Barat yang menganut paham kapitalisme itu tidak saja mengubah tatanan sosial yang ada, namun mempengaruhi perilaku, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat kita. Kebudayaan ini menumbuhkembangkan konsumerisme dan hedonisme di segala lapisan masyarakat, laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, kebudayaan lokal yang merupakan identitas yang kita miliki dan warisan para leluhur makin memudar, bahkan menghilang. Akibatnya generasi yang terlahir adalah generasi rapuh moralitas, minim nalar dan selalu tergiur dengan keglamouran hidup serta sikap instan.

Sebuah krisis jatidiri bangsa ini akan selalu tumbuh dan berkembang seiring dengan pesatnya arus modernisasi dan globalisasi yang menerjang negeri ini, sehingga faham-faham konsumerisme, pragmatisisme, liberalisme, materialisme, kapitalisme dan hedonisme yang berasal dari dunia barat akan selalu meracuni masyarakat negeri ini. “Keadaan ini disebabkan oleh kenyataan tidak dimaknainya secara benar tentang sistem nilai, wawasan hidup dan sikap yang berlaku di masyarakat selama ini dan tidak dibatinkannya pilar-pilar kebudayaan itu dalam diri setiap anggota masyarakat negeri ini” (Kunjana Rahardi, 2000). ”Ketika terjadi krisis tentang jati diri bangsa, maka masyarakat tidak peduli lagi tentang ideologi bangsanya, karena dianggap tidak berpihak kepadanya dan mencoba mencari-cari ideologi lain termasuk memuja-muja bangsa lain dari berbagai aspek yang mereka pahami dan dengan serta merta lewat caranya sendiri, mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari” (Naya Sujana, 2008).

Memahami budaya populer sebagai hasil konstruksi pemilik modal berarti juga menerima kenyataan diri bahwa sebagai pelaku budaya populer adalah identik dengan sikap pasif yang tak lebih dari sekadar pion-pion yang digerakkan. Proses sosial dimana tingkat kehidupan masyarakat dipengaruhi oleh unsur eksternal akan disertai dengan meninggalkan pola kehidupan yang lama kemudian menyesuaikan diri atau menggunakan pola yang baru.  Realitas kehidupan di masyarakat telah dipenuhi perilaku norak dengan mengusung faham kebebasan, hasil dari hegemoni Amerikanisasi dalam membentuk jati diri budaya populer yang siap meracuni generasi muda negeri ini menjadi generasi yang senang dengan keglamouran hidup semata, tetapi miskin dengan pembelajaran teknologi.

Simpulan dan Penutup

-    Budaya populer merupakan sebuah konsep yang menghasilkan suatu produk yang disebut yang banyak disukai orang. Keberadaan budaya populer sendiri awalnya merupakan wujud perlawanan terhadap kemapanan nilai-nilai budaya tinggi yakni budaya yang dihasilkan oleh kaum-kaum elite. Namun kini budaya populer sudah tidak lagi dianggap sebagai budaya rendahan karena segala lapisan kaum pun telah terpapar oleh produk budaya poluler.

-    Media massa berperan kuat dalam membentuk keragaman budaya baru yang dihasilkan,  yang sangat berpengaruh terhadap sistem nilai, pikir dan tindakan manusia. Berbagai macam gaya hidup telah direkonstruksi sedemikian rupa melalui beragam program acara yang mencerminkan kebohongan publik itu, hingga pada akhirnya dapat menimbulkan suatu kebohongan tersembunyi dan tanpa sadar telah menjadi bagian dari realitas kehidupan yang sebenarnya.

-    Kehidupan materialistik, hedonis, dan konsumtif, berdampak pada konsep martabat manusia telah mengalami pergeseran dari sesuatu yang bersifat inner menjadi sesuatu yang artifisial. Kebudayaan juga mengalami pergeseran sehingga yang menonjol dalam budaya populer adalah karakter instan, dangkal, egosentris, dan market oriented.

-    Budaya populer adalah budaya komersial dampak dari produksi massal (produk industrialisasi) yang dikonstruksikan dengan bantuan media massa, sehingga menciptakan trend dan popularitas.

