Sabtu, 30 November 2013

SASTRO NINGRAT -an

SASTRO NINGRAT -an
(baca : Sastra ning Ratan ; Sastra Jalanan )

Jalanan selalu diidentikkan dengan ruang kebebasan atau mimbar yang mewakili segala aspirasi yang tak tertampung oleh ‘gedung-gedung kekuasaan’ yang dianggap sebagai ruang formal, priyayi, angkuh, normatif dan sebutan ‘kaku’ lainnya . Para mahasiswa dan aktivis lainnya yang selalu mengklaim menyalurkan aspirasi masyarakat lewat demonstrasi di jalanan seringkali disebut sebagai parlemen jalanan. Para remaja yang selalu menghabiskan aktifitasnya di pinggir-pinggir jalan dan traffic light kota, dinamakan sebagai anak jalanan. Demikian pula, para manusia menyalurkan hobi (atau bakat?) keseniannya di jalanan, entah dengan cara mengamen (cari nafkah) atau sekedar menarik perhatian dengan ‘unjuk kebolehan’ memamerkan tarian meniru orang-orang ‘bule’, kerap diberi julukan sebagai seniman jalanan. Mereka sangat bangga disebut sebagai komunitas jalanan karena dengan begitu secara tidak langsung mereka dianggap sebagai orang yang dekat dengan masyarakat kebanyakan (jelata). Atau dengan kata lain dianggap sebagai humanis.

Di ranah kesenian,- lagi-lagi- istilah street art atau seni jalanan kembali menjadi trend dikarenakan kepentingan legitimasi atau status sosial sebagaimana alasan-alasan yang telah disebutkan tadi. Setelah pada periode 1980-an, dimana jalanan diguncang oleh kehadiran breakdance yang menggunakan jalanan sebagai panggung ekspresinya, dan efektif sebagai ruang pemberontakan ‘rakyat terpinggirkan’ terhadap arogansi kemapanan ( di Amerika Serikat, tentunya….), maka seni jalanan atau diistilahkan agar terdengar keren sebagai street art, kembali di’hidup’kan lagi. Istilah street art (adopsi bahasa asing) yang digunakan sebagai penyebutan, sudah jelas sekali menunjukkan pada pelakunya agar dianggap keren, dan mudah ditebak para pelakunya secara langsung menunjukkan identitasnya sebagai ‘agar dianggap’ sebagai bagian dari masyarakat kebanyakan, walaupun dalam kesehariannya nyatanya krisis hubungan sosial.

Membicarakan atau jika diperkenankan sebagai urun rembug, secara kontekstual  street art atau seni jalanan ternyata telah berlangsung sekian lama di sekitar kita dan dilakukan oleh sebagian masyarakat yang di’cap’ sebagai masyarakat “pinggiran”, yakni para sopir truk. Mereka, para sopir truk itu, mengungkapkan ekspresinya sedemikian rupa melalui tulisan atau gambar-gambar dengan media bak truk, kaca depan dan komponen lain dari kelengkapan kendaraannya yang dibawa dalam mencari nafkah. Dewi Lestari ( Dee ) dalam pengantar novelnya yang berjudul Supernova ; Ksatria, Puteri, Bintang Jatuh,  pun ikut-ikutan menyoroti fenomena ini dengan memberikan sebutan sebagai “sastra bak truk”. Di setiap jalanan yang dilalui truk-truk bermuatan berat itu, kita akan mendapati tulisan-tulisan kreatifitas mereka yang terkadang membuat tersenyum geli bagi mereka yang membacanya, apalagi jika diberi ilustrasi gambar-gambar seperti gadis sexy, perempuan berkerudung, bocah lucu sampai gambar tokoh-tokoh dunia. Seni jalanan ini sebenarnya telah berlangsung bertahun-tahun lamanya dan tetap konsisten seiring dengan perkembangan jaman. Namun, sebagian masyarakat dengan arogansinya tak pernah ‘menganggap’ keberadaannya dengan berbagai alasan sebagai kampungan, norak, dan penilaian lainnya yang intinya memposisikan ‘karya-karya’ tersebut sebagai karya yang tak memiliki selera seni.

Mari kita tengok kembali karya-karya yang diekspresikan para ‘awak truk’ tersebut. Dimulai dari doa sederhana karena jauh dari keluarga lewat tulisan : “Doamu menyertaiku”, “Doakan ayah pulang”, “Utamakan Sholawat”, “ Ma…kapan Papa pulang..”, “Adidas : Ayah dan Ibu Doakan Aku Selamat”.
Ungkapan cinta seperti anak remaja juga turut menyertai untuk diekspresikan. Bagi yang sedang jatuh cinta, cukup menuliskan nama gadis idamannya di kaca depan, “ Lestari, Gadis Pantura”, “Sri… tunggu aku bali..” (Sri…tunggu aku kembali). Bahkan untuk memberi peringatan pada pacarnya, diberi perbandingan “ Cintamu tak seberat Muatanku..”.  Kesetiaan terhadap gadis pujaan yang tidak memilihnya tertuang dalam kalimat klasik “Kutunggu Jandamu..”. Kejujuran menilai terhadap gadis pilihannya akibat mungkin terburu-buru meminang diungkapkan melalui kata-kata “Ayu Ibune” (Cantik Ibunya) atau “Ayu Adine” (Cantik Adiknya). Persaingan memperebutkan ‘cinta’ namun menyadari kekurangannya disampaikan dengan ucapan “ Cinta Ditolak Dukun Bertindak”, “Kalah Rupo Menang Dupo” (kalah di tampang, berharap menang di kemenyan-magis-). Jauh dari sang kekasih namun tak mampu membendung rindu, dinyatakan dalam “Cintaku Seluas Parkiran”, demikian pula jauh dari kekasih atau istri karena pekerjaan yang menyita waktu dinyatakan dalam “Tak Sempat Bercinta”. Angka-angka matematika tak luput pula diothak-athik agar terbaca seperti kata-kata, semisal “ Janda 1/3 dis” (Janda Seperti Gadis), “ber 217 an” (Berdua Satu Tujuan), sampai ke ungkapan kejenuhan “ca 150 yang” (Capek Goyang).