-    Derasnya arus globalisasi telah mengubah cara masyarakat kita dalam berbudaya. Perlahan tetapi pasti, kebudayaan lokal mulai tergerus oleh kebudayaan luar yang menguasai.
Sebagai penutup, budaya populer yang berkembang di masyarakat kita ada yang memiliki sisi positif atau kebaikan namun tidak sedikit yang menyesatkan atau menjerumuskan. Hal ini dibutuhkan fungsi kontrol dengan pengetahuan tentangnya. Terpaan budaya populer serndiri juga tidak bisa lepas dari pengaruh media massa, maka dari itu kita harus terus melakukan filterisasi terhadap tayangan-tayangan media massa, dengan tujuan produk budaya populer tersebut tidak mengganti atau mengubah kepribadian kita. Suatu penanaman konsep ideologi ke dalam format acara melalui teks-teks media dan makna-makna yang ada di dalamnya serta praktik-praktik budaya telah melahirkan “kesadaran palsu” di dalam persepsi pemirsa. Mengutip pernyataan seorang ahli, bahwa “... sebagai bentuk keberhasilan konspirasi antara kapitalisme dengan budaya populer dalam memanipulasi kesadaran masyarakat dengan kesadaran semu,  kebudayaan industri merupakan satu bentuk dehumansasi lewat kebudayaan” (Graeme Burton, 2008).

Mari bertanya pada diri masing-masing, : masih ingin jadi agen budaya industri yang mengatasnamakan budaya populer? Selamat, anda jadi korban proses pembodohan.

Disusun oleh :  Lek MIKO
 

Mitos Masin : Legenda Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku

MITOS MASIN ; Legenda Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku
( Dilema antara Implementasi Etika dan Kodrati Erotika )
Oleh : Miko Thor

Ilustrasi Mitos

Sunan Muria ( Umar Said ) adalah salah satu tokoh terkenal sebagai penyebar agama Islam di Jawa dan salah satu anggota Wali Songo. Dalam menyebarkan ajaran agama, Sunan Muria mendirikan padepokan (pesantren) yang mengambil markas di salah satu pegunungan Muria (Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus – saat ini --) sekaligus tempat tinggalnya. Sebagai tokoh yang cukup memiliki pengetahuan terhadap ajaran-ajaran agama (Islam), Sunan Muria memiliki banyak murid yang datang berguru dari segala penjuru. Salah satu dari sekian banyak muridnya terdapat nama Rinangku (Raden Bagus Rinangku), seorang murid yang memiliki kepandaian di pesantren tersebut. Ketampanan dan kepandaian Rinangku menjadi daya tarik tersendiri yang membuat seorang putri Sunan Muria bernama Nawangsih (Raden Ayu Dewi Nawangsih) jatuh hati dan mendapat sambutan dari Rinangku. Keduanya menjadi sejoli yang sedang jatuh cinta. Mengetahui gelagat ini, Sunan Muria mulai khawatir dengan hal-hal yang tidak diinginkannya. Namun untuk melarang begitu saja hubungan kedua insan, hanya akan menurunkan kewibawaan Sunan Muria yang terkenal dengan seorang yang alim dan bijaksana. Maka dicarilah cara agar dapat menjauhkan hubungan tersebut dengan cara-cara yang lebih dapat diterima masyarakat. Kebetulan musim tanam padi telah berlangsung dan tanaman menjelang panen. Areal persawahan milik pesantren Sunan Muria sangat luas dan menjangkau sampai ke desa yang lain yakni Dusun Masin (Desa Kandangmas Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus –saat ini--). Persawahan di dusun Masin juga bersiap untuk panen. Dari kondisi ini, Sunan Muria memiliki ide untuk dapat menjauhkan hubungan asmara putrinya dengan Rinangku yang semakin hari semakin terlihat sangat dekat. Dikirimlah Rinangku ke dusun Masin mengemban tugas menjaga tanaman padi di persawahan agar tidak diserang hama atau burung-burung pemakan padi sehingga diharapkan hasil panen akan melimpah. Jarak antara desa Colo dan Masin cukup jauh dan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Berangkatlah Rinangku ke dusun Masin untuk menjalankan tugas yang diembankan oleh gurunya, yang artinya dia harus berpisah dengan pujaan hatinya dalam jangka waktu yang tidak ditentukan karena Rinangku harus bertempat tinggal di dusun Masin. Dari hari ke hari, Dewi Nawangsih yang dilanda mabuk cinta pada kekasihnya (Rinangku) tidak kuasa menahan rindu yang kian hari semakin dirasakan menyesakkan dada. Dengan kenekatannya, Dewi Nawangsih kabur dari tempat tinggalnya berniat menyusul pujaan hatinya.

Kepergian Nawangsih dari rumah selama berhari-hari yang belum juga pulang, membuat ayahnya (Sunan Muria) menjadi murka. Sunan Muria curiga kepergian Nawangsih untuk menemui Rinangku yang memang dicintai putinya. Diutuslah beberapa santri (murid pesantren) ke dusun Masin untuk menyelidiki apakah Nawangsih benar-benar ada disana. Dugaan Sunan Muria sangat benar, beberapa murid yang mendatangi lokasi persawahan menjumpai kedua insan yang sedang mabuk kepayang sedang bermesraan melepas kerinduan di gubug (rumah-rumahan kecil tempat menjaga tanaman padi), hingga tidak menghiraukan burung-burung  memakan buah padi. Salah seorang dari murid utusan tersebut balik ke pesantren untuk melaporkan kejadian yang telah dilihatnya. Beberapa murid tetap tinggal dan menegur Rinangku. Terjadilah dialog :

“ Hei.. Rinangku… apa yang telah kau lakukan saat ini sungguh tidak pantas dan menodai ajaran-ajaran luhur yang telah disampaikan guru di pesantren”.

Rinangku membalas : “ Apa kesalahanku hingga kau berkata seperti itu? Aku sudah patuh pada tugas guruku untuk menjaga sawah ini walaupun hatiku sangat berat menjalani, tetapi tetap saja aku lakukan, bukankah ini menunjukkan kepatuhanku pada guru?”
Seorang murid kembali berkata : “Inikah yang kau katakan menjaga sawah? Lihatlah burung-burung itu pesta pora melahap tanaman padi milik kita, tapi kau tidak berusaha menghalaunya, tetapi kau malah asyik bermesraan dengan Nawangsih putri guru. Saya yakin guru akan murka jika mengetahui perbuatanmu ini”.

Rinangku kembali menjawab : “ Aku masih belum tahu apa kesalahanku. Aku disuruh menjaga sawah ini dan telah aku jaga siang malam walaupun tidur diatas gubug ini. Bukankah aku disuruh menjaga sawah? Bukan menjaga burung-burung? Jika memang burung-burung itu memakan padi, bukankah memang sudah memakannya? Apakah aku harus melarang burung-burung cari makan? Bagaimana jika nanti burung-burung itu kelaparan? Apakah aku tidak berdosa menjadi penyebab burung-burung itu kelaparan?” Rinangku masih menimpali, “ Mengenai persoalan cintaku dengan Nawangsih, apa hak kalian melarangku? Kami sudah dewasa dan mengerti bagaimana perasaanku. Mengapa kami harus dipisahkan? Kalian lihat sendiri bagaimana kekuatan cinta yang kami miliki, tak bisa dipisahkan dengan cara apapun. Kalian ikut mengurusi hubungan cinta kami, jangan-jangan kalian iri atau cemburu”.

Seketika merah padam muka para murid mendengar kata-kata Rinangku. Saking menahan marahnya mereka hanya diam dengan hati dongkol. Mau balik ke pesantren tetapi tugas yang diberikan gurunya belum mencapi hasil, mau tetap disitu tetapi hatinya marah. Maka beberapa murid masih tetap diam di lokasi sambil menunggu reaksi dari gurunya yaitu Sunan Muria.

Sementara itu, salah satu murid yang bertugas menyampaikan laporan telah sampai ke pesantren. Murid itu segera menceritakan apa adanya sesuai yang dilihat. Sunan Muria sangat murka mendengar penuturan muridnya perihal kelakuan salah seorang muridnya yaitu Rinangku dan juga putrinya yaitu Nawangsih. Bergegas, Sunan Muria bersama salah seorang murid yang tadi, menuju lokasi persawahan Masin  untuk melihat sendiri apa yang telah terjadi pada murid dan putrinya. Membawa senjata panah untuk mengantisipasi kemungkinan yang terjadi di perjalanan, Sunan Muria dengan muka bergetar menahan marah, sampai ke lokasi yang ditunjukkan salah satu muridnya. Benar saja, kini matanya melihat sendiri apa yang telah terjadi dihadapannya. Rinangku dan Dewi Nawangsih sedang asyik memadu kasih di atas gubug melepaskan semua hasrat kerinduan yang selama ini dipendam. Sedangkan di areal lain murid-muridnya diam mematung tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan murka yang tak bisa dibendung lagi, dihunuslah satu anak panah diletakkan di busur siap dibidikkan ke sasaran. Dua insan yang sedang bergelora asmara tak menyadari apa yang tengah terjadi pada dirinya. Hanya teriakan kaget bercampur kesakitan tatkala mereka menyadari sebuah benda tajam menembus badannya. Dua tubuh yang sedang berpelukan itupun tak kuasa menahan laju anak panah yang menembus dada mereka berdua. Mereka kini jatuh terkulai dengan badan masih menempel karena tertembus anak panah. Mereka mengerang kesakitan menunggu ajal, dan teriakan kutukan-kutukan pun terjadi. Dikarenakan sudah tak kuasa lagi menahan amarah, Sunan Muria terlambat menyadari bahwa apa yang dilakukan baru saja telah menghabisi nyawa salah satu putrinya. Ia segera berlari menuju kedua jasad untuk memberikan pertolongan. Murid-muridnya yang berada disitu dipanggil agar turut membantu memberikan pertolongan. Namun justru yang didapati adalah situasi dimana para murid tersebut diam terpaku tak bisa berbut apa-apa karena shock mengalami peristiwa yang tak pernah dilihatnya seumur hidup. Sunan Muria menjadi marah lagi dan mngutuk para muridnya.