Ada pula yang memotivasi diri maupun temannya dengan menuliskan pernyataan adopsi dari judul lagu perjuangan “Maju Tak Gentar”, atau adopsi dari istilah ponsel “Pesan Terkirim”.  Kalimat tanggung jawab terhadap pekerjaan tertuang dalam “Pulang Malu, Tak Pulang Rindu” atau “Pergi bawa Tugas, Pulang bawa Beras”.  Bentuk perenungan dapat ditemui dalam kata-kata “Hidupku diatas Roda”, atau “Ora ngoyo… Donya tan keno kiniro…” (tidak terburu nafsu tergesa-gesa, rejeki tak dapat ditebak datangnya). Peringatan terhadap pengguna jalan lain, cukup kreatif dituangkan dalam kalimat plesetan “Tut Mburi Mbebayani…” (mengekor dari belakang sangat membahayakan). Termasuk pula yang layak untuk tidak diabaikan yaitu pernyataan protes terhadap majikan dengan kalimat yang sepertinya memakai bahasa Inggris namun minta dibaca sesuai pelafalan bahasa sendiri, yaitu “ Is One My Do” (baca : Isone Maido – bisanya cuma menyalahkan).

Untaian kata – kata tersebut, hilir mudik bersliweran setiap harinya dibawa truk-truk pengangkut barang diatas jalan raya yang menghubungkan antar kota, antar propinsi bahkan antar pulau di negeri ini. Benar-benar di jalanan secara harfiah. It’s the real street.  Bukan diatas panggung ruang hiburan tetapi diumumkan sebagai street art sebagaimana tarian hip-hop yang lagi digandrungi remaja kita saat ini. Bukan pula berada di ruang perlombaan atau kontes pertunjukan yang pura-pura berada di jalanan dengan cara men-setting pelataran parkir seakan-akan sebuah jalan. Bukan pula seperti yang dilakukan sekelompok remaja yang suka mencoret-coret tembok milik orang lain dengan kata-kata yang tak jelas, atau seperti yang dilakukan para pelajar yang katanya dididik menjadi manusia beradab dan dididik oleh pendidik yang katanya beradab pula, namun setiap kelulusan sekolah, selalu saja terdapati dinding (entah itu milik orang lain atau sarana publik) penuh dengan coretan-coretan kata dengan cat semprot (pylox). Juga bukan pula seperti tulisan di spanduk yang dibawa aktivis demonstrasi (bayaran atau tidak) di jalanan yang mengatasnamakan rakyat tertindas namun kenyataan kesehariannya mendapatkan kenyamanan. Sastro Ningrat-an (Sastra Jalanan) yang ditunjukkan para sopir ‘seniman’ truk tersebut terasa begitu jujur, familiar, apa adanya serta nyaris tanpa tuntutan dan provokasi, juga lebih beradab karena menggunakan media yang tidak merusak sarana umum.  Setidaknya, apa yang diekspresikan para sopir truk tersebut walau sebagian kalangan menilai sebagai kampungan, namun cukup menghibur ditengah terik jalanan atau hiruk pikuk lalu lintas yang kadang berpotensi menaikkan tensi darah dan membuat orang cepat marah.

Apabila dicermati lebih dalam termasuk mengesampingkan pengkotak-kotakan karya kesenian, justru ekspresi para sopir truk tersebut layak mendapat apresiasi. Mereka (para sopir truk) terkesan sangat tulus dan terasa ‘keluar dari dalam’ sanubarinya apa yang menjadi dorongan gejolaknya. Kepolosan kalimat yang disampaikan menunjukkan sebuah kesederhanaan namun perlu diungkapkan agar terbaca oleh publik. Sederhana, polos, tulus dan apa adanya. Jika saat ini, generasi bangsa kita lagi ‘mabuk kepayang’ sebagai konsumen jejaring sosial facebook, twitter atau yang lain, yang ternyata lebih banyak hanya termanfaatkan untuk sekedar up date status atas nama eksis diri, namun lihat dan bacalah tulisan orang-orang itu yang hanya berani unjuk kata di dunia maya sehingga yang terkesan adalah sikap pengecut dan tak bertanggung jawab, karena cenderung ‘bersembunyi’ dibalik kecanggihan frekuensi. Lalu, bandingkan status yang dibuat oleh para sopir truk tersebut yang lebih menunjukkan kesan berani dan bertanggung jawab karena dipampang di dunia nyata yang tidak membatasi siapapun untuk membacanya. Pernyataan di bak truk itu, tak membutuhkan comment seperti dalam facebook yang hanya berujung pada rumpi, fitnah, dan kasak- kusuk. Ekspresi di bak truk tersebut hanya memerlukan dua perkara : “setuju – tersenyumlah, tak setuju – abaikan saja”.

Oleh : lik Miko


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Terakdang mereka pintar peribahasa

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | ewa network review