“ Melihat situasi ini, ternyata kalian hanya diam membisu saja, tak berbuat apa-apa. Dasar kalian. Kalian tak ubahnya seperti pohon-pohon di sekitar sini yang tak bergerak apa-apa melainkan hanya diam membisu..!”. Seketika para murid itupun berubah bentuk menjadi pohon-pohon yang mengelilingi areal tersebut. Dengan dibantu beberapa penduduk yang akhirnya datang mendengar kehebohan yang terjadi, maka jasad kedua manusia yang tertusuk anak panah, dimakamkan diarea tersebut hanya satu liang makam dengan posisi masih berpelukan.
(Sumber : legenda  yang beredar di masyarakat).

Fenomena Ritus

Malam Jum’at Wage, adalah hari keramat bagi orang-orang tertentu yang meyakini adanya berkah yang datang, yang berasal dari legenda Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku. Di hari (atau malam) tersebut, makam Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku yang terletak di kawasan Dusun Masin Desa Kandangmas Kecamatan Dawe Kudus dibanjiri pengunjung (peziarah) yang bermaksud akan mendapatkan kekuatan lebih terhadap segala usahanya selama ini agar berhasil, dengan melakukan ziarah (ritualisasi) di makam tersebut. Ratusan orang bahkan pernah mencapai ribuan pengunjung mendatangi makam secara perorangan maupun rombongan dengan berbagai harapan mendapatkan keberhasilan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Istilah bagi masyarakat setempat dinamakan ngalap berkah. Kebanyakan yang melatarbelakangi harapan keberhasilan ini adalah demi kesuksesan usaha (wiraswasta, bisnis) dan sebagian kecil berupa kenaikan pangkat (bagi pegawai) serta kepentingan lain yang akhirnya turut menyertai. Mengacu pada penafsiran mitologi yang beredar dan populer di kalangan masyarakatnya, maka bentuk upacara ritualnya pun tergolong unik. Yakni, setelah melakukan penziarahan (memanjatkan doa yang dipimpin juru kunci makam), maka para pengunjung melanjutkan upacara ritual inti dengan melakukan hubungan intim (hubungan seksual) di sekitar areal makam tersebut dengan penziarah lain lawan jenis. Ritual sex inipun memiliki syarat-syarat tertentu, antara lain : pelaku ritual sex (laki-laki – perempuan) belum saling mengenal satu sama lain sebelumnya, hanya dilakukan satu kali saja oleh satu pasangan (yaitu di malam itu), keberhasilan yang diharapkan hanya dimiliki oleh satu orang saja dari setiap pasangan (bisa pihak laki-laki saja atau pihak perempuan saja), dan mengikat sebuah perjanjian yakni siapa dari pasangan tersebut yang menerima kesuksesan maka akan memberikan kontribusinya (bantuan materi) kepada pasangannya. Perjanijian ini bersifat mengikat (secara sugesti) secara periodik, dan memiliki sanksi (sugestif pula) bahwa yang melanggar perjanjian maka seluruh harta yang diperolehnya akan cepat habis dan kembali jatuh miskin.

Dari waktu ke waktu situs makam Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku semakin ramai dikunjungi orang. Pengunjung datang dari berbagai kota terutama sekitar Kudus, seperti Jepara, Demak, Pati dan Grobogan. Pada hari-hari biasa (diluar malam Jum’at Wage) juga sering ditemui orang-orang yang melakukan ziarah walaupun tidak banyak. Namun peziarah di hari-hari biasa tidak melakukan ritual sex. Hanya di malam yang telah ditentukan yakni malam Jum’at Wage ritual sex diperbolehkan.
‘Kekeramatan’ makam Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku sangat diyakini oleh penduduk setempat ( dusun Masin). Hal ini terlihat pada disetiap acara yang diselenggarakan (hajat penduduk) seperti kelahiran, khitanan, perkawinan atau hari-hari yang dianggap memiliki momen khusus penduduk setempat memberikan persembahan berupa makanan di makam tersebut. Jenis makanan yang dipersembahkan biasanya berupa ingkung (ayam secara utuh yang telah dimasak) dan diberikan kepada juru kunci  untuk dipanjatkan doa. Disamping itu, makam Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku juga menyisakan kekeramatan lain berdasar mitologi, yakni larangan menebang pohon yang berdiri di lokasi makam apapun kepentingannya, yang barangsiapa berani melanggarnya akan menerima kutukan bencana. Larangan ini sangat dipatuhi oleh penduduk setempat hingga saat ini.

Problematika dan Dilema

Keyakinan masyarakat terhadap makam Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku yang dianggap memiliki kekeramatan tersendiri menimbulkan lokasi makam ini banyak dikunjungi orang. Pada hari-hari biasa dan boomingnya pada malam Jum’at Wage dimana puluhan  dan bahkan pernah mencapai angka ratusan pengunjung memberikan dampak yang dianggap positif maupun pengaruh yang lain berupa pergeseran-pergeseran makna. Dampak ekonomi kerakyatan misalnya, terdapat pada kesempatan bagi para penduduk setempat untuk membuka warung-warung yang menyedikan makanan dan minuman, atau membuka lahan parkir kendaraan (penitipan motor atau mobil) bagi kebutuhan para pengunjung yang datang. Dari sektor ini, membuka peluang usaha bagi masyarakat (setempat) yang tentunya memberikan keuntungan secara ekonomi. Bagi pemerintah desa setempat uang kas yang terkumpul (retribusi) dari para pengunjung memberikan kontribusi yang lumayan bagi pendapatan desa.
Keragaman kepentingan dari banyaknya pengunjung mulai dari yang memang benar-benar melakukan ritual, sekedar melihat, iseng dan lain-lain membawa pengaruh yang lain pula bagi perkembangan eksistensi makam ini. Keramaian yang tercipta dengan berbagai motivasi inilah yang kemudian juga turut dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu demi kepentingannya sendiri, yaitu munculnya kelompok pekerja seks komersial. Mula-mula para penjaja tubuh ini berkedok sebagai pengunjung biasa dalam menggaet mangsanya. Namun, lama – kelamaan aksi ini menjadi semakin terang-terangan atau vulgar dan bahkan menjadi sulit dibedakan mana yang pengunjung ritual dan mana yang penjaja seks komersial. Salah satu persoalan inilah yang kemudian menimbulkan distorsi bagi citra ritualisasi di makam Dewi Nawangsih – Bagus Rinangku.

Proses perkembangan pemikiran manusia (masyarakat) melalui pendidikan, ekonomi, maupun kesadaran agama, yang cenderung bersifat pragmatis, tekstual dan terukur menjadikan posisi dilematis bagi masyarakat dalam menghadapi persoalan-persoalan yang bersifat kebudayaan. Pada realitas tertentu, fenomena yang terjadi pada sebuah tradisi walaupun berisi ritus sex misalnya, tentunya memuat kandungan nilai-nilai local wisdom (kearifan lokal) yang mestinya dapat ditelusuri sebagai bahan pemikiran, perenungan dan aplikasinya pada pola-pola tindakan. Sedangkan pada realitas yang berlawanan masyarakat dihadapkan pada norma, aturan dan hukum (moral maupun positif) yang darinya memberikan kekuatan ‘memaksa’ bagi masyarakat untuk mematuhinya. Posisi dilematis  akan menjadi persoalan tersendiri manakala masyarakat dihadapkan pada konsekuensi memilih, dimana masyarakat itu sendiri memiliki keyakinan kedua realitas tersebut sama-sama dibutuhkan demi kelangsungan dan keteraturannya. Masyarakat haya disodori pada sebuah pilihan tanpa upaya-upaya pencarian solusi. Pilihan hanya menghasilkan konsuekensi realitas yang satu akan menghapus atau menghilangkan realitas yang lainnya.

Kearifan lokal barangkali perlu dibangkitkan kembali untuk mengurai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan dilematika masyarakat terutama yang berhadapan dengan nilai tradisi dan nilai moralitas. Putus asa dan harapan, moral dan tindakan, erotika dan etika adalah proses alamiah yang selalu dijalani setiap manusia. Ironisme senantiasa hadir di depan mata : semangat menjalani kehidupan pluralitas senantiasa dikobarkan, pada saat yang sama pemaksaan terhadap satu keyakinan juga ditanamkan.

Etika dan Erotika

Etika yang berarti "timbul dari kebiasaan" (Yunani Kuno: "ethikos") adalah sesuatu dimana dan bagaimana mempelajari nilai atau kualitas mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti : baik, buruk, dan tanggung jawab.
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain. Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.

Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Dengan kata lain, etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.

Sedangkan erotika atau erotisme dihubungkan dengan tindakan atau ekspresi yang dimunculkan oleh tubuh sedemikian rupa yang dapat menggugah hasrat birahi atau seksualitas. Walaupun kesan dangkal selalu tak terhindarkan, namun erotika bisa menjadi media untuk menghidupkan perasaan, untuk mengekspresikan dan menyatakan dirinya. Kemarahan pada nasib, protes terhadap ketidakadilan hidup, dan ironisme kenyataan.

Kekayaan tradisi yang dimiliki bangsa telah menunjukkan bagaimana raga dirayakan tanpa meninggalkan ruh, atau sensualitas diekspresikan tanpa menghilangkan kesakralan.  Di setiap masa dan di tiap tempat, raga dan erotika akan terus dirayakan dan punya ruangnya sendiri untuk tampil. Perayaan itu adalah bagian yang sah dan alamiah dari ekspresi manusia, dan dengan jalan seperti itu hidup dianggap menemukan detaknya kembali. Tetapi yang menyedihkan, adalah senantiasa ada orang-orang yang cemas dan jijik dengan semua itu. Mereka menolak kodratnya sendiri, dan kemudian dengan membabi buta bernafsu memberangus ekspresi-ekspresi erotika tersebut.
Memahami perilaku sosial, tidak bisa dengan menggunakan paradigma hukum saja, baik itu hukum moral (agama) atau hukum positif (negara). Hal itu hanya akan menimbulkan benturan dengan nilai-nilai sosial masyarakat yang notabene memiliki sistem sendiri. Menghadapi persoalan seperti dimaksud yang perlu dilakukan adalah memahami apa yang ada di balik peristiwa tersebut.
Dalam masyarakat Jawa terdapat kepercayaan tentang adanya suatu kekuatan yang melebihi, sebagai misal : kesaktian, arwah atau roh leluhur dan makhluk-makhluk halus. Dalam kerangka inilah ritus dikonstruksi, dijalankan dan direproduksi melalui modifikasi-modifikasi. Keberadaan ritus secara keseluruhan telah menunjukkan makna itu sendiri, baik secara keberadaannya langsung maupun makna-makna yang bersifat simbolik. Makna hanya dapat ‘disimpan’ di dalam symbol yang mengacu pada ‘sesuatu yang lain (yang melampaui)’. Dari hal inilah, ritus dapat menambah kenyamanan sekaligus merefleksikan solidaritas sosial dimana sendi-sendi kesadaran kolektif dijadikan kekuatan.
Masyarakat (terutama Jawa) memiliki suatu kecenderungan untuk menilai kebenran tidak secara hitam putih serta tidak menilainya dengan klaim bahwa kebenaran hanya ada dalam satu kepercayaan saja.

Tatkala modernitas mengantarkan pada kebutuhan pragmatis, maka dibutuhkan upaya perenungan dan penghayatan terhadap nilai-nilai tradisi yang kaya makna – makna keselarasan. Keselarasan dapat dimaknai sebagai kemampuan manusia untuk mengatur keseimbangan emosi dan menata perilaku yang tidak menimbulkan keguncangan. Perilaku ini termanifestasikan dalam sikap hidup, yaitu : saling menjaga diri, menjaga cipta, rasa, karsa dan tindakan. Nilai-nilai ini dapat menjadi acuan agar masyarakat senantiasa anggun dalam melantunkan kidung hidupnya walaupun terjadi ritme-ritme yang riuh dan gaduh. ----Tinggal bagaimana menjiwainya----

Senin, 25 November 2013

KEBUDAYAAN : MANUSIA DAN KEBUTUHANNYA

Pendahuluan

Istilah Budaya hanya dapat berlaku atau diberlakukan dalam kehidupan manusia. Sebagai makhluk yang memiliki akal pikiran, maka manusia secara individu memiliki kemampuan untuk mengembangkan pemikiran sekaligus upaya untuk mewujudkannya yang dari waktu ke waktu berkembang sesuai dengan tingkat kebutuhannya. Sebagai makhluk yang berkelompok (sosial), manusia senantiasa memikirkan dan mengupayakan bagaimana sedapat mungkin mewujudkan kelompoknya (masyarakat) berjalan teratur, serasi yang akhirnya dapat dinikmati bersama-sama. Maka lewat proses kebudayaan, lahirlah apa yang pada akhirnya disebut sebagai bahasa, mata pencaharian, norma/hukum, kesenian, upacara adat, ilmu pengetahuan dan lain sebagainya yang berkembang dari masa ke masa menyesuaikan tingkat kebutuhan masyarakat itu sendiri. Hal ini yang membedakan antara manusia dengan makhluk hidup lain, (binatang sebagai misal) yang dalam mewujudkan kebutuhannya bersifat stagnan dan naluriah saja. Jadi dapat dikatakan, faktor dasar yang menjadi nilai pembeda antara manusia dengan makhluk hidup lainnya terdapat pada kebudayaannya.
Pengertian mengenai  kebudayaan (culture) sangatlah kompleks, masing-masing ahli merumuskan dengan kalimat yang berbeda walaupun menuju ke pengertian umum yang sama, yaitu sebagai pengembangan akal budi manusia. Dalam istilah Inggris, ‘budaya’ dibahasakan sebagai “Culture” dengan mengambil istilah Latin “Colere” yang berarti : bercocok tanam. Untuk konteks Indonesia,  “Budaya” berasal dari bahasa Sanskerta yaitu, buddhaya  yang merupakan bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Sehingga dalam kegiatan tertentu, budaya identik dengan pengistilahan budi daya.  Secara umum, Budaya dapat diartikan sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Dalam perkembangannya, definisi budaya dapat diartikan sebagai pandangan hidup tertentu dari masyarakat, periode, atau kelompok tertentu.

Beberapa hal yang tumbuh dari perjalanan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, melahirkan dorongan - dorongan yang memunculkan terjadinya kebudayaan. Faktor – faktor yang menimbulkan terjadinya kebudayaan, diantaranya :

1.    Manusia dan Cinta Kasih

Di dalam hidupnya, manusia selalu menggantungkan diri dengan sesamanya. Dari sikap saling ketergantungan inilah, timbul rasa saling membantu sebagai perwujudan dorongan rasa “cinta kasih” terhadap satu sama lain. Definisi ‘cinta kasih’ secara harfiah sebagai kebutuhan manusia memang sulit diartikan. Namun secara sederhana ‘cinta kasih’ dapat diterjemahkan sebagai kebutuhan tingkat dasar untuk mewujudkan bentuk kepuasan, ketentraman dan perkembangan bagi diri sendiri maupun sesama. Manusia dengan kesadarannya, memahami bahwa mustahil dapat hidup sendiri. Dari tingkat ini, maka terjadilah jaringan komunikasi yang bersifat dialogis untuk melakukan sesuatu demi mewujudkan cita-cita bersama. Terjadilah kelompok-kelompok manusia yang hidup saling bantu membantu dalam menyediakan kebutuhannya, seperti : penyediaan makanan (berburu, meramu dan bercocok tanam) serta penyediaan tempat tinggal yang dilaksanakan secara bersama. Demikian pula, karena dorongan “cinta kasih” ini pula, antara satu manusia dan manusia lain, memunculkan sifat dan sikap saling memberi, saling memperhatikan dan saling menjaga.



2.    Manusia dan Keindahan

Pemahaman manusia terhadap kenyataan alam semesta yang indah, memunculkan rasa untuk mewujudkan atau mencipta bentuk keindahan dalam ruang yang lain. Proses perwujudan keindahan ini, dilakukan dengan jalan kontemplasi dan cara-cara penghayatan yang dimiliki. ‘Kontemplasi’ adalah suatu proses perenungan mendalam atau berfikir penuh untuk mencari nilai-nilai, makna, manfaat dan tujuan suatu hasil penciptaan. Pengertian tersebut bersumber pada berbagai kenyataan dalam kehidupan sehari-hari yang hakikatnya selalu menghendaki perubahan. Manusia memahami kebutuhan keindahan ini tidak hanya semata – mata bagi dirinya sendiri, namun juga diperuntukkan bagi ‘kekuatan lain’ diluar dirinya. Agar terdapat keselarasan antara ‘alam’ sebagai penyedia bahan kebutuhan dengan manusia yang memanfaatkannya, maka ‘alam’ juga dipandang layak untuk diberikan persembahan akan hal-hal yang bersifat keindahan sebagai rasa timbal balik. Dalam tindakannya, berwujud pada hasil karya atau cipta seni yang diperolehnya melalui persepsi terhadap fenomena kebudayaan. Hasil karya atau cipta seni tersebut berkembang menjadi cabang – cabang kesenian sesuai dengan bentuk yang diciptakan dan media yang dipergunakan.

3.    Manusia dan Pandangan Hidup

Dalam menjalani kehidupannya, ternyata manusia mengalami beberapa persoalan seperti : Kegelisahan, Penderitaan, Keadilan dan Harapan. Pada permasalahan seperti ini, manusia memiliki keinginan-keinginan sebagai pembebasan persoalan yang dianggapnya sebagai penghambat dan menumbuhkan cita-cita tertentu sebagai bentuk harapan akan munculnya kebahagiaan. Dalam menghadapi masalah, hambatan, tantangan dan gangguan tersebut, manusia membutuhkan suatu pelindung. Sedangkan cita – cita atau harapan kepada kebaikan, ketentraman dan kebahagiaan disadari tidak datang begitu saja melainkan harus ada upaya pelaksanaannya baik secara pribadi maupun bersama pihak lain. Prinsip – prinsip tersebut pada akhirnya disebut sebagai ‘pandangan hidup’. Bagaimana memperlakukan pandangan hidup bergantung pada masing-masing manusia yang bersangkutan. Pandangan hidup yang muncul dan tujuan yang bervariasi ini karena pada dasarnya manusia memiliki banyak hal yang berkaitan dengan dirinya. Ada yang memperlakukan pandangan hidup sebagai sarana mencapai tujuan, dan ada yang menggunakannya sebagai penimbul ketentraman, kesejahteraan maupun kebahagiaan. Pada implementasinya, muncul kebudayaan yang berkembang menjadi : - keyakinan (agama), yaitu pandangan hidup yang dianggap mutlak kebenarannya, - ideology, yaitu pandangan hidup yang disesuaikan dengan norma setempat (wilayah, negara), dan – renungan, yaitu pandangan hidup yang relatif kebenarannya.

4.    Manusia dan Tanggungjawab

Sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial dimana setiap perbuatan yang dilakukan memiliki hubungan dengan pihak lain, maka konsekuensi yang dihadapi manusia adalah hak dan kewajiban. Agar tercapai keselarasan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban, maka diperlukan sikap untuk senantiasa menjaga komitmen yang telah dibuat melalui bentuk yang disebut “tanggung jawab”. Tanggung jawab muncul karena konsekuensi adanya komitmen yang disepakati sebelumnya dan wewenang yang telah diatur bersama. Secara pengertian umum, ‘tanggungjawab’ adalah “kewajiban dalam melakukan tugas tertentu”. Atau “sesuatu yang menjadi keharusan untuk dilaksanakan dan dibalas secara timbal balik”. Dalam perkembangan kebudayaan manusia sesuai dengan eksistensinya, maka bentuk tanggung jawab terkategori menjadi : - tanggung jawab terhadap diri sendiri, - tanggung jawab terhadap keluarga, - tanggung jawab terhadap masyarakat, dan - tanggung jawab terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Agar dalam bertindak, manusia senantiasa berada dalam koridor tanggung jawab, maka diperlukan sistem kontrol sebagai bentuk kesepakatan untuk dipatuhi bersama berupa : norma – norma etika maupun produk-produk hukum.


Penutup

Dapat disimpulkan secara umum, kebudayaan adalah hasil cipta, rasa dan karsa yang berasal dari, oleh dan untuk manusia beserta lingkungannya demi tujuan positif yang dapat dirasakan bersama. Sesuatu yang bersifat positif adalah sesuatu yang bersifat membangun. Maka berkebudayaan adalah upaya melakukan pembangunan baik secara fisik maupun mental atau jasmani dan rohani. Kebudayaan tidak lain adalah usaha dasar manusia untuk menciptakan kondisi hidup yang lebih baik. Kebudayaan membawa perubahan dalam diri manusia, masyarakat dan lingkungan hidupnya dan secara serentak terjadi pula dinamika masyarakat dengan segala perubahan ataupun pergeseran sistem nilai budaya. Maka sebagai manusia yang berbudaya, maka sudah semestinya mampu menjaring mana yang lebih positif untuk pembangunan fisik dan mental masyarakat dan mana yang tidak sesuai untuk diterapkan. Budaya memiliki satu makna dengan adab. Oleh karena itu, manusia dianggap berkebudayaan jika olah cipta, rasa dan karsanya menuju pada hal-hal yang beradab bukan pada hal yang sebaliknya. Pada konteks inilah, manusia memiliki ‘nilai pembeda’ dengan makhluk yang lain.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | ewa network review